KETIKA Takeo Fukuda, mendiang mantan Perdana Menteri Jepang dan pendiri Dewan InterAction, berkonsultasi dengan saya pada awal tahun 1980 tentang gagasannya untuk membentuk sebuah badan
yang merangkul para mantan kepala negara dan pemerintahan untuk memusyawarahkan masalah global pada jangka panjang, saya tidak ragu untuk menyetujuinya. Pada saat itu kami telah menjadi teman dekat karena sering melakukan diskusi dan negosiasi dalam berbagai kesempatan di pemerintahan kami masing-masing; dan kami berbagi pandangan dan keprihatinan yang sama tentang dunia. Dewan InterAction dibentuk pada tahun 1983. Selama tiga dekade, sekitar 30 mantan pemimpin dunia bertemu di beberapa ibukota dan kota-kota di lima benua untuk mengatasi isu-isu global jangka panjang khususnya dalam ranah politik/geopolitik, ekonomi/keuangan dan lingkungan/ pembangunan.
  Namun Takeo Fukuda tidak puas dengan perundingan yang di- hadiri oleh para pemimpin politik saja. Beliau pun mencoba membuka dialog antara pemimpin agama dan pemimpin politik, karena beliau menyadari bahwa sebagian besar masalah-masalah global disebabkan oleh manusia itu sendiri. Fukuda merasa bahwa para pemimpin politik harus mau belajar dari para pemimpin agama yang mewakili ribuan kearifan dan tradisi yang ada di dunia.Itu adalah gagasan seorang Fukuda, karena dalam komunikasi “hati-ke-hati” inilah terdapat inti dari keyakinan politik beliau. Menurut Fukuda, dalam komunikasi dari “hati-ke hati” ini tersimpan ketulusan, kejujuran, pengertian, toleransi dan penerimaan dari semua hal yang pernah beliau hadapi, baik itusaat dirinya menjabat sebagai kepala negara maupun sosok pribadi. Mungkin hal ini terlihat naif secara politik, tapi ini adalah kontribusi nyata yang diinginkan Fukuda untuk membuat dunia yang lebih adil dan damai. 
  Pertemuan lintas agama pertama antara tokoh agama dan tokoh politik diadakan di Civilta Catholica di Roma, Italia, pada tahun 1987. Para pemimpin dari agama Buddha, Katolik, Hindu, Islam, Yahudi, dan Protestan dan bahkan ateisme hadir mewakili para tokoh agama;di sisi lain hadir tokoh yang mewakili konservatisme, demokrasi sosial, liberalisme, komunisme, kediktatoran dan demokrasi yang mewakili para tokoh politik berkumpul di sana untuk pertama kalinya dalam sejarah.
  Pertemuan ini diselenggarakan ketika dunia disibukkan oleh puncak Perang Dingin, dan konflik yang melibatkan agama masih bisa dihitung jumlahnya. Semua pihak waktu itu sepakat bahwa umat manusia akan terus berada dalam situasi sulit seperti masa itu kecuali masalah jangka panjang mampu ditangani dengan tepat. Selain itu muncul kesadaran akan pentingnya kolaborasi para pemimpin politik dan pemimpin agama secara bersama-sama untuk mencari solusi yang tepat. Yang membuat saya terheran, muncul sebuah kesepakatan di mana ada harapan bahwa pertemuan ini harus terus dilakukan. Kesepakatan yang mendapatkan dukungan yang besar inilah yang mendorong kami untuk terus membuka dialog lintas agama ini. Dewan InterAction pun kemudian mengadakan 10 dialog lintas agama lanjutan setelahnya, kami beruntung mampu mendapatkan bimbingan dari Profesor Hans Kung, mantan Profesor di Tubingen University dan pendiri Global Ethic Foundation. Sejak saat itu, inisiatif untuk melakukan hal serupa telah bermunculan di seluruh dunia. 
  Berhubung umur saya sudah tidak panjang lagi, dan makin bertambahnya jumlah konflik dan perang melibatkan agama di seluruh dunia, muncul keinginan dan semangat saya untuk berpartisipasi sekali lagi dalam dialog lintas agama. Saya sangat senang bahwa akhirnya kegiatan serupa terjadi pada Maret 2014 di Wina, Austria, tempat dimana Dewan InterAction dilahirkan, dan saya bersyukur bahwa Dewan ini mampu bertahan dan berkembang hingga hari jadinya yang ke-95. Saya pun semakin senang bahwa wacana yang muncul dalam Dewan telah tersusun dan tersebarluaskan. 
  Salah satu masalah jangka panjang yang mengusik pikiran saya dan Takeo Fukuda adalah tingginya peningkatan populasi yang diikuti dengan jumlah sumber daya alam yang makin terbatas. Pada tahun 1900, ada 1,6 miliar manusia di dunia ini. Namun jumlah itu meningkat empat kali lipat selama abad ke-20; dan hari ini jumlah manusia di dunia tercatat lebih dari 7 miliar. Peningkatan populasi empat kali lipat dalam satu abad ini belum pernah terjadi dalam sejarah manusia. Umumnya banyak yang memperkirakan bahwa angka populasi akan mencapai lebih dari 9 miliar sebelum akhirnya stabil pada pertengahan abad ke- 21, yang mayoritas dari mereka mau tidak mau harus tinggal di kota. 
  Besarnya dan seringnya bencana alam yang terjadi di abad ke-21 mungkin adalah sebuah manifestasi dari masalah tersebut. Pertanyaan sebenarnya adalah, apakah dunia ini mampu menghidupi 9 miliar orang? Dunia di mana miliaran orang bahkan tak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan dan air, bagaimana kita bisa bercita- cita untuk menjadi masyarakat yang lebih adil dan damai?Menurut saya, pertanyaan semacam ini adalah pertanyaan yang sangat sulit dan membebani, dan saya tak memiliki jawabannya. 
  Meskipun tidak ada kesamaan pendapat yang jelas yang mampu menjawab pertanyaan ini atau pada beberapa pertanyaan lain di Wina, saya mendengar gema pesan yang sangat penting dari para pemimpin agama. Gema itu adalah adalah kita bisa, mulai dengan langkah-langkah kecil, hari demi hari, berusaha tetap pada tujuan kita dengan menerima perubahan melalui perjuangan tak kenal lelah dan bertanggung jawab untuk mewujudkan dunia yang lebih adil dan damai dan semoga hal ini dapat memberikan pengaruh yang luas untuk orang lain, dengan mengikuti etika global yang berlaku di semua agama besar. 
  Pesan ini mengingatkan saya kata-kata dari Karl Popper yang lahir di Wina yang tertulis di dalam “Intelectual Autobiography”-nya, “Samaseperti anak-anak kita, dan teori-teori kita, dan pada akhirnya dengan semua pekerjaan yang kita lakukan, yang kita hasilkan akan mampu meninggalkan kita.” Anak-anak kita atau teori-teori kita mungkin akan lebih banyak bermanfaat ketimbang apa yang pernah kita sumbangkan pada mereka. Dengan begitu kita bisa mengangkat diri dari lembah ketidaktahuan. 
 

Desember 2014,
Helmut Schmidt
 Yasuo Fukuda


INDONESSIAN Ver.