PENGESAHAN ETIKA BERSAMA


Sesi ini dipimpin oleh

Yang Mulia Malcolm Fraser
Mantan Perdana Menteri Australia 

SELAMA bertahun-tahun, agama-agama besar dan tradisi yang yang dianut oleh umat manusia telah mendorong adanya standar dan prinsip etika dasar dalam hidup mereka. Dewan InterAction sangat memahami bahwa etika bersama yang dipakai oleh agama-agama besar di dunia merupakan dasar utama perdamaian dalam jangka panjang, dan juga terciptanya dunia yang lebih adil dan berperikemanusiaan. 
  Sesi I bertujuan untuk menegaskan kembali etika-etika bersama, sesi ini akan dibuka oleh Dr. Stephan Schlensog dari Badan Etika Global dan Dr. Sheikh Muhammad Habash dari Universitas Abu Dhabi. 
  Dr. Schlensog menyampaikan bahwa mereka yang memeluk agama dan memiliki budaya yang berbeda sebaiknya tidak berfokus pada apa yang membuat mereka berbeda tapi lebih pada apa mencari persamaan. Bukan merupakan kebetulan belaka apa yang diajarkan oleh agama-agama Ibrahim juga ditemukan di tradisi-tradisi timur dan juga beberapa hal sama dengan filosofi humanis sekuler yang telah ada selama ribuan tahun. Mengartikan etika global sebagai kesepakatan fundamental untuk menyatukan nilai, standar, dan kepribadian yang berbeda, sesuatu yang sama-sama dimiliki oleh orang yang beragama dan tidak beragama. Beliau mengharapkan komunitas ini dapat melihat fakta bahwa setiap permasalahan yang pelik pada saat ini pasti memiliki aspek moral dan sebuah dunia yang damai dan berkelanjutan hanya dapat terwujud jika kita berpedoman pada tradisi agama dan budaya. 
  Makalah Profesor Habashi menjelaskan tentang perspektif Islam. Beliau menyatakan bahwa tanggung jawab etis para pemimpin agama Islam adalah untuk meningkatkan nilai kesederhanaan dan toleransi pada dunia Islam, dan menciptakan hubungan yang baik antara kebaikan di dunia dan konsep toleransi dan kesederhanaan di dunia Islam. Beliau menyarankan diresmikannya sebuah chanel satelit International dengan nama “Satu Tuhan”, yaitu kompilasi seluruh kitab dalam satu buku, dan memasukkannya dalam deklarasi etika global yang ditanda-tangani oleh seluruh pemimpin agama dan politik. 
  Diskusi selanjutnya menegaskan pemahaman tentang etika global; merenungkan implementasinya di beberapa konteks kehidupan, dan bagaimana etika ini bisa diterapkan dalam masyarakat yang beragam. Ada kekhawatiran yang serius tentang proses pemilihan umum di negara demokratis di mana kampanye negatif dan pembunuhan karakter berimbas pada sedikitnya jumlah pemimpin yang baik. Diskusi tadi menekankan pada perlunya memastikan bahwa konsep moral dan etika tersebar lebih luas di publik, politik, bisnis, dan pendidikan. 


PENEGUHAN TITIK TEMU NILAI-NILAI
UNIVERSAL ETIK
BERBAGAI AGAMA


Pembicara 1:


Dr. Stephan Schlensog
Sekertaris Jendral, Badan Etika Global, Tubingen. 

KEPUTUSAN Dewan InterAction untuk menamai konferensi ini “Etika Global dalam Pengambilan Keputusan” merupakan keputusan yang logis dan benar. Karena reputasi besar pada level internasional dari Dewan InterAction berdasarkan pada kredibilitas moral dan pada kekuasaan dan kebijakan yang Dewan sendiri menekankan kepentingan fundamental di politik, agama, dan bisnis dan masyarakat. 
  Ada dua alasan mengapa, di masa globalisasi sekarang ini, kita tidak hanya membicarakan tentang “kebijakan global” atau “ekonomi global’ tetapi juga tentang “etika global.” Di satu sisi, berhubungan dengan pentingnya standar etika global di dunia saat ini, dan di sisi lain, berhubungan dengan Teolog dari Swiss Hans Kung yang berperan selama bertahun-tahun sebagai penasihat Dewan InterAction. Saya sendiri telah bekerja sama dengan Hans Kung selama 30 tahun dan dia meminta saya untuk menyampaikan salam hangatnya pada hadirin sekalian. 
  Izinkan saya untuk berbicara sedikit tentang Hans Kung. Pada tahun 1980an, beliau sangat mengkhawatirkan perubahan paradigma dari modernitas ke pasca modernitas, dan pengaruhnya pada agama, politik, dan masyarakat. Di bukunya berjudul “Tanggung jawab Global: Pencarian Sebuah Etika Dunia Baru” (New York 1991), beliau menyampaikan bahwa umat manusia yang kian mengglobal akan mampu bertahan dalam jangka yang panjang hanya jika “tidak ada ruang di dunia ini untuk berkutat pada etika yang berbeda, bertolak belakang, dan bermusuhan.” Beliau juga berkata dunia ini tidak memerlukan ideologi yang sama, atau agama yang sama, namun walaupun ada perbedaan dalam ras, bangsa dan budaya, yang diperlukan hanyalah nilai, standar, dan sikap etika yang dapat mempersatukan perbedaan dan bersifat mengikat. Dunia kita yang global ini memerlukan sebuah etika global! 
  Penelitian Hans Kung mengenai persamaan etika lintas agama dan budaya merupakan sesuatu yang baru dan menantang untuk banyak orang. Dengan slogannya yang berbunyi “Tidak Ada Perda- maian di Dunia Ini Tanpa Perdamaian Lintas Agama,” yang beliau ku- mandangkan pertama kali pada tahun 1984, beliau tidak sependapat dengan mereka yang secara sepihak menekankan bahwa konflik-konflik yang ada disebabkan oleh agama. Konsep Etika Global berdasarkan pada keyakinan bahwa mereka yang berbeda agama dan budaya tidak sebaiknya berfokus pada perbedaan, tapi lebih pada mencari kesamaan. Oleh karena itu, kita membutuhkan dialog lintas agama dan budaya. Khususnya kita harus belajar tentang nilai dan etika, kita akan tahu bahwa sebenarnya kita memiliki banyak kesamaan yang lebih dari apa yang kita bayangkan. Dan nilai-nilai bersama ini, seperti yang kita ketahui bersama, sangatlah penting: tidak hanya untuk kehidupan individu dan keluarga, melainkan juga untuk segala aspek masyarakat modern. 
  Jadi mengapa sekarang ini menjadi sangat penting untuk membahas nilai-nilai bersama yang ada di dalam “etika global,” di situasi di mana perbedaan kepercayaan dan filosofi agama dan tradisi yang dianut oleh manusia? Jawabannya karena di dalam perwujudan mereka, manusia sebagai makhluk hidup, dengan kecenderungan mereka untuk bersifat egois, percaya akan keyakinan dirinya, dan kekerasan, manusia harus belajar untuk bersikap seperti manusia sebenarnya. Evolusi biologi dan psikologis telah menunjukkan bahwa rahasia kesuksesan manusia bukan tergantung pada prinsip sosial Darwin tentang ‘sistem pertahanan hidup’, tetapi lebih kepada kemampuan manusia untuk bertindak sesuai dengan empati dan kerja sama. 
  Inilah mengapa manusia membangun sistem nilai dan prinsip etika, sebagai dasar dari keberadaan kehidupan yang sukses. Hal ini terjadi secara mendunia dan di berbagai macam budaya. Dan dalam kurun waktu ribuan tahun, agama-agama besar dan tradisi manusia telah memaksa mereka untuk menerapkan standar etika dasar dan prinsip-prinsip hidup: yang pertama untuk kemanusiaan dan rasa saling ketergantungan, sebagai berikut: 

  • ・Kemanusiaan dalam “memanusiakan manusia”- berarti setiap manusia harus diperlakukan seperti layaknya manusia; 
  • ・Rasa saling menghargai seperti diungkapkan dalam “Golden Rule” yang terkenal: yaitu dengan tidak memperlakukan orang lain secara buruk seperti halnya ketidakinginan anda untuk tidak diperlakukan buruk oleh orang lain. 

  Dan kedua prinsip hidup ini disebutkan dalam nilai-nilai etika dasar seperti halnya tindak nonkekerasan, keadilan, kebenaran dan perlindungan terhadap tindak asusila

  Norma-norma etika selalu ada dalam suatu kondisi tertentu, di suatu tempat tertentu, dalam waktu tertentu, dan di antara orang-orang yang hidup di lingkungan tertentu. Norma-norma etika selayaknya diterapkan secara berbeda apabila ditempatkan pada kondisi yang berbeda karena mereka disusun dari suatu waktu tertentu dan tergantung kepada kondisi khusus, dalam waktu yang berbeda. Norma- norma tersebut tidak hanya diterapkan sesuai dengan perubahan prioritas, akan tetapi norma bisa juga hilang, dilupakan, bahkan- sering kali karena alasan kekuasaan- secara sadar diabaikan. Akan tetapi standar etika fundamental seharusnya (bahkan harus) diterapkan di semua budaya. Pengalaman terdahulu telah menunjukkan bahwa nilai- nilai hidup yang seragam pasti muncul berulang kali, walaupun mereka berada di konteks budaya dunia yang berbeda. 
  Jadi, bukanlah suatu kebetulan bahwa apa yang sedikit banyak disebutkan dalam kitab Hebrew, dalam kitab Perjanjian Baru dan di dalam Al-Qur’an sebagaimana firman Tuhan—terlepas dari segala bentuk rasional yang berbeda-beda dan maksim etika dalam ajaran Hindu, Buddha, Jainisme, dan dalam budaya Cina, dan telah menjadi fokus pembahasan para filsuf kemanusiaan sekuler dalam kurun waktu beribu-ribu tahun. Oleh karena itu, etika global yang disebarkan oleh orang-orang beragama dan yang lainnya pada dasarnya hampir sama, sehingga para humanis sekuler dan para agnostik bisa mengidentifikasikan hal serupa seperti yang menjadi buah pemikiran para penganut agama berbeda di dunia. 
  Suatu momentum penting dalam sejarah dialog antarumat beragama sejauh ini adalah adopsi Deklarasi menuju sebuah Etika Global pada tahun 1993 yang diselenggarakan oleh Parlemen Keagamaan Dunia—sebuah deklarasi yang mengungkatkan prinsip-prinsip dan nilai kehidupan sebagai inti dari etika bersama untuk kemanusiaan. Para penanda-tangan deklarasi ini—yaitu para perwakilan dari semua agama yang ada di dunia—telah menegaskan dari awal pengertian “etika global”, yaitu: 

“Dengan etika global kita tidak bermaksud membuat suatu ideologi global atau satu agama saja sebagai wadah dari seluruh agama di dunia, dan tentunya bukan juga mengenai dominasi salah satu agama di atas agama lain. Etika global yang kita maksudkan adalah suatu konsensus fundamental dalam mempersatukan nilai-nilai, membuat standar yang tidak dapat dibantah dan ditentang dengan sikap pribadi” 

  Biar saya jelaskan lebih rinci. Etika Global tidak bermaksud untuk menggantikan etika yang sudah ada dalam agama-agama di dunia, justru etika ini dimaksudkan untuk mendukung etika agama yang ada. Akan sangat tidak masuk akal apabila ada yang berpikir untuk menggantikan atau mengembangkan kitab agama yahudi, Taurat, atau kisah di agama Kristen Sermon on the mount, atau kitab agama Islam Al-Qur’an, agama Hindu Bhagavad-Gita, pengajaran agama Buddha, ataupun petuah-petuah Konfusius. Mereka akan tetap menjadi landasan dan kerangka bagi para pengikutnya serta kehidupan pada umumnya yang mendasari segala gerak dan langkah beribu-ribu pengikutnya. Agama seharusnya, bahkan harus mempertahankan apa yang menjadi keistimewaan mereka dan menekankan landasan hidup tersebut dalam doktrin keagamaannya, dalam setiap ritual dan dalam hidup bermasyarakat. Tetapi di waktu yang sama mereka juga harus mengetahui dan menyadari kesamaan pandangan yang mereka punya dengan falsafah lain sehubungan dengan pembentukan etika dasar kehidupan. 
  Di sisi lain, etika global tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan etis yang sering dijadikan pertentangan antaragama atau di dalam agama itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak akan pernah ada ujung penyelesaiannya, baik antaragama ataupun dalam agama sendiri- setidaknya dan tidak pada saat sekarang ini-menjadi suatu masalah dalam sebuah etika global. Inilah mengapa deklarasi tentang Etika Global tidak menyangkut masalah-masalah yang tidak memiliki konsensus; seperti halnya tentang masalah alat penunda kehamilan (kontrasepsi), aborsi, homo-seksualitas, dan hukuman suntik mati (euthanasia). Tetapi, daripada sekedar memecah masyarakat karena hal-hal di atas tadi, filosofi keagamaan dan spiritual mempunyai sebuah kewajiban dan tanggung jawab untuk berperan serta dalam membangun sebuah konsensus yang menyatukan individu-individu demi terciptanya kedamaian sosial dengan merefleksikan pertanyaan-pertanyaan di atas, dan juga melalui diskusi-diskusi yang didasarkan pada norma-norma etika bersama. 
  Selain itu, Deklarasi Etika Global oleh Parlemen Keagamaan Dunia tidak juga beratasnamakan Tuhan. Jika anda ingin membaca, misalnya, naskah Buddha dan Konfusius, Taoisme dan orang-orang sekuler, anda tidak akan mempertanyakan kekuasaan Tuhan lagi. 
  Penghargaan yang setinggi-tingginya kami sampaikan kepada Dewan InterAction terhadap kepekaannya berkenaan dengan pen- tingnya nilai-nilai antarbudaya untuk masyarakat kita masa kini. Usaha Dewan ini terlihat pada tahun 1997 dalam mencanangkan proposal untuk sebuah Deklarasi Universal tentang Kewajiban Asasi Manusia, untuk menandingi “Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia”. Dewan ini sangat yakin bahwa: “Tatanan sosial yang lebih baik, baik secara nasional maupun internasional, tidak bisa dicapai hanya dengan penegakan hukum, saran-saran masa lalu dan konvensi, tetapi dibutuhkan suatu bentuk Etika Global. Aspirasi manusia untuk kemajuan pembentukan etika hanya bisa dilaksanakan dengan nilai- nilai yang disetujui dan standar-standar yang diterapkan pada semua orang dan organisasi sepanjang waktu”. Sepuluh tahun kemudian, pada bulan Mei tahun 2007, tepatnya pada “High-Level Expert Group Meeting” (Pertemuan tertinggi para ahli) di kota Tubingen, Jerman, Dewan mengulangi kembali seruan kepeduliannya setelah pembahasan tentang “agama-agama dunia sebagai faktor yang berpengaruh di dunia politik”. 
  Nilai-nilai tersebut mewakili sebuah kondisi standar dan ideal sebagai pedoman untuk memperoleh kesuksesan bagi semua kegiatan manusia di dunia. Dan kita semua tahu seberapa vital dan juga bagaimana sulitnya memperkenalkan nilai-nilai tersebut dalam kancah politik dan kemasyarakatan. Setiap hari kita mendengar berita-berita tentang krisis dan skandal di dunia politik, bisnis, dan kemasyarakatan yang disebabkan oleh, di antara faktor-faktor yang lain tentunya- keterpurukan dan kerusakan etika. Dan agama sendiri, yang seharusnya menjadi suri teladan dan media pembenaran nilai dan moral, terlihat seperti terbelenggu dalam urusannya masing-masing, terkena imbas dari skandal-skandal yang ada, yang terpecah belah karena pertentangan dalam tubuh agama itu sendiri dan juga perselisihan dengan agama lain. Kita akan membahas beberapa poin yang telah disebutkan, baik yang negatif ataupun positif, dalam perbincangan kita selanjutnya. 
  Dunia kita, kemudian, sangat membutuhkan orang-orang dan organisasi-organisasi yang mau berbicara dari dalam hati dan jiwanya. Orang-orang dan organisasi yang memberikan kita arah, yang mengingatkan kita, yang tidak sarat dengan segala kepentingan politik, sosial, agama, dan budaya, tentang apa yang sebenarnya menjadikan kita manusia menjadi lebih manusiawi: yaitu suatu bentuk kemanusiaan yang terlihat dalam nilai-nilai global sebagai dasar terbentuknya rasa saling menghargai, menghormati kebebasan orang lain, dan kedamaian dunia. 
  Saya yakin, Dewan InterAction adalah forum yang tepat untuk menggambarkan kebutuhan di atas. Dan saya ingin mendukung Dewan ini untuk membuat beberapa saran-saran pada akhir rapat kita nanti, seperti halnya yang telah di laksanakan oleh para pejuang sebelumnya, dan juga di sepanjang waktu pembahasan kita nantinya di dalam pertemuan ini, yaitu: 


  • ・Rekomendasi yang menjelaskan bahwa setiap orang yang memiliki masalah kritis di era kita ini juga mempunyai dimensi moral.
  • ・Rekomendasi yang bisa menciptakan suatu kesadaran bahwa keadilan, kedamaian dan dunia yang berkelanjutan hanya bisa ada jika kita berkaca dan mengacu pada petunjuk agama-agama besar di dunia dan tradisi kemanusiaan dalam menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan jiwa khas suatu bangsa. 


  Pada tahun 2003, Sekretaris PBB, Kofi Annan memberikan “Cera- mah Etika Global” yang ketiga di Universitas Tubingen. Pada saat itu, di tahun 2003, perselisihan yang menimbulkan Perang Iraq telah meletus, dan demi menentang latar belakang kejadian tersebut, Kofi Annan bertanya “Apakah kita masih mempunyai nilai-nilai universal?”. Dalam kesimpulannya, dia menawarkan beberapa jawaban sebagai berikut: 
 

    • “Ya, kita masih punya, tetapi kita tidak boleh hanya menerapkan nilai- nilai tanpa berpikir panjang.
      • Nilai-nilai universal tersebut harus dipilih dan dipikirkan secara berhati-hati.
      • Nilai-nilai terpilih tersebut harus dipertahankan.
      • Dan harus pula diperkuat. 

  Dan kita perlu menemukan dalam diri kita masing-masing ke- inginan untuk menghidupkan nilai-nilai yang telah kita serukan tersebut dalam kehidupan pribadi kita, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan dalam kehidupan di dunia”. 


GLOBAL ETIK DALAM
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
 

Pembicara 2:


Dr. Shaikh Muhammad Habash
Profesor di bidang Studi Ke-Islaman, Universitas Abu Dhabi 

Assalamualaikum Warahmatulloh,
Semoga kedamaian selalu menaungi anda semua 

 
Saya senang bisa berbicara dengan anda semua dalam pertemuan bersejarah ini, dengan para pemimpin agama dan politik dunia. Kita sedang berusaha bersama untuk menciptakan dunia yang lebih baik, lebih damai, aman, dan berdialog tentang moralitas dan etika oleh para pembuat keputusan. 
  Saya juga merasa terhormat karena saya berbicara dari sudut pandangan Islam, yang menegaskan apa yang sudah diserukan oleh Nabi- Nabi tentang pesan cinta dan toleransi. Ajaran ini telah didakwahkan oleh para utusan sebelumnya, dan kemudian disebarluaskan pada era Nabi Muhammad Saw., di mana Beliau menegaskan kembali pesan yang telah tertera dalam Taurat dan Injil. Pesan-pesan tersebut meliputi lima pilar kehidupan, dua di antaranya yaitu mempercayai agama lain dan kesucian serta kepercayaan lain, melalui sabda Nabi Muhammad Saw.: “Keyakinan itu terbentuk dari lima pilar”: percaya pada Tuhan, para malaikat-Nya, kitab suci-Nya, nabi-nabiNya, dan hari pengadilan-Nya. 
  Oleh karena itu, Islam tidak akan menganggap seseorang menjadi Muslim sebelum dia percaya kepada nabi-nabi sebelum Muhammad, yaitu Nabi Ibrahim, ayah dari para nabi, dan Nabi Musa dan Isa, anak Mariam dan semua nabi lainnya. Tuhan berfirman: Nabiku (Muhammad) percaya akan apa yang telah diwahyukan kepadanya dari Tuhannya dan begitu juga para umatnya. Dia telah memerintahkan kita untuk percaya kepada semua nabi-nabi Tuhan selain dirinya yang diturunkan ke bumi. Bahkan percaya kepada para nabi yang tidak disebutkan dalam Al- Qur’an, Taurat, atau Injil, yaitu para nabi dari Timur, dari tanah penuh dengan roh dan meditasi: “dan (Kami mengirimkan) para Nabi yang telah Kami sebutkan padamu sebelumnya, dan para Nabi yang tidak Kami sebutkan padamu”. 
  Pada saat ini, Islam mengalami perubahan yang hebat akibat peristiwa Islamophobia (ketakutan terhadap Islam) yang telah tersebar ke seluruh dunia, sebagai akibat dari maraknya aksi terorisme dari negara-negara dunia Islam. Saya yakin bahwa kurangnya kebebasan dan demokrasi, serta kegagalan masyarakat internasional dalam mencapai solidaritas antara negara-negara kaya dan miskin, dan kecenderungan sistem pemerintahan diktator para pemimpin kepada penduduk di negara-negara Islam memicu munculnya terorisme sebagai salah satu jalan kebebasan dari penindasan dan tekanan. Untuk itulah, penindasan dan perlawanan pada penindasan telah secara ekstrem menimbulkan phenomena Islamophobia. Contoh nyatanya adalah phenomena yang terjadi di negara Islam yang tertindas pada masa kini. 
  Tanggung jawab etika kita sebagai pemimpin-pemimpin agama adalah kita harus meningkatkan kekuatan moderasi dan toleransi di dunia Islam, dan mencapai komunikasi yang efektif antara pemegang kekuasaan yang baik di dunia dan juga mempererat hubungan dengan pergerakan Islam yang moderat dan toleran; yaitu mereka yang tidak percaya akan kekerasan, terorisme, serta tidak membenarkan kriminalitas atau kekerasan atas nama apa pun. Usaha ini akan sesuai dengan sabda Tuhan dalam Al-Qur’an: (Tetapi apa pun yang mungkin mereka katakan atau lakukan,) usirlah kejahatan (yang telah mereka lakukan) dengan melakukan sesuatu yang lebih baik”, dan sesuai pula dengan sabda Yesus dalam Kitab Perjanjian Baru: “Pembohong itu adalah dia yang berkata bahwa untuk mengusir kejahatan harus digunakan kejahatan, biarkan dia menyalakan dua api, dan lihat apakah satu api mematikan api yang lain?”. Kejahatan harus dimusnahkan dengan kebaikan, dan kegelapan dimusnahkan dengan cahaya. Begitulah hukum Tuhan. 
  Ketiadaan etika dalam proses pengambilan keputusan para pem- besar dunia, dan keberadaan politik sebagai tujuan utama terjalinnya kerja sama ataupun dalam penghentian konflik menjadi kegagalan terbesar selama ini. Terlebih lagi, kepercayaan terhadap satu sama lain serta kepercayaan terhadap organisasi dunia telah hilang. Banyak negara menolak peran serta PBB dan aliansi internasional yang dinilai bertentangan dengan standar etika dan keadilan. Hal ini bisa dilihat dari tujuan politik negara-negara besar ataupun kecil yang hampir serupa. Di manapun tempatnya, kedamaian dan keamanan menjadi terancam, dan orang-orang terpaksa memakai senjata dan melakukan aksi teror! 
  Menimbang segala hal tersebut di atas, saya mohon agar pertemuan ini menghasilkan suatu persetujuan etika manusia yang difasilitasi oleh panitia khusus yang terdiri dari kita para peserta pertemuan ini. Setidaknya satu tahun untuk menyebarluaskan ide etika ini kepada seluruh pemimpin politik dan agama di dunia, sehingga piagam ini nanti akan menjadi yang paling banyak ditandatangani oleh orang- orang penting dan berpengaruh di dunia. Kemudian kita mengundang mereka untuk menghadiri pertemuan di bawah naungan PBB agar segera disetujui menjadi piagam internasional, seperti halnya piagam Hak Asasi Manusia yang berperan besar dalam membantu negara- negara terpuruk di dunia. 
  Saya berbicara kepada anda semua dari sudut pandang orang Siria yang sedang terluka parah, yang telah mengalami segala macam siksaan dan ketakutan selama masa peperangan dalam konfrontasi berdarah antara keinginan rakyat dan keterbatasan hak kebebasan mereka dari rezim pemimpin yang otoriter, yang tidak memberikan kemerdekaan ataupun hak dan martabat manusia. Merupakan tanggung jawab saya untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang mendukung rakyat Siria dalam segala penderitaan dan kesedihan kami. Dan memang pada kenyataannya, pengamalan yang paling baik adalah dengan mendukung mereka yang lemah. Seperti firman Tuhan: Amal ibadah yang paling baik adalah dengan menolong orang yang lemah. 
  Peradaban di Siria dimulai sekitar enam ribu tahun yang lalu, dan banyak pemuka agama dan para nabi dilahirkan di tanah yang suci ini, di mana mereka nantinya menyebarkan kebaikan dan cahaya kebenaran bagi umat manusia di dunia. Sejak jaman nabi Ibrahim, Siria menjadi tempat yang suci bagi manusia dari seluruh penjuru dunia. Siria menjadi tujuan peribadatan wisata bagi para penganut agama dari penjuru dunia untuk mencari pencerahan spiritual, untuk beramal kebaikan, untuk membagi cinta dan mendekatkan diri kepada Allah. 
  Fakta ini mencerminkan kesamaan pikiran dari para orang bijak di dunia. Untuk itu saya mendukung usaha para cendekiawan yang berkumpul hari ini dalam perkumpulan yang sangat mulia ini yang sesuai dengan firman Allah SWT: Wahai orang-orang yang beriman, berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan, dan janganlah engkau mengikuti langkah Setan (QS 2: 208). 
  Pendekatan yang digunakan dalam ceramah agama kita sepertinya perlu ditinjau ulang secara menyeluruh. Karena terkadang ada bahasa yang arogan dan usaha mengekslusifkan diri dalam beberapa pidato yang disampaikan para ahli dakwah di bagian manapun di dunia. Dalam pendangan saya, ceramah semacam itu sangat jauh dari semangat keagamaan yang seharusnya dibawa untuk membawa manusia kepada sikap toleransi dan kerahmatan atau kemurahan hati. Namun, jauh dari ceramah keagamaan yang dicampuradukkan dengan muatan politik dan kedudukan, masih ada manusia jujur suci di setiap tempat di dunia yang penuh kebajikan. Orang-orang ini memuja Tuhannya secara pribadi dan mengabdikan dirinya bagi kemaslahatanumat dan makhluk Tuhan. Mereka juga memandang agama seperti dasar terbentuknya kehidupan yang damai, yaitu fungsi agama sebagai pembawa pesan cinta, kemurahan hati, dan perdamaian. Terlebih lagi, mereka menghidupkan semangat spiritual terang dalam kelimpahan rahmat Tuhan, dan mereka mencari perkumpulan atau persaudaraan manusia dalam semua bentuk dari apa yang telah diberikan Rasulnya dan dari kebajikan kuno yang telah dipelajari. Mereka percaya bahwa semua manusia adalah saudara, suka atau tidak. 
  Budaya mau belajar dari kebaikan orang lain adalah inti sari ajaran Islam, dan dalam Al-Qur’an telah disebutkan sebanyak 14 kali bahwa bahkan para nabi pun saling menyanjung nabi lain, sesuai dengan kepercayaan yang mereka punya. Hal ini menyangkut pengakuan terhadap kenabian sebelumnya, kearifan yang berkesinambungan, dan pedoman masa kini. 

Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Kearifan adalah tujuan utama pengikutku; dimanapun dia menemukannya, dia harus mengutama- kannya”. Dua puluh tahun silam, Sheikh Ahmad Kaftaro, Pemimpin dari Bani Assham, ikut dalam proses pengumpulan dokumen suci keagamaan, dengan menggunakan klasifikasi etika yang sama yang akan menginspirasi umat manusia dari seluruh agama di dunia untuk membimbing mereka ke jalan yang benar. Sesungguhnya, itu adalah suatu pesan suci yang bisa mempersatukan kita bahkan dari jarak yang jauh, karena kita percaya, suka ataupun tidak, bahwa kita semua bersaudara. Kesamaan yang terdapat dalam agama-agama dan ajaran keagamaan ternyata sangat besar dan sejarah kenabian serta kebajikan yang mereka bawa bisa menjadi dasar yang kokoh untuk membangun kehidupan manusia yang saling mendukung satu sama lain. 
  Kita harus berjuang melawan segala konsep bahwa surga milik satu agama, atau bentuk monopoli agama lainnya, dan juga segala bentuk monopoli kenyataan. Kita harus memahami sebuah kepercayaan dengan memperhatikan kepercayaan lain juga, tidak hanya mengagungkan satu kepercayaan itu saja. Agama itu sama kedudukannya, tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain, sama halnya dengan bangsa, sama tidak ada yang lebih tinggi. Kita bisa menemukan bukti-bukti tentang nilai ini dalam Al-Qur’an. 
  Saya yakin bahwa kurangnya kebebasan dan demokrasi, kegagalan dunia internasional dalam berkomunikasi untuk mencapai rasa solidaritas antara negara kaya dan miskin, dan kecenderungan sistem pemerintahan diktator bagi para muslim di dunia Islam menjadikan terorisme sebagai jalan untuk mencapai kebebasan dari penjajahan dan penindasan. 
  Ini bukan merupakan gambaran Islam sesungguhnya. Kita harus mencari gambaran itu dalam Al-Qur’an dan dari tradisi di jaman Nabi Muhammad Saw.. Allah berfirman kepada Muhammad, “Kita mengirimmu dari kaummu”. Al-Qur’an dimulai dengan frase terkenal yang menyebutkan “Tuhan itu untuk semua umat manusia”. Dia tidak pernah menyebutkan, “Tuhan bagi orang Muslim, Tuhan bagi hanya pengikut-Nya, ataupun Tuhan orang Arab”. Allah berfirman “Tuhan seluruh umat manusia” dan di bagian terakhir dari Al-Qur’an mengatakan “Tuhan dari segala bentuk kemanusiaan”. Dan kita juga harus mencari kesamaan yang lebih lagi di antara kita, karena kita yakin bahwa kita mempunyai tujuan hidup yang sama sesuai dengan petunjuk dan ajakan para nabi kita. 
  Saya mengajukan tiga saran dalam pertemuan ini. Pertama, saya ikut serta dalam pertemuan yang terberkati ini untuk bekerja sama menerbitkan suatu saluran satelit internasional yang pertama, yang disebut “Satu Tuhan”. Para keturunan dari surga, yang percaya akan pesan suci tentang keberkahan manusia, toleransi, dan cinta, yang akan dirancang dalam satu platform untuk meyakinkan dunia bahwa pesan- pesan yang dibawa oleh para nabi sebenarnya adalah satu, petunjuk yang diberikan juga satu, dan bahwa kerasulan dan kebajikannya hanyalah memiliki satu tujuan mulia utama yaitu kebahagiaan manusia dan upaya memerangi kejahatan di dunia. Fakta ini tersurat dalam kitab suci Al-Qur’an di mana disitu disebutkan: “Wahai umat manusia, bahwa sesungguhnya Aku telah menciptakanmu sebagai lelaki dan perempuan dan telah membuatmu serta suku-sukumu saling mengenal satu sama lain. Dan yang paling bijaksana di hadapan Allah adalah yang paling benar di antara kamu.” 
  Saran saya yang kedua adalah untuk menemukan metode peng- gabungan dokumen-dokumen suci keagamaan tersebut menjadi satu buku. Semua agama memiliki kesamaan nilai-nilai ajaran dan peraturan etika. Dalam program kebaktian, semua ritual agama menyembah satu Tuhan yang telah memiliki kepercayaan hati para pemeluknya, seperti yang tertera dalam Al-Qur’an: dan hanya kepada Allahlah semua kepemilikan dari Timur sampai ke Barat, jadi kapan pun kamu (boleh) memalingkan muka, akan selalu ada wajah Allah (QS 2: 117). 
  Yang ketiga adalah untuk mendukung Deklarasi Etika Global yang ditandatangani oleh para pemuka agama dan politik dari seluruh penjuru dunia. Deklarasi ini diharapkan bisa dijumpai di seluruh pelosok dunia dan akan diakui oleh PBB. Rumusan Deklarasinya telah siap sekarang ini. 

Kesimpulannya, kita berkumpul di sini untuk menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh agama dan nabi kita, yaitu untuk menerapkan toleransi dan menolak peperangan, dan untuk memohon belas kasih dan rahmat Tuhan untuk semua umat manusia. Merupakan tanggung jawab bersama untuk berjuang memerangi kebatilan, memerangi monolopi surga, monopoli kehidupan nyata, ataupun bentuk monopoli Ketuhanan. Ada lebih banyak kesamaan yang kita bisa temukan, lebih banyak kesamaan dalam ajaran dan metode keagamaan, dan banyak pula kesamaan cara pandang kita dalam memahami perihal dunia. Islam adalah bentuk pesan cinta, pesan kemurahan hati, pesan kedamaian dan pesan kemanusiaan untuk saling mencari kesamaan. 
 

    • Kita percaya bahwa: 
    • Tuhan itu satu, tetapi nama-Nya bisa banyak;
      Kenyataan hidup itu satu, tetapi cara untuk memahami itu banyak;
    • Spiritualitas itu satu, tetapi agama itu banyak. 


Pembahasan 
 
Presiden Obasanjo: Saya berasal dari negara yang memiliki jumlah pemeluk agama hampir seimbang antara Kristen dan Muslim. Salah satu masalah terbesar yang kami hadapi adalah bahwa kebanyakan umat Islam menetapkan bahwa yang berhak menjadi saudara mereka adalah hanya sesama orang Islam saja, bahkan bukan pula mereka para saudara sekandung yang berbeda agama. Jika saya bukan Muslim, maka saya bukan saudara mereka. Bagaimana kemudian saya menjelaskan penafsiran semacam ini kepada rakyat saya? 

Dr. Habash: Sekarang kita mengetahui situasi tragis yang terjadi di Nigeria, antara orang Muslim dan Kriten, terutama situasi antara kelompok keagamaan Boko Haram dan orang Kristen. Kita memiliki dua cara untuk memahami Islam. Yang pertama, perhatikan apa yang telah dilakukan oleh Al-Qaeda dan para pejuang ekstrem lainnya dan yang kedua bacalah isi Al-Qur’an. Saya percaya anda perlu membaca apa yang tertera di dalam Al-Qur’an untuk memahami Islam yang sebenarnya, bukan dengan mengikuti pergerakan para radikalis di berbagai negara di dunia. Saya tidak akan menganggap anda sebagai seorang Muslim tanpa keyakinan anda yang kuat dan kecintaan anda pada Yesus Kristus, dan pada para pengikut Yesus Kristus; dan nabi Musa serta para pengikut Musa. Pernyataan ini sesuai dengan keyakinan kita dalam agama Islam. Tetapi alangkah tragisnya, gambaran pergerakan- pergerakan radikal merusak gambaran sesungguhnya tentang Islam. 

Dr. Al Salem: Di masa lalu, terjadilah perselisihan antara Kristen dan Islam, mereka pernah terlibat dalam Perang Suci. Kedua agama tersebut membahas tentang teks moral, tetapi pada kenyataannya tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor politik. Hal ini terjadi baik pada interpretasi kitab suci Injil ataupun Al-Qur’an. Kita tidak bisa mengambil istilah Jihad dalam Al-Qur’an tanpa pengetahuan yang memadai, yaitu cara terdasar untuk menyampaikan kepada manusia tentang cara memahami ayat-ayat tersebut. Para ekstremis Islam adalah fundamentalis yang mencoba untuk mengikuti secara penuh seperti yang tertulis di dalam Al-Qur’an. Kita sebenarnya memiliki argumen mendasar yang sangat kuat yang dapat meyakinkan setiap ekstremis, karena sebagian besar ekstremis adalah orang yang beriman. Jadi, untuk melawan mereka, kita harus menggunakan cara mereka, bukan dengan cara kita, karena mereka tidak akan percaya dengan apa yang akan kita katakan tentang moral. 

Prof. Axworthy: makalah Dr. Majali berbicara tentang esensi toleransi sebagai penghormatan, yang membentuk etika umum. Kemudian makalah Dr. Badawi berfokus pada kebutuhan politik dalam menerapkan etika. Saat ini dalam kampanye politik kita menyangkal bahwa rasa hormat merupakan bagian dari etika seperti yang telah kita bicarakan. Dalam kampanye pemilu, jarang kita menyerang lawan lewat ide-idenya. Sebaliknya kita menyerang karakter mereka. Kita mencoba untuk merendahkan lawan sehingga mereka tidak dapat memiliki rasa hormat dari pemilih. Bahkan, melalui iklan negatif, menggunakan pembunuhan karakter, kita mengubah lawan menjadi musuh. Kita mungkin paham apa yang telah mereka katakan tetapi kita tidak memperhatikannya. 
  Kita telah memiliki pembendungan politik yang negatif, yang mencegah orang-orang baik terlibat di dalamnya, dan hal ini meng- akibatkan terjadinya penurunan kualitas kepemimpinan yang kita sering cela dalam Dewan ini. Kita perlu kepemimpinan yang lebih baik, tetapi cara kita saat berkampanye hampir memastikan bahwa kita tidak akan mendapatkannya. Kita harus menghentikan iklan negatif dan pembunuhan karakter dalam kampanye seperti yang diterapkan oleh partai politik modern. 
 
Sri Sri Ravi Shankar: Tentang apa yang Profesor Habash katakan, tentang wujud Islam, cara berpikir seperti inilah yang perlu dibawa ke Anak Benua, di mana orang tidak akrab dengan pemikiran ini. Bagaimana kita bisa mengajarkan hal ini di sekolah Madras yang memiliki pemikiran berbeda, di mana Wahabisme menang melawan Tasawuf? Di India, kami memiliki sekolah besar Sufi, yang telah membawa pemikiran lebih toleran tentang Islam. Di India, dalam tradisi Hindu, tidak ada tradisi perang dan konflik antaragama. Ada transparansi dan orang-orang merayakannya bersama-sama, berpartisipasi dalam festival budaya masing-masing. Tapi karena lebih banyak aksi ekstremisme yang muncul, akhirnya terjadi pembagian wilayah yang seharusnya tak terjadi. Lantas apa yang Dewan dan kita semua bisa lakukan untuk terus menghidupkan obor yang telah kita nyalakan di sini? Bagaimana kita bisa menjangkau sekolah-sekolah itu? Dan apa upaya yang bisa kita lakukan? 

Prof. Saikal: Setelah bertahun-tahun terlibat di Dewan ini, kami belum membuat banyak kemajuan dalam menjembatani kesenjangan antara berbagai sekte dan pengikut agama dengan harapan bahwa mungkin kita bisa bergerak menuju kesepakatan dalam etika-etika global, bukan hanya mengetahuinya saja. Saya sendiri merasa bahwa sulit bagi kita untuk mencapai etika global. Kita bisa namun, hal itu malah akan membawa kita bergerak menuju inklusivitas. Itulah yang benar-benar penting. Sejauh ini, kita telah mencoba untuk mempertemukan orang dari berbagai agama dan disposisi ideologi bersama dalam rangka menciptakan kesepahaman bersama di antara mereka. Tapi hal yang belum pernah berhasil kita lakukan adalah, membangun jembatan kepercayaan antara kelompok yang berbeda ini. Itulah perhatian utama saya. Saya berharap pertemuan ini akan menghasilkan saran yang lebih praktis dengan niatan untuk menciptakan etika global operasional. 

Perdana Menteri Badawi: Saya harus berbicara tentang negara saya, Malaysia, karena kami tidak hanya memiliki kelompok etnis yang beragam tetapi juga beragam agama,namun kami harus hidup dan bertahan hidup di sebuah negara yang damai sehingga dengan begitu pada saat yang sama kami tahu bahwa perekonomian kami akan membaik sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat. Saya ingin menjadi orang yang praktis. Kami mencoba untuk menyukseskan hal ini dengan mencari ide-ide dan tujuan yang bisa diterima oleh kami semua. Kami berbicara tentang prinsip-prinsip iman dan takwa, pemerintah adil dan dapat dipercaya, rakyat yang bebas dan independen, mengejar dan menguasai ilmu pengetahuan, keseimbangan dan pembangunan ekonomi yang komprehensif, kualitas hidup yang baik bagi rakyat, melindungi hak-hak perempuan dan kelompok minoritas, melindungi budaya dan moral integritas otentik, menjaga sumber daya alam dan lingkungan hidup dan menjamin pertahanan yang kuat. Hal ini penting untuk menciptakan sesuatu yang bisa diterima oleh semua agama. “Cinta seluruhnya, bukan sebagian”. Bukan “cinta akan kekuatan” tetapi “kekuatan cinta”. 

Tuan Muaammar: Kami datang bersama-sama untuk membangun jembatan untuk memahami satu sama lain, lewat dialog. Kita semua setuju bahwa semua agama memiliki prinsip untuk mendukung koeksistensi perdamaian. Di Timur Tengah dan tempat lain, ada campuran seperti agama dan politik, dan begitu banyak orang yang menggunakan agama untuk kepentingan mereka yang kita anggap tidak benar. Budaya barat memiliki banyak peran, telah berhasil memisahkan negara dan agama, sehingga demokrasi berkembang di seluruh dunia. Tapi di Timur Tengah, mayoritas adalah negara-negara Muslim, yang didominasi oleh ajaran agama dan diatur oleh pemerintahan ber- landaskan agama. Yang perlu kita lakukan adalah untuk mentransfer pengetahuan dan membantu mereka. Satu-satunya cara adalah melalui dialog. 

Prof. Saikal: Akankah Arab Saudi menjadi pelopor dalam hal pemisahan negara dan agama? 
 
Tuan Muaammar: Saya tidak mengatakan bahwa saya mendukung pemisahan antara negara dan agama. Kita harus mendukung apa pun yang orang memilih untuk diri mereka sendiri. Apa yang kita lihat, seperti di Mesir, mereka mengadopsi demokrasi palsu dan mencoba untuk menggabungkannya dengan agama dan itu gagal. Jadi, kita perlu membantu orang lain untuk memperkuat apa yang mereka pilih. 

Ketua Fraser: Sudah diperkirakan bahwa gagasan tentang etika global telah dipahami. Yah, mungkin. Tapi masih ada banyak orang yang percaya ada perbedaan yang signifikan antara standar etika dari berbagai agama yang berbeda. Oleh karena itu, menurut saya, ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan, untuk memahami secara lebih luas di masyarakat kita bahwa ada etika global, yang secara luas diterima oleh agama-agama besar di dunia. Tapi bagaimana Anda meyakinkan orang- orang itu untuk mematuhi etika global? Masyarakat tahu apa yang seharusnya menjadi etika, tapi mereka memperlakukan lawan politik mereka dengan cara tidak hormat. Bagaimana Anda dapat membalikkan keadaan ini dan mencoba untuk membuat mereka jadi ahli politik? Kami telah merasakannya di Australia dalam 20 tahun terakhir, ada orang-orang yang telah menggunakan ras dan agama untuk keuntungan politik mereka. Dan saya pikir itu adalah hal terburuk yang dilakukan oleh seorang pemimpin politik. Ketika itu terjadi, akan tercipta konflik saling berkaitan dalam masyarakat yang belum muncul rasa pedulinya dan mengakibatkan kerusakan yang sangat besar. Saya pikir redefinisi dari etika global diperlukan, pengesahan kembali bahwa ada standar umum, yang mendukung agama yang berbeda dan bagaimana standar- standar ini berlaku di berbagai negara dan proses yang berbeda. 

Prof. Hanson: Saya pikir ada setidaknya tiga agenda yang berbeda diusulkan di diskusi pagi ini. Pertama adalah penegasan kembali pemahaman etika global dan dialog tambahan sekitar itu, sehingga kita bisa menegaskan, menjelaskan, dan mengeksplorasi secara lebih mendalam. Yang kedua adalah apakah etika global mungkin memiliki arti dalam praktiknya di kehidupan. Ada agenda ketiga, sebagaimana Perdana Menteri dari Malaysia menjelaskan hal ini dapat dikelola dalam keragaman, memahami kebajikan yang diperlukan untuk hidup bersama-sama yang bisa dipelajari oleh negara lain di dunia. Agenda ketiga adalah mengidentifikasi kebajikan yang memungkinkan kita untuk hidup bersama dan mengejar kebaikan semua orang; untuk mengidentifikasi kebajikan kewarganegaraan atau kesopanan untuk melawan ekstremisme dalam bentuk apa pun. Dengan cara ini kita bisa berharap untuk melawan ekstremisme dalam agama-agama kita sendiri, dalam struktur politik kita sendiri. 

Rabbi Dr. Rosen: Ketika saya mulai mengabdi sebagai rabbi 50 tahun yang lalu saya merupakan orang yang penuh dengan idealisme. Saya datang dari latar belakang yang sangat Ortodoks dan belajar di sebuah seminari ortodoks di Yerusalem. Tujuan karier saya adalah mencoba untuk membawa tingkat toleransi dan pemahaman kepada sayap ekstrem dalam agama saya. Selama 50 tahun saya benar-benar gagal, dan saya dengan sedih menyaksikan peningkatan fundamentalisme dan ekstremisme tidak hanya di agama saya tapi di setiap orang lain yang saya temui. 
  Ada sebuah perdebatan lama “Apakah orang yang membuat waktu atau waktu yang mengubah orang?” Dan saya percaya bahwa ada siklus dalam urusan manusia yang dikendalikan oleh gerakan politik, oleh gerakan historis dan situasi sosial yang berjalan di jalur mereka sendiri. Kemunafikan sempit dari masa Inggris Victoria adalah reaksi terhadap terlalu banyaknya kebebasan di era Georgia sebelumnya. Kreativitas dan inovasi ilmiah dari Victoria Inggris juga melahirkan rasa kecurigaan dari masa Rosicrucian yang percaya pada peri.
  Umat manusia,berjalan dalam siklus, dan siklus menghasilkan energi dan mode mereka sendiri. Seribu tahun yang lalu, seorang sarjana besar Yahudi Maimonides dari Mesir adalah seorang filsuf yang hebat. Dalam bukunya “Pedoman bagi Mereka yang Bingung” ia berbicara tentang toleransi dan pengertian. 
  Banyak yang memuji buku-bukunya tapi ada juga beberapa orang yang menolaknya. Namun seiring waktu ia akhirnya dipandang sebagai salah satu orang Yahudi besar dan paling inspiratif. Dalam buku tebalnya tentang hukum, teologi dan etika tema yang paling terus ia ulangi adalah ide keseimbangan, “Golden Mean.” Inilah yang selalu menginspirasi saya. 
  Dalam forum ini, kita tidak akan memecahkan masalah dunia. Kita tidak akan memecahkan konflik internal di Timur Tengah, Afrika atau Timur Jauh. Tapi kita tentu tidak akan mendapatkan apa-apa dengan menyalahkan satu sisi atau yang lain, atau dengan mencari kambing hitam. Manusia memiliki kapasitas untuk memecahkan masalah. Kalau saja itu dilandasi upaya ketulusan dan niat baik. Kenyataannya adalah bahwa konflik harus diatasi sendiri dalam cara dan ketentuannya sendiri. 
  Tapi saya memiliki pendapat yang kuat bahwa kewajiban mendasar yang kita miliki, lewat Dewan ini, dan badan-badan seperti kita, adalah untuk menegaskan adanya nilai universal tentang persaudaraan dan cinta, dan memastikan bahwa mereka ada di arena publik. Jadi, saya sangat senang ketika Profesor Axworthy memperkenalkan isu dialog, karena politik telah menjadi jauh lebih kasar dan brutal dari yang sebelumnya. Dulu di Parlemen Inggris, para anggotanya saling memberikan nama panggilan “pria terhormat” pada satu sama lain. Tidak ada kesantunan seperti ini di sebagian besar pertemuan parlemen atau legislatif saat ini. 
  Dan, karena itu, saya berpikir bahwa membangun dasar, apakah kita menyebutnya etika, apakah kita menyebutnya agenda, yang ingin membawa manusia bersama-sama, yang ingin mencoba untuk menghapus kebencian dan permusuhan adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan, bahkan jika kita tidak melihat hasil segera dari tindakan kita. Untuk semua sikap skeptis, dan untuk semua hal yang telah membuktikan bahwa saya mungkin telah gagal, saya pikir kita, kita semua di sini, memiliki kewajiban untuk menegaskan hal positif, konstruktif dan melakukan apa yang kita bisa untuk memastikan bahwa ide-ide kita diterima di ranah publik. Mereka yang ingin mengambil langkah itu sekarang juga akan melakukannya. Jika tidak kita harus berharap generasi berikutnya akan berhasil. Saya tahu bahwa generasi kita berutang untuk memastikan bahwa suara kita didengar. 

Prof. Chang: Saya sepenuhnya setuju dengan Rabbi Rosen. Dia meng- atakan apa yang ingin saya katakan. 

Prof. Saikal: Saya memiliki keengganan serius pada penggunaan istilah “dunia Islam”. “ Wilayah Muslim” lah yang harusnya digunakan. 

Prof. Hanson: Sangat penting dalam dialog antaragama untuk mengikuti sikap Benediktus XVI terhadap keselamatan. Di masa lalu, gereja mungkin telah mengambil posisi bahwa tidak ada keselamatan di luar gereja, tapi untungnya, pada abad terakhir ini, tidak begitu. Tentu di bawah kepemimpinan Paus Fransiskus saat ini, ada kekurangan pada gaya dakwah. Tetapi tidak ada perbedaan antara dua paus tersebut dalam hal keselamatan. Mereka sangat percaya bahwa keselamatan hadir melalui semua agama yang memiliki kehendak baik. 

Dr. Schlensog: Kita tidak harus membuat kesalahan yang sama seperti yang dilakukan dalam forum lintas agama lainnya. Kita tidak harus mencoba untuk menemukan kembali roda. Kita harus menegaskan kembali bahwa ada ide seperti etika global, dan kita telah menguraikan apa yang masuk dan tidak dalam etika itu. Kita memiliki dokumen yang cukup yang telah diadopsi oleh komunitas agama dan bidang berlatar belakang sekuler. Kita tidak perlu menemukan kembali dokumen-dokumen itu: kita harus membawa mereka kembali ke pikiran orang- orang. 
  Apa yang lebih penting adalah, kita harus mengembangkan ide-ide tentang bagaimana kita dapat menerapkan ide-ide ini dalam praktiknya, dalam praktik konkret di masyarakat kita. Saya yakin bahwa kita harus mengatasi tiga bidang. Salah satunya adalah politik, yang lainnya adalah komunitas bisnis, yang ketiga adalah bidang pendidikan. Jika kita tidak memulai pendidikan etika–pendidikan untuk etika, menghormati kemajemukan, dan lain-lain—pada tingkat dasar; kita tidak akan ber- ubah. Yang terakhir adalah, kita tidak harus berbicara dalam bahasa agama. Kita harus mengatasi dunia sekuler dan menemukan cara untuk menyebutkan prinsip-prinsip ini. 
 
 

HIKMAH PENGALAMAN DARI
ABAD KE-20

Sesi dipimpin oleh


Y.M. Dr Franz Vranitzky
Mantan Konselor Austria 

Manusia menyaksikan dua perang dunia yang mengerikan selama abad ke-20. Lebih dari 60 juta orang meninggal hanya dalam Perang Dunia II saja. Namun dunia juga mengalami kemajuan teknologi spektakuler dan peningkatan dalam standar hidup di negara maju dan berkembang yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. 
  Sesi II membahas implikasi dari semua ini. Pembicara pertama, Profesor Dr. Friedrich Wilhelm Graf dari Ludwig-Maximilians University, menyatakan bahwa generasi Jerman pada Perang Dunia II harus memeriksa secara kritis pengalaman Nazi dan kejahatan yang tidak manusiawi dan bertanya mengapa begitu banyak orang Jerman dan dua gereja menerima atau aktif mendukung anti Semitisme. Bisa dikatakan bahwa mereka adalah manusia yang gagal tapi jelas agama telah gagal juga. Sedangkan agama sering memiliki dan bisa menciptakan solidaritas, kegagalan ini pun menunjukkan bagaimana agama juga bisa menjadi kekuatan destruktif dalam masyarakat. Tidak akan pernah ada rekonsiliasi yang lengkap antara unsur-unsur yang berbeda dan ideologi dalam kemanusiaan. Akan selalu ada konflik moral, perbedaan dan perpecahan di dunia ini. Namun demikian, menurut Profesor Graf, alasannya bukan karena keyakinan agama, yang bisa membawa kita menuju etika global. 
  Pembicara kedua, Sri Sri Ravi Shankar dari The Art of Living ber- pendapat bahwa inklusivitas Mahatma Gandhi dari semua agama dan perayaan perbedaan, membawa orang bersama-sama meng- akhiri kolonialisme di Asia, salah satu tantangan yang paling sulit dari abad ke-20. Namun demikian konflik antara agama-agama di Anak Benua India tetap menjadi masalah besar. Beliau menekankan bahwa mempromosikan perdamaian melalui pendidikan yang kuat dan memberikan perhatian yang lebih besar pada kedamaian batin yang bebas stres dan penuh kebahagiaan, memelihara komunikasi nonkekerasan, adalah penting untuk menghindari kesalahan abad yang lalu. 
  Y.M. Dr Abdel Salam Al-Majali mempresentasikan makalah di mana ia membahas peran kepemimpinan dalam menyelesaikan konflik dan mewujudkan rekonsiliasi dan perdamaian dengan mengacu pada para cendekiawan Arab kuno. Peradaban gagal ketika para pemimpin menjadi dominator. Yang paling penting adalah untuk menghormati orang lain yang berbeda dari diri kita. Beliau juga menekankan pentingnya “mengekspos” pemuda dengan nilai-nilai yang berbeda. 
  Poin berikut muncul dari diskusi berikutnya: Asia Timur yang nonmonoteistik sepakat bahwa inklusivitas agama dan toleransi di daerah mereka bisa membantu dalam menghindari konflik. Namun, perang antara kelompok agama dan etnis yang berbeda sayangnya masih terjadi di Timur juga di Barat. Mengulangi perkataan Prof. Dr. Graf: pendeta Buddha Jepang mengakui dan menyesal bahwa lembaga keagamaan mereka telah mendukung Perang Dunia II, tragedi yang diharap tak akan pernah terulang. 
  Pertanyaan yang muncul ada pada realitas pragmatis Hobbes yang mendekati pandangan idealis Kantian. Di Barat, hal ini merupakan tantangan yang telah dan terus menjadi area aktif untuk dieksplorasi dan diperoleh ukuran keberhasilannya melalui proses demokrasi. Namun, ada bagian lain dari dunia ini, terutama di bawah Islam, di mana tantangan menggabungkan demokrasi dengan kedaulatan Tuhan dan ketaatan kepada tradisi keagamaan, masih belum pernah diperhatikan dengan baik. 
  Hal lain yang sama pentingnya adalah tantangan pada hubungan antara pembangunan ekonomi dan kualitas hidup manusia. Demikian pula, pertumbuhan imigrasi besar-besaran, keduanya sebagai akibat dari kegagalan ekonomi dan politik, menciptakan sentimen anti-imigrasi di Barat. Ini menimbulkan tantangan besar dalam negara tujuan imigrasi. Sebuah tantangan penting juga datang dari kelebihan populasi. Dunia harus menghadapi realitas populasi 9 miliar dan implikasinya bagi masa depan kehidupan di planet kita. 
  Telah disimpulkan bahwa sementara mungkin tidak ada contoh masyarakat sekuler murni, memang ada negara-negara sekuler di mana aturan hukum diterima. Hukum yang menjamin kelangsungan setidaknya beberapa elemen Kantian. Tetapi mengingat ekspresi yang berbeda dan aspirasi masyarakat dan budaya, seseorang harus menghindari solusi monolitik dan harusnya berbicara dengan beberapa modernitas. Penting untuk memahami mengapa fundamentalis agama yang bisa menciptakan ikatan sosial yang kuat masih begitu menarik. Jelas, negara-negara sekuler bisa mendapatkan keuntungan dari kontribusi dari dimensi agama dengan cara yang sama bahwa masyarakat religius bisa mendapatkan keuntungan dari beberapa tujuan nilai-nilai sekuler. 
 

REKONSILIASI GEREJA-GEREJA
PENGALAMAN JERMAN




Pembicara 1:
Prof. Dr. Friedrich Wilhelm Graf
Profesor Penuh Teologi Sistematik dan Etika
Ludwig-Maximilians University, Munich. 

SETIAP teologi mencerminkan pengalaman hidup dari teolognya. Teologi, studi agama dan biografi yang terjalin erat dan berinteraksi satu sama lain dengan berbagai cara. Karya saya tentang agama telah dibentuk secara formatif oleh konstelasi sejarah tertentu. Saya lahir di Jerman Barat pada bulan Desember 1948 dan oleh karena itu menjadi generasi pertama dari warga Jerman yang lahir di Republik Federal: saya dibesarkan dalam negara demokrasi ini. 
  Generasi saya yang tertarik secara politik dan sensitif secara intelektual, melihat diri mereka dihadapkan dengan sebuah tantangan. Mereka harus mengkritisi Sosialisme Nasional dan kejahatannya yang mengerikan. Mereka harus menemukan jawaban atas pertanyaan mengapa demokrasi pertama Jerman, Republik Weimar didirikan pada 1919, kandas dan apa yang membuat eksperimen Nazi sebagai negara totaliter antiliberal berhasil. Untuk alasan ini, saya mulai, pada usia yang relatif dini, untuk mempelajari teori politik klasik Anglo-Saxon, dalam teori politik liberal tertentu. Saya khususnya sangat tertarik dengan demokrasi parlementer dalam kondisi fungsional dan mencari, di atas semua, cara memperkuat klaim individu untuk kebebasan vis-à- vis negara dan masyarakat. 
  Pada usia sembilan belas, saya ikut dalam program pertukaran pelajar Jepang-Jerman. Saya menghabiskan beberapa minggu bepergian mengelilingi Jepang dan belajar di Tokyo untuk beberapa waktu. Saya menyadari, bagaimana budaya asli saya sendiri. Pengalaman ini yang mendorong saya, pada masa masa awal, untuk mempelajari hubungan antara Kristen, terutama Protestan, dan agama-agama lain. Di sini, sekali lagi, perhatian utama saya terfokus pada kebebasan individu. Saya mulai menyelidiki tradisi teologis yang memperkuat kebebasan individu dan memfasilitasi koeksistensi perdamaian antara orang-orang dengan latar belakang dan keyakinan agama yang sangat berbeda. 
  Ketika menjadi mahasiswa, saya pernah pindah dari University of Tubingen ke University of Munich. Di Munich, saya berkenalan dengan para profesor baik yang mendalami ilmu filsafat maupun teologi yang memperkenalkan saya ke dunia pemikiran baru dan menarik: pertama dan terutama, tradisi liberal Jerman ‘Budaya Protestan’. Saya mulai belajar Hegel dan Schleiermacher, Troeltsch dan Harnack, dan tentu saja Immanuel Kant. Bagi saya, filsafat kritis Kant mewakili bentuk yang paling reflektif dan penting dari teori liberalisme ketat yang mengakar ke Pencerahan Jerman. Singkatnya, saya melihat diri saya sebagai seorang Protestan Kantian. Dari Kant, saya telah berusaha untuk belajar demarkasi diri kritis, toleransi, dan secara terus dan skeptis mempertanyakan klaim kebenaran dogmatis. 
  Tugas dari generasi saya adalah untuk menguji totalitarianisme politik modern dan janji-janji ideologisnya, dan bertanya mengapa begitu banyak orang di Jerman, dan terutama kedua gereja, menerima atau secara aktif mendukung anti-Semitisme dan rasisme yang berasal dari Sosialisme Nasional. Ini adalah sesuatu yang sangat penting bagi saya. Saya tidak akan membaca makalah saya, tapi saya ingin menambahkan dua komentar terkait dengan diskusi kita pagi ini. Titik pertama saya adalah agama. Agama adalah fenomena yang sangat ambivalen dan ini adalah fakta yang valid untuk semua tradisi keagamaan umat manusia. Agama dapat membentuk solidaritas dalam masyarakat. Hal ini dapat memperkuat kerentanan dan kebutuhan dasar masyarakat miskin dan terpinggirkan. Hal ini dapat menyatukan kita untuk menyadari bahwa masing-masing orang adalah saudara dan saudari lain kita tanpa mengindahkan garis kebangsaan, kelas,etnis dan sebagainya. Hal ini dapat memperkuat rasa kerendahan hati. 
  Di sisi lain, agama bisa menjadi kekuatan sosial yang sangat merusak, sangat kasar, yang menyebabkan kebencian dan pengucilan terhadap mereka yang tidak memiliki “keyakinan yang sama seperti saya” atau percaya pada Tuhan lain. Sekali lagi, ini ada di semua tradisi keagamaan. Anda dapat menemukan banyak kekerasan dalam sejarah kekristenan, dan Anda dapat menemukan banyak kekerasan dalam sejarah Buddhisme, misalnya. Dan Anda dapat menemukan banyak kekerasan dalam agama-agama Asia Timur di masa pascamodern baru; contohlah Aum Shinrikyo di Jepang, misalnya. Hal ini berarti kita harus berbicara tentang agama secara lebih kritis, dalam cara yang lebih skeptis dari beberapa ketimbang yang telah kita lakukan pagi ini. 
  Titik kedua saya, istilah “etika global”. Istilah weltekeke atau cosmopolitishe eke diciptakan pada abad ke-18 di masa Pencerahan di Jerman dan Inggris. Beberapa menyebutnya “etos Kosmopolitan”, yang lain “etos dalam martabat manusia dan hak asasi manusia”. Filsuf Pencerahan seperti John Lock dan Emmanuel Kant selalu menekankan satu titik, sebuah etika universal pertama dan berlaku bagi semua orang adalah upaya nonpartikularistik yang dilakukan karena sebuah alasan. Alasan itu, bukan iman keagamaan yang dapat membawa kita ke prinsip etika global. 
  Ini berarti untuk filsuf dan teolog dari masa Pencerahan, ada ketegangan yang sangat dalam antara akal dan etika global di satu sisi, dan banyak yang beragam tetapi semua tradisi agama partikularistik -dalam bahasa Kant, bentuk agamanya tertanam ke dalam bentuk etika ike partikularistik, atau etika heteronomi. Etika agama didasarkan pada ketergantungan manusia kepada Tuhan, Sang Mahakuasa Yang Mencipta. Etika wajar didasarkan pada kemandirian dan kesungguhan, berbeda jelas dengan heteronomi agama. 
  Perdana Menteri Fraser menawarkan “Sebuah etika global yang diterima oleh agama-agama besar dunia” pagi ini. Saya harus mengatakan saya jauh lebih skeptis. Banyak elemen dalam tradisi agama-agama tua yang kontras dengan ide-ide hak asasi manusia yang berada di pusat etika global. Ambil contoh Jerman. Gereja-gereja Jerman belajar untuk menerima hak asasi manusia untuk berpikir sangat lambat, baru pada 1950-an. Mereka telah jadi lawan yang kuat untuk menentang setiap jenis wacana hak asasi manusia sejak masa Pencerahan pada abad ke- 19, pada tahun 1920 dan seterusnya. Ini adalah proses yang sangat terlambat. Saya berpikir bahwa sebagian dari kita memiliki terlalu banyak pandangan harmonis terhadap hubungan antara agama dan etika global. Kita harus mengambil keragaman dan perbedaan yang jauh lebih serius, perbedaan tidak hanya ada di dalam tetapi juga di antara berbagai agama dan masyarakat. 
  Sebelum saya akhiri. Untuk teolog Kristen, rekonsiliasi, toleransi, etika global atau etika universal, selalu menjadi konsep yang entomologis. Persepsi terhadap perbedaan mendasar antara sekarang dan nanti, kehidupan ini dan berikutnya, dunia kerajaan, mencegah upaya rekonsiliasi agama, toleransi dan sebagainya terhadap yang diideologikan dan diinstrumentalisasikan secara politik. Di sini, di dunia ini, tidak akan pernah ada rekonsiliasi yang selesai, dan akan selalu ada banyak konflik moral. Di sini, akan selalu ada perbedaan, pembagian, pemisahan dan konflik. Siapa pun berusaha untuk membentuk masyarakat untuk mewujudkan etika global dengan semua cara termasuk merangkul mereka yang mengancam untuk meniadakan unsur hidup individu dan kebebasan pribadi untuk hidup secara berbeda dari orang lain. Lebih banyak kebebasan bekerja bergandengan tangan dengan keberagaman dan sering kali dengan lebih banyak konflik. 

Ketua Vranitzky: Saya hanya ingin mengatakan sesuatu. Ketika berbicara tentang toleransi dan toleransi, Goethe, penyair Jerman yang paling menonjol, pernah menulis bahwa toleransi hanya bisa berada dalam tahap peralihan: tidak masuk akal jika tidak berubah menjadi penerimaan. Kita bisa memikirkan perkataannya ini. Kedua, saya sangat setuju dengan apa yang Perdana Menteri Fraser dan lainnya katakan bahwa kita tidak harus menutup mata kita terhadap persepsi bahwa agama dalam sejarahnya dikotori oleh banyak kasus perkelahian, pertengkaran, peperangan, dan lain-lain meskipun agama bukan penyebab dan alasan utamanya. 
  Salah satu contoh adalah Irlandia. Katholik Irlandia tidak melawan Inggris karena Inggris adalah negara Protestan. Mereka berjuang karena itu perbedaan London, yang wilayah maju, sementara Katolik Irlandia miskin. Jadi, hal itu menjadi alasan yang cukup baik bagi Irlandia untuk tidak menjadi teman baik dengan Inggris. Dan lebih dari itu, para pemimpin politik dipilih oleh berbagai kelompok, jika para pemimpin ini tahu apa yang kelompok-kelompoknya ingin miliki dan dengarkan. Dan hanya setelah para pemimpin di Irlandia Utara menjadi lebih moderat, ada kesempatan untuk menuju perdamaian. Pikirkan tentang Ian Paisley yang sangat militan dan agresif sebagai seorang pemimpin agama. Setelah ia tidak lagi aktif, mereka menemukan cara dan sarana untuk bersatu. 
  Titik ketiga saya agaknya merupakan pertanyaan. Mungkin pembicara sore ini bisa menghubungkan. Ketika kita berbicara tentang iman global, kepercayaan, dan lain-lain, saya bertanya-tanya apa yang harus kita katakan dalam hal kesetaraan gender dalam sejumlah agama dan negara. Saya mengatakan hal ini bukan hanya karena kami memiliki pembicara dari India sore ini, dan untuk menghormati kehadiran Anda di sini, kami menempatkan pertanyaan ini pada Anda. 
  Dr. Graf, Anda mengatakan, kami sangat terlambat dalam proses pembelajaran, Apakah proses ini berakhir pada ateisme? 

Prof. Dr. Graf: Tidak, saya tidak akan mengatakan begitu. Saya hanya bisa bicara tentang masyarakat Eropa dan mungkin saya bisa mengutarakan beberapa kalimat dalam kaitannya dengan Amerika Serikat. Situasi keagamaan di sebagian besar masyarakat Eropa sangat kompleks. Anda menemukan kecenderungan sekularitas, Anda akan menemukan beberapa ateisme agresif, terutama di Inggris dan sebagian dari Prancis; Anda akan menemukan beberapa bentuk Kristen Protestan konservatif di bagian Eropa yang berhaluan sayap kanan dan sangat agresif. Sementara di bagian lain ada Gereja Katolik Eropa; Anda akan menemukan beberapa umat kelas menengah yang menghadiri ibadah Natal, yang berarti mereka, memahami diri mereka sebagai orang Kristen. Saya tidak berpikir bahwa Eropa merupakan benua ateis. Berbeda lagi di Polandia. Anda akan menemukan banyak keanekaragaman. Anda akan menemukan situasi yang berbeda di Jerman Timur. Anda tidak bisa membandingkannya dengan Jerman Selatan dan sebagainya. 
  Saya kira Anda tidak dapat memisahkan agama dan politik. Agama dan politik tidak pernah dipisahkan di Eropa. Semua gerakan nasionalisme Eropa dari abad ke-19 telah didasarkan pada pemikiran teologis dan tradisi agama: bangsa ilahi, Polandia Kudus, dan sebagainya. Selalu saja ada bahasa keagamaannya. Tapi Anda bisa memisahkan lembaga, organisasi dan negara keagamaan, pemisahan gereja dan negara, misalnya. Tapi itu sesuatu hal yang berbeda. 
 
 

MERAYAKAN PERBEDAAN



Pembicara 2:


H.H. Sri Sri Ravi Shankar
Seni Kehidupan (India) 

HADIRIN yang saya hormati, saya ingin mulai dengan menceritakan sebuah peristiwa yang terjadi di Jepang. Setelah, Presiden Amerika Serikat Nixon bertemu pemimpin agama di sana. Di sebelah kanannya duduk seorang biarawan Buddha, dan kirinya adalah seorang imam Shinto. Nixon berpaling kepada imam Shinto dan bertanya, “Berapa persentase Shinto di Jepang?” “80%” kata imam itu. Nixon kemudian meminta biksu, “Jadi, berapa persentase umat Buddha di Jepang?” “80%” kata biksu itu. Nixon bingung, dan bertanya, “Bagaimana itu mungkin?” Imam dan biarawan itu saling memandang dan tersenyum. “Tidak ada garis pemisah yang signifikan antara agama kami. Setiap Buddha menghormati agama Shinto dan sebaliknya”. 

  Sementara cerita Nixon mungkin tampak seperti sebuah realitas terlalu mengada-ada bagi banyak orang, perspektif seperti itulah yang sebagian besar diinginkan banyak orang. Meskipun seseorang mungkin lahir dari keluarga Hindu yang ketat, tidak ada yang bisa menghentikannya untuk mengunjungi masjid dan gereja. Bahkan, orang tua kita mungkin dulu pernah membawa kita mengunjungi tempat-tempat ibadah umat lain. Berkat Mahatma Gandhi dan sebuah tradisi yang berakar kuat dari ko-eksistensi perdamaian antara agama- agama, bahkan Yahudi mampu berkembang selama berabad-abad di India. Bahkan, India adalah satu-satunya negara di dunia di mana para penganut Yahudinya tidak pernah dianiaya. 
  Guru saya yang berusia 117 tahun adalah rekan yang sangat dekat dengan Mahatma Gandhi. Mahatma Gandhi sering mengatakan, “Kita harus bermimpi dan kita harus mulai bekerja lebih cepat”. Mimpi Gandhi berawal dari inklusivitas. Setiap hari, beliau akan membacakan beberapa ayat dari Al-Qur’an, beberapa ayat dari Alkitab, beberapa Slokas dari Bhagavad Gita, dan beberapa sutra dari Tripitaka Buddha. Filsafat Gandhi menginspirasi pengalaman transformasional pada abad ke-20, khususnya di Asia Selatan. Hal ini menyatukan orang-orang dari semua agama di bawah satu gerakan untuk mengakhiri kolonialisme, salah satu dari tantangan abad ke-20 yang paling sulit. 
  Di masa sekarang, bahkan agama tradisional yang damai seperti Hindu dan Buddha mengalami pengaruh ekstremisme. Entah bagai- mana, kita kehilangan kemampuan kita untuk merayakan perbedaan. Setelah masa Gandhi, kita harus menginspirasi penduduk kita untuk melihat keharmonisan dalam keragaman, untuk merayakan perayaan bersama-sama dan belajar dari agama masing-masing. Jika seorang anak dibesarkan dengan sedikit pemahaman tentang semua agama, dia tidak akan tumbuh mempercayai “hanya agama saya akan membawa saya ke surga” atau “orang lain akan masuk neraka”. Sebuah visi yang lebih luas dapat membuat perbedaan. 
  Abad ke-20 diramaikan oleh perlombaan senjata dan sayangnya kita terus menghabiskan begitu hal banyak pada senjata dan amunisi. Setiap negara menghabiskan sejumlah besar sumber dayanya pada anggaran pertahanannya. Jika pemerintah mengalihkan hanya 0,1% dari apa yang mereka keluarkan untuk pertahanan ke sektor pendidikan pemuda untuk menempuh jalan perdamaian dan pendidikan antarbudaya, dunia akan menjadi tempat yang jauh lebih bahagia. Komunitas-komunitas keagamaan juga dapat memainkan peran penting dalam menanamkan rasa keberanian dan harapan untuk masa depan, dan mendorong perayaan antarkeyakinan. Pendidikan perdamaian harus dipromosikan dengan penuh semangat. 
  Pada abad sebelumnya banyak dihiasi dengan kerusuhan, konflik agama, dan orang-orang kehilangan rumah mereka karena konflik dan bencana alam. Beragam upaya dilakukan untuk menciptakan perdamaian di luar, tapi jelas itu tidak cukup. Pada tingkat manusia, stres adalah penyebab mengapa begitu banyak hal yang salah dengan dunia kita saat ini. Apakah kita membuat masyarakat kita lebih bahagia? Atau, apakah masyarakat kita menjadi lebih tertekan? WHO telah menyatakan bahwa pembunuh terbesar abad ini adalah depresi dan penyakit mental. Statistik menunjukkan bahwa 40% guru sekolah tertekan. Jika guru tertekan, apa yang bisa mereka transfer ke murid mereka? Kita harus, karena itu, juga berbicara tentang perdamaian dan kebahagiaan batin. 
  Hal ini menjadi semakin jelas bahwa kebahagiaan tidak sebanding dengan kesejahteraan. Diperkirakan 38% dari populasi di Eropa sedang mengalami depresi. Jumlah ini tidak terlalu berbeda di negara-negara maju lainnya. Sebaliknya, angka kebahagiaan penduduk kumuh India jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju. Di abad ke- 21 ini kita harus menghadapi fakta aneh ini untuk benar-benar belajar dari abad sebelumnya. 
  Selain stres, kurangnya visi yang luas tentang kehidupan, dan kurangnya pemahaman, adalah kurangnya komunikasi yang akhirnya mengarah ke kekerasan dalam masyarakat. Abad ke-20 mengajarkan kita bahwa ketika komunikasi rusak, konflik muncul. Oleh karena itu, masyarakat saat ini harus berkomitmen untuk memelihara komunikasi nonkekerasan dari usia yang sangat muda. 
  Pada titik ini, saya ingin menekankan isu penting yang sebelumnya diangkat oleh Ketua—ketidaksetaraan gender. Kesetaraan gender pen- ting untuk inklusivitas yang sebenarnya. Di beberapa negara, termasuk India, aborsi janin perempuan adalah perhatian utama orang tua karena orang tua pengantin perempuan yang akan menanggung peningkatan biaya pernikahan kelak, dan para laki-laki mengharapkan pengantin perempuanlah yang akan membawakan mereka kekayaan. Namun, ketidaksetaraan gender tidak selalu ada pada norma. Perempuan sering diberikan prioritas yang lebih besar atas laki-laki. Misalnya, undangan ditulis untuk Nyonya & Tuan, bukan sebaliknya. Di India, dua negara bagian—Kerala dan Tripura—menggunakan adat masyarakat matriarkal. Di sana, pengantin pria dikirim ke rumah pengantin wanita dan harta warisan ditransfer dari anak putri ke keturunan putri. Bahkan, pria dan wanita derajatnya sama di masa India kuno. Selama abad pertengahan, sayangnya, kekuatan perempuan perlahan-lahan diambil. Tradisi awal tentang kesetaraan harus hidup kembali. 
  Di India, selama siklus politik terakhir, Presiden, Ketua Parlemen, dan kepala partai politik yang berkuasa, semuanya wanita. Banyak negara bagian di India diatur oleh wanita. Karena itu, saya setuju bahwa masih banyak hal yang harus dilakukan di daerah ini. Organisasi keagamaan dan kemasyarakatan harus memusyawarahkan tempat baru bagi perempuan. Ini bukan pekerjaan mudah. Beberapa orang mungkin setuju dan beberapa mungkin tidak, tapi kesetaraan gender harus entah bagaimana dibawa maju ke abad ke-21. Ini adalah tanggung jawab para pemikir dan filsuf masa sekarang. 

Kesimpulannya, kita harus mengambil langkah-langkah untuk mendidik pemuda kita. Mengulangi pernyataan saya sebelumnya, jika setiap anak dididik tentang tradisi dan kebiasaan yang beragam di dunia, ia akan tumbuh dengan visi yang lebih luas. Dengan visi ini datang kapasitas untuk tidak hanya menolerir, tetapi menghargai dan merayakan perbedaan-perbedaan kita. Kita telah pindah dari isolasionisme abad ke-20 menuju komunitas global abad ke-21. Dan sekaranglah saatnya kita merayakan perbedaan kita. 
 
 
 

NORMA PENGAMBILAN KEBIJAKAN
MENUJU SOLIDARITAS DALAM
PERADABAN DUNIA

Makalah dipresentasikan oleh 

Y.M. Dr. Abdel Salam Majali
 Mantan Perdana Menteri Yordania 

KITA berbicara tentang “dialog lintas agama” tapi saya pikir kita harus bertanya: “Dialog ini untuk mencapai apa?”
  Saya menyarankan jawaban dari ulama besar dan sejarawan Arab Ibnu Khaldun, yang mempelajari konsep dan sejarah peradaban dan menjelaskan mengapa mereka muncul dan tenggelam. Dia juga mengembangkan gagasan sosiologi: Umran, jauh sebelum ilmuwan Eropa membicarakannya. Umran adalah “kesejahteraan manusia dan pembangunan manusia”; tujuan yang baik untuk hasil dari dialog lintas agama. 

  Ibnu Khaldun mengusulkan gagasan Ashabiyah, yang berarti ‘rasa solidaritas.’ Dalam mengejar Ashabiyah sebagai tujuan ideal, seorang pemimpin berusaha untuk mengidentifikasi faktor-faktor psikologis, ekonomi, lingkungan dan sosial yang berkontribusi terhadap kemajuan peradaban manusia. Tentunya, tujuan pertama ‘dialog’ adalah untuk membangun solidaritas-solidaritas nasional dan dalam peradaban global kita. Ibnu Khaldun juga bapak dari studi kepemimpinan. Dia mengatakan bahwa kepemimpinan muncul melalui hubungan dinamis yang kuat antara pemimpin dan pengikut. Sebuah kualifikasi dasar untuk seorang pemimpin yang baik menurut Ibnu Khaldun adalah bahwa ia harus mau menghormati orang lain. Hal ini menciptakan solidaritas antara pemimpin dan yang dipimpin, antara kepala dan tubuh. 
  Ada perbedaan besar antara kepemimpinan dan dominasi. Peradaban gagal ketika para pemimpin menjadi pendominasi. Yang pasti memberikan pesan bagi para pemimpin dunia, khususnya di negara-negara yang paling kuat di dunia. Kita perlu mengajarkan para pemimpin muda untuk memahami bahwa jika mereka menjadi pendominasi, mereka akan membawa keburukan pada masyarakat, komunitas, lembaga dan, pada akhirnya, peradaban yang mereka pim- pin; tak lupa juga pada diri mereka sendiri. 
  Pemimpin tidak akan belajar banyak dengan memiliki pengetahuan hanya lewat kuliah. Mereka akan belajar dengan bertemu senior dan rekan-rekan mereka—bertemu secara vertikal dan horizontal. Saya percaya pendidikan yang terbaik adalah interaksi pikiran, antara orang- orang dari berbagai profesi, agama, peradaban yang berbeda, dan sektor sosial yang berbeda. Ini adalah landasan etika dalam pengambilan keputusan bagi pemimpin masa depan. 
  The United Nations University International Leadership Academy
(yang saya kembangkan dan dukung) didirikan beberapa tahun yang lalu untuk memberikan kesempatan bagi para calon pemimpin muda dari semua negara dan semua lapisan masyarakat untuk “muncul” ke “masyarakat”. Pemimpin muda, antara usia 30-40, yang akan berinteraksi satu sama lain dengan para pemimpin politik yang dipilih dari negara-negara lain melalui mengunjungi berbagai negara untuk bertemu dan berinteraksi dengan pemimpinnya. Ketika kunjungan berangkai ini berakhir, mereka akan kembali ke tempatnya masing- masing untuk memberikan pengarahan kelompok tentang apa yang mereka lihat, dengar, dan pandang sendiri, yang semua masuk ke buku referensi utama yang kemudian diterbitkan. Ini adalah salah satu cara yang pasti untuk menjembatani kesenjangan antara pemimpin dan yang dipimpin, untuk menjembatani: kesenjangan antara pemimpin mereka, dan menanam benih-benih pengambilan keputusan yang etis dalam hati dan pikiran pemimpin masa depan. Pada abad kedua puluh satu kita hidup dalam apa yang disebut “dunia global.” Tentunya, program seperti itu adalah salah satu cara membangun solidaritas untuk peradaban global. Pendidikan kepemimpinan tersebut dapat membantu mengatasi ketidaktahuan dan prasangka yang ada terhadap cara hidup dan kebiasaan “yang lain”. Sayangnya, program ini ditinggalkan oleh pimpinan United Nations University beberapa tahun yang lalu. Mereka ingin memilih pelatihan kepemimpinan konvensional, bukan skema yang telah saya usulkan.
  “Mengekspos” dengan secara tidak egois mengekspos pandangan seseorang kepada orang lain. Ini berarti membiarkan orang lain mengekspos pandangan mereka juga. Ini dimulai dengan mendengar- kan. Biarkan saya. mengutip seorang mantan Senator Demokrat AS dari Georgia, Wyche Fowler, yang menjadi duta besar untuk Riyadh beberapa tahun yang lalu. Dia mengatakan: “Saya menikmati menghabiskan berjam-jam minum teh di gurun dengan orang Arab hingga larut malam. Mereka ingin memberitahu Anda tentang keluarga mereka, dan ingin mendengar cerita tentang keluarga Anda. Mereka akan ceritakan tentang ayah mereka yang beternak unta, dan aku katakan kepada mereka perihal ayahku yang beternak sapi.”Penggalan ini menggambarkan indahnya menemukan dasar yang sama dalam menciptakan solidaritas. 
  Agama menawarkan hal yang serupa. Muhammad Saw. bersabda: “Perlakukan orang lain sebagaimana kau ingin mereka memperlaku- kanmu.” Jesus bersabda: “Cintai tetanggamu sebagaimana kau mencintai dirimu sendiri”. Dua agama yang berbeda, mengajarkan hal yang serupa tentang bagaimana memperlakukan orang lain. Perlakukan pemimpin, pemerintah, perusahaan, dan orang lain sebagaimana kau ingin diperlakukan oleh mereka. Pendapat yang sama juga berlaku dalam permasalahan etika. Etika tercantum dalam setiap agama. Dialog lintas agama dan kepercayaan tidak lepas dari dialog antarpara pengikut berbagai agama tersebut. Tapi dialog macam apakah itu? Beberapa orang mendefinisikan kepercayaan sebagai “doktrin kepercayaan berdasarkan sebuah ikrar”. Bagi saya, kepercayaan terbentuk oleh ritual, aturan, dan nilai-nilai. 
  Sebuah dialog antarpara pengikut berbagai kepercayaan tidak seharusnya membahas ritual, interaksi dengan tuhannya, peribadatan, atau tempat peribadatan seperti masjid, gereja atau pun sinagog. Dialog tersebut juga tidak seharusnya membahas aturan-aturan atau ajaran-ajaran yang sudah bersifat dan berterima secara universal. Dialog tersebut harusnya berkisar tentang nilai-nilai; nilai-nilai keadilan, kesetaraan, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dan kemerdekaan. Hal inilah yang seharusnya menjadi inti dialog semacam itu. Dengan terfokus pada nilai-nilai, kita memantapkan pencarian dasar yang sama dalam hal kemanusiaan dan tidak mengutuk “yang lain.” Pertanyaan yang akan timbul adalah bagaimana menyelesaikan pertentangan antara menjadi pemimpin nasional dan internasional di saat kepentingan nasional bertentangan dengan kepentingan global. Menurut saya, sebenarnya kontradiksi semacam itu tidaklah nyata, hanya permasalahan personal saja. Dengan mengedepankan kepentingan umum, pemimpin nasional dapat dengan sukses membangun warisan yang ada sejak dulu. Hal yang sama juga terjadi pada tingkatan global, di mana sebenarnya kepentingan nasional dan global adalah hal yang sama, dan mereka yang menyadari itu akan menjadi pemimpin yang baik. 
  Menyadur dari piagam hak asasi manusia, saya setuju akan penting- nya sebuah deklarasi etika yang bersifat universal di mana hal ini dapat menyatukan politisi dan pemimpin agama demi kemanusiaan. Demi mendirikan pondasi ‘etika’ pada setiap pengambilan keputusan. 
  Kesimpulan saya mengacu pada pertemuan saya dengan salah satu pemimpin paling terkemuka abad 20, seorang teman baik, salah satu pendiri Dewan InterAction, Helmut Schmidt pada ulang tahunnya yang ke-95. Dia pernah berkata “siapa pun yang ingin mencapai cita-cita yang jauh, haruslah melangkah sedikit demi sedikit” 
  Saya akan mengemukakan kebijaksanaan dalam bertambahnya usia dengan merujuk kepada kata-kata Rabbi Haberman, seorang Rabbi emeritus dari Washington Hebrew Congregation di Washington, D.C., 

    • ・Pertama-tama, katanya, usia lanjut membawa pada kedamaian:
    • ・Kau akan telah mencapai apa yang kau inginkan pada usia lanjutmu,
    •  seandainya kau beruntung. Pertempuran sengit telah terlaksana,
    •  keputusan telah diambil. Kau sudah tidak perlu lagi berusaha dan
    •  memaksakan diri. 

 
Tetapi tolong dibedakan antara Haberman dengan Helmut Schmidt, di mana dia masih mengagungkan prinsip-prinsip hidupnya di usianya yang masih 95 tahun ini, sebagaimana saat dia memimpin Jerman sekitar empat puluh tahun lalu. Helmut, dirimu masih menjadi objek kecintaan dan penghormatan bagi banyak orang di dunia. Saya mendoakan ulang tahun yang dipenuhi kedamaian padamu, semoga Tuhan memberkahi. 



Diskusi


Dr. Schlensog: mempertanyakan kesetaraan gender tidak hanya berkisar kepada perbedaan keagamaan dan kemasyarakatan. Hal ini juga berkisar kepada konferensi ini. Masih ada banyak hal yang harus dilakukan pada pokok bahasan ini. Pidato dari Profesor Graf perlu diperhatikan. Jangan salah paham ketika seseorang seperti saya, atau ahli-ahli lain di dunia berbicara masalah etika global, kami tidak membicarakan masalah dunia dan akhirat. Kami membicarakan tentang potensi etika dalam hal tradisi spiritual dan filosofikal dunia. Dokumen semacam “Deklarasi Etika Dunia (Declarations toward World Ethics)”, oleh Parlemen Agama (Parliament of Religions) adalah dokumen yang membahas hal-hal spesifik pada masa kini, yang mengemukakan bahwa kita memiliki potensi untuk menyelesaikan segala permasalahan jika kita tetap mengedepankan tradisi beretika dan aturan-aturan dalam beretika. Dokumen ini tidak menjabarkan bagaimana menciptakan surga dunia seperti dokumen kebanyakan, tetapi dokumen ini menyatakan bahwa kita mempunyai kewajiban. Seandainya kita percaya bahwa kita mempunyai sebuah kewajiban agar senantiasa mengingatkan diri terhadap potensi tradisi kita, dan agar kita mengajak semua orang, para penganut agama, dan mereka yang tidak beragama, untuk berbuat hal yang sama. 



Prof. Chang: menyikapi agama dan kepercayaan, saya berpendapat kepercayaan di Cina mirip dengan di Jepang: 80% adalah Buddha, 80% adalah Konfusius, dan 80% adalah Taois; karena di hati setiap warga Cina, baik kaum terpelajar maupun tidak, lelaki maupun perempuan, ketiga hal ini diyakini di dalam hati mereka. Di sebuah rumah tangga, sering ditemukan di mana anak-anaknya adalah menganut kristen sedangkan orang tuanya tetap menganut Buddha atau Taoisme.

  Poin kedua adalah ucapan Ketua Vranitzky yang mengutip Goethe, “Dimulai dengan mentoleransi, dilanjutkan dengan menerima.” Dan saya yakin langkah berikutnya adalah saling menghargai, bukan hanya menerima, tetapi menghargai. Saya tidak akan terlalu jauh untuk mengatakan “rayakan perbedaan.” Jika memang perbedaan itu ada, biarkan perbedaan tetap menjadi perbedaan; menerima dan menghargai adalah hal yang berbeda dalam beragama. 
  Poin ketiga adalah pengetahuan kita terhadap kepentingan personal, kesukuan, nasional, dan ekonomi terselubung dalam perbedaan agama. Saya akan mengemukakan contoh saya sendiri. Provinsi tempat saya dilahirkan akan diakuisisi oleh Jepang secara permanen seandainya Inggris dan Prancis tidak mengintervensi pada perang antara Cina dan Jepang tahun 1984. Saat itu Inggris, sebuah negara Protestan, dan Cina, sebuah negara Katolik, menekan Jepang, sebuah negara Shinto, untuk mengambil Taiwan saja. Dan saat ini, semua orang menyorot pada Crimea, yang pada abad ke-19 adalah sebuah negara Orthodoks, mencoba mengambil alih negara Muslim. Dan ketika Inggris dan Prancis mengintervensi, tentara Rusia akhirnya mundur. Semua kisah ini memberi kesimpulan bahwa kita tidak seharusnya hanya memperhatikan masalah keagamaan saja, dan kita harus memahami bahwa sebenarnya ada perbedaan yang lebih mendasar pada setiap manusia. 
  Pada awalnya, kita hanyalah satu umat manusia, dan kemudian tergantung pada ikatan sosial dan budaya, kita terbagi-bagi menjadi kelompok-kelompok yang berbeda. Saya menghormati dan berharap bahwa kita bisa menyatukan perbedaan-perbedaan itu, tetapi pada dasarnya kita membutuhkan dialog semacam ini, tanpa melupakan bahwa semua agama tidak dimaksudkan untuk dipertentangkan. Orang- orang menginginkan agama yang damai. Dalam masa pemerintahan Ashoka di India, Ashoka menaklukkan sebagian besar wilayah dan mengubah semua penduduknya menjadi penganut Buddha.

Ketua Vranitzky: Ibu saya adalah penganut Protestan dan ayah saya seorang Katolik. Saat mereka berdua menikah, mereka tidak menyatukan agama mereka dan menjaga kepercayaan mereka masing-masing. Ketika saya lahir, mereka memutuskan saya akan dibaptis sebagai seorang Protestan. Kemudian ketika perang dunia kedua terjadi, ayah saya harus berperang melawan Jerman. Pada tahun 1942, kami tidak mendapatkan kabar apa pun tentang ayah saya selama 9 bulan. Ibu saya menyalahkan dirinya sendiri, mengira ayah saya sudah gugur dan dialah penyebabnya karena tidak memperbolehkan anak-anaknya untuk dibaptis dalam kepercayaan Katolik. Untungnya ayah saya selamat dan pulang pada tahun 1945. Ibu saya berkata kepada ayah saya “Aku telah bersumpah kepada Tuhan kalau kau bisa kembali dengan selamat dari perang, aku akan membaptis ulang anak-anak kita menurut ajaran Katolik.” Hal itu menjadikan saya sebagai satu dari beberapa orang Austria yang menjadi Katolik dan Protestan pada waktu yang bersamaan. Mempersingkat cerita, ayah saya berkata “Itu omong kosong!” dan meninggalkan gereja.

Ohtani yang agung: Sebagai bangsa Jepang, saya ingin memberikan komentar pada Sri Sri Ravi Shankar yang mengemukakan pendapat tentang sikap bangsa Jepang terhadap masalah keagamaan. Beliau berkata bahwa 80% penduduk Jepang menganut ajaran Buddha dan 80% sisanya menganut Shinto, hal ini benar adanya. Hal ini adalah kenyataan hidup di Jepang yang mungkin sulit dipahami oleh penganut monoteisme. Tetapi kepercayaan saya (Pure Land) sedikit berbeda dari sekte Buddha lain di Jepang. Kepercayaan kami menitikberatkan kepada hanya satu makhluk transendental, Amitah Buddha. Kami tidak beribadat ke kuil Shinto, dan kami tidak mempermasalahkan agama Shinto. Di antara kepercayaan bangsa Jepang, kami adalah agama yang damai.
  Dengan ini, saya merujuk kepada sebuah poin pada presentasi profesor Graf yang berhubungan dengan sektor keagamaan terhadap kekejaman perang dunia kedua. Sangat disayangkan, saya harus mengakui bahwa hampir semua kepercayaan di Jepang mendukung kebijakan pemerintahan Jepang. Beberapa, sekalipun pasif, mendukung peperangan melawan negara-negara tetangga dan pihak Aliansi. Setelah perang dunia ke dua, kebanyakan agama di Jepang, termasuk agama kami, menyadari kesalahan besar kami setelah 40-50 tahun kemudian dan hal ini sangat disayangkan. Kami bersungguh-sungguh untuk tidak akan pernah membuat kesalahan yang sama dan sekarang kami berkomitmen untuk mempelajari bagaimana kami bisa berkontribusi kepada perdamaian dunia.

Ketua Vranitzky: bukan hal yang mengejutkan ketika kurva globalisasi dan integrasi semakin menaik, kurva solidaritas menurun. Di beberapa negara-negara Eropa, solidaritas menurun ketika berurusan dengan permasalahan imigran, pencari suaka, yang sebenarnya kita semua pernah berperan serta. Patut disayangkan, bahwa para pemimpin politik pada masa-masa kampanye sering berkata “Lupakan perihal solidaritas dengan rakyat miskin, para kaum pendatang.”

Prof. Saikal: salah satu gambaran utama masyarakat Arab yang sangat disesalkan adalah gambaran perpecahan dan bukan solidaritas. Saya ingin kembali membahas “Pelajaran dari Abad ke 20 untuk Masa Sekarang”. Pertanyaan saya untuk Dr. Graf adalah bahwa kita telah melihat abad ke 20 sebagai percampuran antara agama dan politik, tetapi kita masih belum bisa melihat kedekatan di antara keduanya. Bahkan di dalam masyarakat yang mengklaim dirinya sekuler, termasuk AS dan beberapa negara-negara Eropa. Tidakkah anda melihat ini sebagai pertentangan di antara ketuhanan dan kemanusiaan? Yang harusnya kita miliki adalah kepentingan kemanusiaan. Inilah hal yang paling penting.
  Ketika agama dimasukkan ke dalam kemanusiaan, di situlah ketuhanan dianggap lebih penting. Seperti yang kita tahu, kita memiliki Republik Islam Iran, di mana prinsip ketuhanan diwakili oleh Ulama dan kemanusiaan diwakili oleh presiden terpilih dan parlemen seperti yang terjadi di seluruh dunia. Selama kedua hal tersebut saling menghormati, maka mereka akan bisa berjalan berdampingan, seperti dicontohkan oleh Iran. Pelajaran yang bisa diambil pada abad ke 20 ini adalah, setiap ada percampuran antara agama dan politik, kita akan selalu menemukan pertentangan di antara konsep ketuhanan dan kemanusiaan, tetapi apakah itu perlu diperdebatkan?
  Pelajaran kedua yang harus kita jadikan fokus adalah apakah anda benar-benar ingin mempromosikan sudut pandang Kantian, sebuah area global? Setiap kali kita berusaha menerapkan sudut pandang Kantian, kita gagal, dan harus berhadapan dengan realitas Hobbesian yang terus menerus mendominasi bukan hanya panggung politik dunia tetapi juga perpolitikan nasional di seluruh negara di dunia. Hal ini juga merupakan salah satu pelajaran penting yag harus kita pahami di era abad ke 20. Apakah melalui perubahan dari Hobbesian menuju Kantian akan mempromosikan konsep solidaritas dan konsep Etika global?

Dr. Koshroo: Saya ingin mengomentari perihal ketuhanan dan kema- nusiaan. Jika kita meletakkan wacana filosofikal ini pada konteks perkembangan sosial dan politik pada dunia Islam, kita bisa memahami bahwa Islam adalah agama yang berkembang dan memiliki peran yang besar dalam kemasyarakatan modern dibandingkan dengan 50 tahun yang lalu. Islam adalah kekuatan yang muncul dan mempengaruhi kehidupan sosial dan politik. Tetapi penting untuk diperhatikan bahwa agama harusnya dikondisikan oleh kehendak masyarakat. Adalah sebuah tantangan untuk menemukan titik keseimbangan di antara kedua sumber legitimasi ketuhanan dan kemasyarakatan. Ketika Islam terus berkembang, kehendak masyarakat akan termasuk ke dalamnya, dan inilah cara menyatukan kedua hal tersebut.
  Hal ini membawa kita kepada isu yang lebih luas tentang demokrasi dan agama. Jika agama terus berkembang dan meluaskan jangkauannya, hal ini haruslah dikondisikan dengan pemerintahan demokrasi. Saat demokrasi membawa kehendak rakyat dan agama membawa ketuhanan, percampuran kedua hal itu menjadi isu utama dalam dunia Islam saat ini. Pada satu sisi , hal ini akan membawa kepada tirani keagamaan jika faktor ketuhanan tidak mengindahkan kehendak manusia, pada sisi lain akan membawa kepada masyarakat sekuler jika pemimpin masyarakat mengenyahkan Islam. Kita telah melihat contoh keduanya pada beberapa negara Islam di mana kebijakan-kebijakan menuai kekerasan. Bagaimana cara menyatukan ketuhanan dan kemanusiaan masih merupakan tantangan sampai saat ini.

Prof. Hanson: Saya hanya akan mengemukakan dua hal yang terling- kup di dalam dialog lintas agama yang dilaksanakan Dewan InterAction yang lalu dan muncul lagi saat ini. Salah satunya adalah adanya batasan pada hal yang bisa kita ikutkan dalam etika global, dan sebagaimana yang dikatakan Dr. Schlensog, beberapa isu sengaja ditinggalkan kepada tanggung jawab manusia, isu-isu semacam aborsi dan kontrasepsi. Beberapa hal yang dikemukakan oleh Sri Sri Ravi Shankar dalam kesetaraan jenis kelamin, memberikan saya ilham untuk menulis serang- kaian pertanyaan yang akan sulit untuk diperbincangkan: kesetaraan gender, kontrasepsi dan aborsi, hak-hak homoseksual, reproduksi ilmiah, hukuman mati. Ada beberapa hal yang tidak bisa kita tutupi. Kita harus menghargai pandangan orang lain atau setidaknya kita mengadakan dialog untuk mencari penyelesaian.
  Hal kedua adalah pendidikan etika. Ada banyak perdebatan di AS seputar pembentukan karakter. Di mana hal yang sebenarnya masuk lingkup keagamaan ini, saat ini lebih ramai diperbincangkan dalam konteks sekuler sebagai tanggung jawab kemasyarakatan. Telah banyak permintaan untuk pembentukan karakter pada kelas-kelas di sekolah sekuler dan mulai ada pengakuan pada kebutuhan pendidikan moral.

Presiden Vassiliou: judul dari sesi ini adalah “Pelajaran-Pelajaran dari Abad ke 20 untuk Masa Sekarang”. Salah satu pelajaran yang tidak mungkin terlupakan adalah hubungan antara perkembangan dan krisis ekonomi dan penghormatan terhadap etika, solidaritas dan sebagainya. Sebagai contoh, kita tidak boleh lupa bahwa karena adanya krisis ekonomi tahun 1930an, kita memulai pergerakan anti-Semit, Nazisme, dan lain-lain, hanya dikarenakan kita mencari kambing hitam untuk permasalahan yang ada.
  Saat ini kita memulai pergerakan antiimigrasi, entah itu kulit hitam, putih, atau kuning, tergantung di negara mana kita tinggal. Hal ini dikarenakan bagi politisi, hal yang paling mudah adalah mencari kambing hitam. Dan hal yang paling mudah untuk dijadikan kambing hitam adalah dengan berkata “permasalahan ada karena adanya para pendatang, karena adanya para imigran”, dibandingkan melihat aspek positif dari imigrasi. Saya tidak tahu apakah kita akan berhasil mengatasi permasalahan semacam ini atau tidak, tetapi sangatlah penting untuk menunjukkan hubungan antara perkembangan ekonomi dengan etika. Saat muncul permasalahan, kambing hitam akan terus dicari. Kita tidak akan menyelesaikan masalah dengan menyalahkan orang lain; peperangan terhadap imigran dan kaum Yahudi, peperangan melawan fanatik Muslim atau fanatik Kristen tidak akan menyelesaikan masalah di sebuah negara.

Perdana Menteri Chrétien: Mungkin saya dapat berkata sedikit tentang hal ini, karena sebuah agama di Kanada bukan lagi isu. Tidak ada yang tahu tentang pemikiran politik atau keagamaan setiap orang. Hal-hal tersebut bukan lagi isu, hal-hal tersebut adalah hal nyata yang sangat penting. Partai politik terbagi-bagi atas agama. Saat ini, kita tidak lagi bermasalah dan mempermasalahkan imigrasi karena tidak ada partai politik di Kanada yang mengangkat isu tersebut. Saya tidak mengenal satu pun politisasi yang menentang imigrasi, hal ini mungkin saja karena negara kami dibangun melalui sistem imigrasi. Saat ini, 50% rakyat Kanada adalah generasi pertama, kedua dan ketiga dari keluarga imigran. Kesimpulannya, semua pendatang pada sekitar 50-60 tahun ini adalah imigran.
  Dalam hal politik, saya berkomitmen untuk menaikkan populasi 1% oleh imigran, dan saya akan mendapatkan kritik jika tidak mencapai 1% ini. Filosofi yang digunakan adalah sisi positif dari imigrasi dan bukan sisi negatifnya. Kami membutuhkan populasi. Kami tidak bereproduksi sebanyak yang kami rencanakan, maka kami membutuhkan imigran untuk terus berkembang. Seorang imigran yang datang ke Kanada adalah konsumer di hari pertamanya. Terkadang, mereka berpendidikan tinggi, dan mampu bekerja pada hari pertama mereka disini. Saat ini, kami memiliki masyarakat yang bertoleransi terhadap multi budaya. Kami mengatakan kepada para imigran agar menjaga budayanya dan memberikan sebagian pendidikan dengan bahasa lokal mereka.
  Adalah pengalaman dari masyarakat yang mengatakan bahwa toleransi adalah kuncinya, dan penerimaan adalah hal yang tentu saja penting. Bagi saya, saya selalu mempunyai masalah semacam itu, saya pembicara bahasa Prancis, dan saya tidak pernah belajar untuk berbicara dalam bahasa Inggris dengan baik. Saya sering bercanda dengan mengatakan bahwa saya adalah satu-satunya pembicara bahasa Prancis yang setia dengan logat Prancis saat berbahasa Inggris. Saya tidak bisa berbahasa Inggris ketika saya menjadi anggota parlemen, tetapi orang-orang menerima perbedaan saya, karena itulah saya bisa menjadi Perdana Menteri. Jadi, toleransi sangatlah penting sekalipun toleransi membutuhkan pengetahuan; kita harus paham seperti apakah orang lain baru kita bisa menerima mereka. Karena itulah, dialog selalu menjadi hal yang penting dan begitu juga pendidikan.
  Saat ini, kita hidup dalam komunitas yang berbeda-beda. Cara kita berkomunikasi sudah berbeda dengan cara yang lampau. Anak-anak kecil masa kini tidak lagi saling berbicara. Mereka hanya melihat ke perangkat kecil, dan hal itu mungkin saja menjadi kesempatan untuk membuat orang lebih memahami satu sama lain. Saat ini, pelajar dari satu negara berkomunikasi dengan pelajar dari negara lain melalui teknologi, yang saya tidak mampu melakukannya. Kita bisa mendidik setiap orang di dunia bahwa agama, atau warna kulit bukanlah hal yang penting. Kita semua adalah sesama umat manusia dan kita harus menerima fakta bahwa kita mempunyai perbedaan. Dan suatu hari saya berharap kita bisa berkata “Tuhan adalah wanita yang baik”. Kita selalu menggunakan sebutan yang maskulin kepada tuhan, tetapi mungkin saja tuhan adalah seorang wanita. Suatu hari kita akan menemuinya tetapi saya belum siap untuk berangkat ke sana.

Perdana Menteri Fraser: Semua cerita anda tentang Kanada adalah sebuah deskripsi yang akurat tentang Australia sampai tahun 1900an. Australia adalah masyarakat terbuka dan terbentuk oleh para imigran, dan setelah perang Vietnam, bersama-sama dengan Kanada telah menerima ribuan pengungsi dari Indocina. Tetapi Australia adalah pelajaran yang tidak menyenangkan tentang bagaimana hal itu semua dapat berubah.
  Kami memiliki pemerintahan yang hampir saja kalah. Mereka mencari sebuah isu dan ada sebuah kapal Norwegia yang mengangkut sekitar 200 pencari suaka dari sebuah kapal yang tenggelam dan tidak diperbolehkan untuk mendarat di Australia. Pemerintahan yang ham- pir saja kalah kemudian mengirim sebuah kapal penjaga bersenjata lengkap untuk memastikan kapten kapalnya tidak merapat ke Australia. Foto yang mengabadikan kejadian tersebut menyebar ke seluruh dunia. Seorang polisi sebenarnya cukup untuk melakukan pekerjaan itu tanpa perlu menurunkan pasukan elit tentara untuk memastikan kapal Norwegia tersebut untuk tidak mendarat di Australia. Karena hal ini, pemerintahan tersebut memenangkan pemilu.
  Saya kemudian menulis bahwa pemerintahan tersebut telah menunjukkan sifat kita yang paling buruk; dan saya menerima banyak surat balasan yang mengatakan “Beraninya anda mengatakan peme- rintah menunjukkan sifat terburuk, di saat untuk pertama kalinya pemerintahan dapat merepresentasikan diri saya”. Dan “saya” di situ adalah seseorang yang adalah bigot, berpikiran sempit, dan percaya bahwa mereka yang berbeda darinya adalah orang yang jelek, dan perbedaan itu bisa saja warna kulit maupun agama. Pihak oposisi saat itu bisa saja menggunakan isu tersebut untuk melawan, tetapi mereka tidak berani. Pihak oposisi merasa mereka bisa berkompetisi demi voting melalui dari akar permasalahan. Sejak itu, dua partai besar di Australia semakin memperdalam pemahaman terhadap akar permasalahan tersebut. Ada ratusan ribu rakyat Australia yang benar-benar merasa malu dengan apa yang dilakukan pemerintahan atas nama Australia, atas nama mereka, dan apa yang didukung oleh pihak oposisi atas nama mereka sendiri. Kami dulu sama seperti Kanada, terbuka, dan mene- rima.
  Saya bisa mengingat pada tahun 1980 ketika saya membuat se- buah pidato. Teringat, saya dengan bodohnya mengatakan bahwa pertempuran melawan prasangka dan bigotri telah kita menangkan. Pada akhirnya saya mengetahui bahwa politisi akan menggunakan pandangan yang salah untuk mengubah segalanya. Dan jika masyarakat tidak mengenal Sri Lanka, Afghanistan atau Irak, maka sangat mudah bagi pejabat pemerintahan untuk mengatakan hal-hal yang dapat membuat publik berpikir bahwa mereka adalah orang-orang yang jahat dan tidak pantas dimanusiakan. Dan itulah yang terjadi. Deskripsi di atas cukup akurat untuk digambarkan sebagai penyebab permasalahan yang terjadi saat ini. Jadi, bagaimana caranya agar politisi berlaku lebih baik? Bukan hanya saling menghormati antara sesama politisi yang menjadi hal penting, tetapi juga saling menghormati di antara sesama manusia, dan di negara saya, saya belum bisa merujuk pemimpin yang mencoba melakukan itu.
  Saya sebenarnya ingin intervensi karena Profesor Hanson sebelumnya mengatakan bahwa beberapa hal tertinggal dalam penyusunan draf Deklarasi dengan lugasnya, tetapi saya pada masa itu, dan masih, percaya bahwa isi draf Deklarasi sudah cukup. Telah tercantum eksposisi yang cukup tentang nilai-nilai etika yang kami harap pada saat itu, dan sampai sekarang, akan dapat diterima oleh semua agama agar setiap orang dapat memahami bahwa bisa terwujud perdamaian di antara semua agama, dan bahwa ada cukup persamaan di antara agama-agama di mana pengikut sebuah agama tidak perlu takut dengan pengikut agama lain; yaitu tanpa adanya fundamentalis yang selalu ada di setiap agama, tanpa adanya musuh perdamaian dan kemajuan.
  Di masa lalu, agama adalah penyebab permasalahan dan di masa sekarang, ada di benak banyak orang bahwa Islamlah penyebab masalah-masalah tersebut. Tetapi hal itu akan berlalu, dan akan muncul hal-hal lain di masa depan. Isu-isu yang tidak dicantumkan adalah isu sosial yang tidak secara langsung merujuk kepada keagamaan secara keseluruhan, atau merujuk pada isu antarnegara, asalkan kita tidak mengharap pengikut agama lain untuk berbuat seperti kita, atau negara lain bertindak seperti negara kita. Pokok pikirannya adalah “Apakah nilai-nilai penting yang akan membuat agama dan negara untuk hidup berdampingan dalam perdamaian, harmoni, dan kerja sama?” Karena itulah beberapa nilai yang dianggap penting oleh beberapa orang tidak tercantum. Saya yakin hal-hal yang tercantum di dalam Deklarasi sudah cukup untuk membawa kita menuju dunia yang lebih damai dan sejahtera daripada dunia yang kita tinggali saat ini.

Rabi Dr. Rosen: kita hidup di dunia yang penuh gejolak, di mana dengan media, kita menjadi lebih memahami apa yang terjadi di seluruh dunia dengan jelas karena banyaknya informasi dan opini yang tersedia. Sebenarnya kita menghindari opini yang berlawanan karena kita hanya akan membuka blog dan channel yang merefleksikan pemikiran kita. Itu semua adalah hal yang menarik yang terjadi di dunia yang kita tinggali ini.
  Amerika selalu dianggap sebagai rumah bagi para imigran, sebuah masyarakat bagi para imigran. Tetapi fitur yang menarik dari masyarakat Amerika adalah pada masa perang dunia II dan setelahnya, ada peraturan yang sangat membatasi terhadap siapa saja yang berhak untuk berimigrasi ke Amerika Serikat. Pada awalnya, para imigran yang datang ke Amerika cukup beradaptasi dengan gaya hidup Amerika. Mereka harus belajar berbahasa Inggris, karena tidak ada pilihan lainnya. Yang terjadi belakangan ini adalah masalah massive bernama “Imigrasi ilegal.” Imigran ilegal seringnya berasal dari Latin, imigran Katolik dari Amerika Tengah dan Selatan. Di mana awalnya para imigran wajib berbahasa Inggris, pada stasiun televisi Amerika saat ini terdapat 50 channel berbahasa Spanyol, saat ini seseorang tidak lagi harus bisa berbahasa Inggris untuk menjadi bagian dari masyarakat Amerika. Model Eropa adalah ketika imigran dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Pada masa imigrasi besar-besaran Yahudi dari Eropa timur pada abad ke 19 terjadi, mereka tidak hanya tidak diharapkan oleh masyarakat Inggris, mereka juga tidak diharapkan oleh masyarakat Yahudi Inggris yang tidak ingin pada imigran miskin ini mengancam hidup mereka yang sudah nyaman. Dalam sebuah masyarakat, kita diharapkan untuk menyembunyikan identitas pribadi kita seperti yang saya lakukan tahun 1950an di masa kecil saya. Butuh beberapa generasi sebelum komunitas Yahudi pendatang bisa merasa nyaman seperti komunitas Yahudi pada masyarakat Eropa (sedihnya saat ini justru terjadi kebalikannya, tetapi itu isu lain). 
  Saya teringat diskusi 30 tahun yang lalu di mana saya sedang berdiskusi dengan imigran Muslim yang datang pertama kali ke Inggris, dan saya berkata “Jangan mengikuti cara yang digunakan imigran Yahudi, jangan sembunyikan identitas kalian. Banggalah dengan identitas kalian. Tunjukkan identitas kalian.” Dan tetap saja, pada Eropa daratan, Prancis, Belgia, juga Inggris, gelombang pendatang mengarah kepada daerah pinggiran, ke kota-kota industri mati, atau ke daerah subur ban miskin di mana tidak mudah mencari pekerjaan.
  Dan tiba-tiba, setiap orang dihadapkan kepada permasalahan yang diakibatkan oleh dua faktor, isu ekonomi dan bagaimana berurusan dengan multibudaya. Apa solusinya? Apakah ada yang memaksa imigran untuk beradaptasi dengan negara barunya? Atau kita memperbolehkan mereka tetap sebagaimana adanya? Atau mungkinkah untuk mengubah karakter dasar negara kita?
  Hal-hal ini adalah isu yang kita perjuangkan pada saat ini. Bagaimana seseorang bisa merasa nyaman dalam sebuah masyarakat jika mereka tidak memiliki pendapatan yang cukup, jika mereka merasa direndahkan, tidak diinginkan, diremehkan? Dan pada saat yang sama, kita telah melihat materialisme dan konsumerisme dalam masyarakat kita lebih daripada apa yang bisa kita bayangkan di masa lampau, di mana seseorang sudah dihargai ketika dia bisa mencari uang, punya pekerjaan, dan punya sebuah mobil. Jadi masyarakat itu—bukan hanya pertanyaan di benak para pendatang, tetapi juga generasi pendahulu yang tidak memiliki apa yang harusnya mereka miliki—akan merasa salah tempat.
  Masalah ini bukan hanya masalah agama, tetapi juga masalah ekonomi dan politik. Kita harus mulai mengubah tindakan para pemimpin masyarakat karena semua hal yang terjadi sehari-hari berkisar antara permainan, kekuasaan, korupsi, dan penghilangan hak- hak siapapun yang menjadi lawan kita. Sampai kita bisa mengenali permasalahan ini, kita tidak akan bisa maju.
  Jadi, kedua isu di atas pada dasarnya adalah isu-isu pelatihan kepemimpinan, di mana menurut saya harus kita pikirkan dengan sangat serius dengan pendirian departemen pelatihan kepemimpinan dan seminar bagi calon-calon pemimpin generasi selanjutnya. Saya teringat akan apa yang terjadi pada etika bisnis. Etika bisnis bukanlah salah satu subjek yang didiskusikan di universitas pada jaman saya dahulu. Tidak ada universitas yang memiliki sebuah departemen untuk itu dan tentu saja mereka tidak mendiskusikan tentang isu etika bisnis tersebut. Tetapi sekarang, etika bisnis adalah sesuatu yang harus dihadapi. Jadi, permasalahan dengan kepemimpinan dan nilai-nilai adalah kenapa institusi ini dirikan, dan menjadi inti dari debat kita.

Perdana Menteri Badawi: Saya akan berbicara dengan sangat ringkas. Saya akan menekankan kepada pentingnya menciptakan aturan dunia internasional yang stabil di mana keamanan umat manusia dan penciptaan perdamaian menjadi sebuah norma. Yang penting adalah bahwa kita memiliki sebuah negara dan prinsip untuk semua orang di negara tersebut dan bahwa negara lain dapat memahaminya. Amerika, Eropa, Cina, dan Jepang, semuanya memiliki perbedaan pemikiran, tetapi kita tidak bisa meminta negara lain untuk mengikuti prinsip kita. Keamanan umat manusia dan penciptaan perdamaian akan bisa menjadi normanya. “Kamu harus lakukan sebagaimana aku lakukan” adalah hal yang salah.

Konselor Schmidt: Saya cuma akan memberikan keterangan tambahan, bukan merujuk pada inti diskusi kita hari ini. Pertanyaannya adalah “Apa saja subjek yang harus kita pelajari dari abad ke 20?” salah satu subjek belum disebut, padahal merupakan salah satu inti pelajaran dari abad ke 20. 115 tahun yang lalu, pada tahun 1900, 14 tahun sebelum perang dunia I dimulai, hiduplah sekitar 1.6 miliar manusia di bumi. Saat ini, 115 tahun kemudian, kita telah lebih dari 7 miliar orang. Saya ingat ketika Nigeria masih berjumlah 120 juta orang. Olu Obasanjo berkata kepada saya bahwa saat ini telah ada lebih dari 180 juta orang, dan akan menjadi 200 juta orang. Ahli demografi mengatakan bahwa dalam 35 tahun, akan ada lebih dari 9 miliar umat manusia di bumi ini.
  Sejauh ini, hanya dua negara yang telah mengambil langkah untuk membatasi jumlah anak. Yang pertama adalah Cina dan yang kedua adalah India. Kebijakan India telah dinilai gagal dan akhirnya tidak dilanjutkan. Kebijakan Cina menuai hasil yang berbeda. Kebijakan satu anak tidak sampai meliputi seluruh negara, tetapi tidak disangkal telah mengurangi pertumbuhan penduduk Cina. Pertanyaan yang harus dijawab oleh para anggota dari kelompok diskusi ini adalah “Apakah mungkin kita bisa hidup dalam kondisi normal dengan lebih dari 9 miliar umat manusia di planet yang seratus tahun yang lalu hanya berjumlah seperenam dari 9 miliar?” ataukah kita harus belajar dari Cina? Saya mengetahui bahwa para pemimpin Cina sedang memikirkan untuk meninggalkan kebijakan satu anak saja. Mereka paham bahwa penduduk Cina tidak akan bertumbuh lebih banyak dibandingkan pada pertengahan abad ke 21. Tetapi ketika Cina bertindak, apa yang dilakukan negara-negara dunia lainnya?
  Apa yang telah disampaikan di kelompok diskusi hari ini adalah tentang imigrasi. Apakah kita akan menelaah tentang imigrasi lebih dalam? Dan negara manakah yang penduduknya semakin bertambah. Pada pertengahan abad 21, pemilik hak suara Amerika, sebagaimana yang Herr Rosen telah katakan, para pembicara bahasa Spanyol di Amerika, anak-anak mereka, dan cucu-cucu mereka yang belum dilahirkan, bersama dengan Afro-Amerika, anak-anak mereka, dan cucu-cucu mereka yang belum dilahirkan, akan menjadi sebagian besar pemilik hak suara di Amerika. Mereka memiliki hal lain di pikiran mereka, dan capaian lain daripada sekadar memimpin dunia, yaitu untuk mengorganisir perdamaian dunia. Mereka akan menuntut jaminan sosial, status sosial, dan jaminan kesejahteraan. Dan juga, dalam 35 tahun ke depan, rakyat Cina akan juga menciptakan status kesejahteraan. Kedua hal ini akan mengubah dunia. Tetapi pertanyaan utamanya adalah, apakah kita mampu menafkahi 9 miliar umat manusia di planet ini? dan agama apakah yang bisa kita atur, atau apakah ada agama yang menolak kita ikut campur? Pertanyaan-pertanyaan ini tampak lebih dalam di pandangan saya, dan saya tidak punya jawabannya. Saya cuma ingin menjadikan ini sebagai tambahan. 
 
Dr. Al Salem: Agama telah digunakan di Afganistan dan kita melihat hasilnya. Agama adalah alat yang berbahaya. Kenapa mendampingkan pemuka agama dengan pemerintah terlihat seperti ide yang bagus? Kita ingin pemuka-pemuka agama tersebut tetap di masjid atau gereja dan tidak turun serta dalam kehidupan publik. Dan pemerintahan yang menggunakan agama sangatlah berbahaya seperti yang kita lihat di Afganistan. Kita berbeda dari umat Kristen, dan kita memiliki alat yang berbeda dalam mencapai tujuan, untuk mencapai garis besar hidup, sebuah pemahaman dasar.

Dr.Mettanando: Bangkok pernah mengalami kebanjiran parah, pada saat itu ada sebuah distrik dengan kerusakan paling sedikit di mana pada distrik itu terdapat tiga komunitas; Katolik, Muslim, dan Buddha. Tiga komunitas itu telah hidup bersama dan memiliki tradisi yang sama dalam kurun waktu 200 tahun sampai saat ini untuk saling menolong bila yang lain memiliki permasalahan. Hal ini adalah satu contoh di mana perbedaan agama dapat memperkuat masyarakat dan membawa harmoni dalam masa-masa sulit, memberi kita kekuatan dan harapan di mana kita adalah satu umat manusia yang sama. Di Thailand, kami melatih generasi muda agar mampu mengambil keputusan perihal moralitas. Kami menciptakan kartu identitas sosial yang terhubung dengan komputer dan memberi nilai pada setiap pelayanan sosial, juga memberikan poin kredit. Dengan melakukan berbagai layanan publik disamping mereka bersekolah, mereka akan mendapatkan poin kredit yang akan digunakan sebagai kualifikasi beasiswa dan lain sebagainya. Tumbuh dan berkembang dengan cara ini, generasi muda akan memiliki moralitas yang baik.

Prof. Dr. Graf: ada sangat banyak poin pada diskusi ini yang men- jadikan sangat sulit memberikan sebuah kesimpulan. Saya akan memulai dengan pertanyaan yang diangkat oleh profesor Saikal tentang masyarakat sekuler. Saya tidak berpikir bahwa masyarakat sekuler itu benar-benar ada. Kebanyakan masyarakat yang ada adalah percampuran yang sangat kompleks dari masyarakat taat beragama dan kurang taat beragama, ateis garis keras dan lain sebagainya. Tetapi tentu saja kita memiliki sebuah contoh masyarakat sekuler dan saya ingin menunjukkan perbedaannya. Kebanyakan negara-negara Eropa dan masyarakat barat memiliki idealisme masyarakat sekuler. Hal ini mengandung makna bahwa negara tersebut haruslah netral dalam hal keagamaan dan urusan moralitas. Masyarakat mungkin saja memiliki pengertian moral yang berbeda-beda, ada yang mendukung aborsi, ada yang menentang pernikahan sesama jenis, dan sebenarnya kita bisa saja hidup dengan perbedaan itu jika sebuah prinsip dapat terjaga, yaitu aturan hukum yang berlaku. Sangatlah penting bahwa setiap unsur masyarakat mematuhi aturan hukum.
  Poin saya yang kedua adalah pembicaraan tentang model Kantian dan Hobbessian. Dalam beberapa hal, kita semua mengikuti model Hobbessian, contohnya kapitalisme global di mana kompetisi sangat nyata. Bukan hanya kompetisi di antara wira usahawan, tetapi juga kepada masyarakatnya, dan lain sebagainya. Ada banyak kompetisi dan pertarungan di bidang ekonomi. Akan tetapi saat kita memikirkan ide masyarakat sekuler, ada model Kantian yang sebenarnya kita terapkan, terutama dalam perbedaan norma hukum dan norma moral. Kita bisa saja memiliki berbagai norma, selama kita bisa mematuhi aturan hukum.
  Poin ketiga saya merujuk pada diskusi kita, di mana Islam tidak bisa mengalahkan modernitas. Hal itu sangatlah salah. Saya akan lebih suka berbincang dengan Shmuel Noah Eisenstadt, seorang sosiolog Israel tentang multimodernitas. Jepang adalah sebuah masyarakat modern, begitu pula dengan AS, tetapi mereka adalah masyarakat yang berbeda. Pergilah ke timur tengah dan kita akan menemukan masyarakat modern, lihatlah arsitektur mereka dan terbanglah dengan maskapai penerbangan mereka. Tetapi tentu saja dalam beberapa hal, mereka sangat berbeda dari model masyarakat sekuler, yang adalah hal penting di Eropa sejak 1945.
  Saya berpendapat bahwa tidak mungkin kita bisa mengatur masyarakat plural di mana prinsip ketuhanan menjadi dasar konstitusi politik. Tetapi maksud saya adalah bahwa hal ini bukan saja dalam konteks masyarakat Muslim atau Islam, hal ini juga dicontohkan di negara seperti AS. Ada banyak akademisi muda Amerika yang mengikuti ideologi politik Leo Straus, di mana ada pergerakan masyarakat modern bukan dari model liberal, tetapi justru dari agama theokratik.
  Poin terakhir saya merujuk pada pelajaran dari abad ke 20. Pelajaran- pelajaran dari abad ke 20, menurut saya adalah pengalaman-pengalaman kita sendiri. Sebagaimana saya katakan sebelumnya, pengalaman saya adalah anak muda Jerman yang tumbuh di balik bayang-bayang perang dunia kedua pada masa Nasionalis-Sosialis. Pelajaran yang bisa saya ambil dari abad ke 20 adalah saya ingin memahami perkembangan jaman yang lebih baik. Dengan itu, saya menghabiskan waktu saya sebagai sejarawan untuk memahami berkembangnya paham fasisme. Untuk memahami pokok permasalahannya, kita harus melihat pada tahun 1920an pada universitas-universitas di negara Eropa, tidak akan banyak ditemukan kaum cendekiawan yang percaya pada sistem demokrasi parlementer. Mungkin bisa ditemukan beberapa cendekiawan semacam itu pada universitas-universitas di Inggris, tetapi kebanyakan intelek Eropa lebih berpihak pada model alternatif di mana mereka lebih percaya kepada fasisme atau komunisme garis keras. Tidak banyak ditemukan kaum intelek yang mendukung demokrasi liberal.
  Sekali lagi, saya tidak melihat fundamentalis keagamaan setara dengan politik totaliter sebagaimana dicontohkan dalam abad ke 20. Tetapi kita tetap harus mengetahui kenapa ide-ide fundamentalis sangat menarik bagi setiap pemeluk agama. Penganut agama garis keras lebih memiliki peran penting di Amerika dibandingkan dengan kaum protestan liberal pada kebanyakan gereja. Garis keras lebih jauh berkembang daripada jenis kaum liberal yang kita harapkan berkembang. Kita bisa melihat perkembangan yang sama pada beberapa masyarakat Muslim, dan sangat penting untuk memahami mengapa agama ini, yang memiliki persatuan yang kuat dan bisa menciptakan masyarakat yang bersatu, lebih menarik perhatian masyarakat. Hal-hal tersebut di atas sangat berhubungan dengan struktur pemerintahan dan perekonomian. Kita bisa melihat anak-anak muda miskin pada masyarakat Afrika utara, dan saya paham kenapa mereka bertendensi untuk menggunakan agama sebagai solusi permasalahan mereka. 
 
 

MAKNA TOLERANSI



Sesi ini diketuai oleh


Y.M. Olusegun Obasanjo
Mantan Presiden Nigeria 


BISAKAH kita mengajarkan nilai-nilai toleransi—di mana toleransi adalah menghargai secara positif dan bukan menghakimi apa yang diperoleh orang lain? Bisakah kita menghadapi tantangan terhadap identitas keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan kita di mana kita harus menghargai perbedaan yang dimiliki orang atau bangsa lain?
  Sesi III, yang memiliki tiga pembicara, akan membahas per- tanyaan-pertanyaan di atas. Rabi Dr. Jeremy Rosen akan mengawali sesi ini. Sebagai penghargaan terhadap para pemikir dari Wina, dia menjelaskan bagaimana kata-kata memiliki arti ganda dan akibat, dan bagaimana kata-kata berubah penggunaannya dari masa ke masa. Kata “toleransi” adalah contoh yang tepat. Kata tersebut telah digunakan sejak lama oleh pihak berkuasa terhadap pihak yang lebih lemah. Dengan membicarakan toleransi tetapi masih menganaktirikan agama lain adalah contoh penggunaan kata toleransi pada jaman ini. Patut disayangkan bahwa pada berbagai belahan dunia, satu agama saja yang menduduki status superior. Menghakimi agama dan sekte lain bahkan dalam tradisi beragama mereka sendiri adalah salah satu permasalahan utama dalam masa ini. Jika kata “toleransi” memiliki arti yang lebih tinggi dibandingkan sekadar pengakuan terhadap budaya lain, maka haruslah diberikan kesetaraan status dan penghargaan terhadap ideologi dan agama lain tersebut. Kurangnya toleransi agama dan politik yang terjadi adalah sumber dari kebencian dan konflik yang terjadi saat ini.
  Pembicara kedua, Dr. Arif Zamhari, mempresentasikan persepsi islam terhadap toleransi: sebuah prinsip dasar kewajiban moral beragama. Al-Qur’an menjelaskan bahwa kepercayaan pada setiap agama adalah hak setiap individu, dan melarang setiap bentuk penghinaan terhadap kepercayaan orang lain. Memahami bahwa nilai- nilai toleransi adalah ajaran semua agama, dia berpendapat bahwa toleransi adalah etika dasar untuk menghormati orang dan bangsa lain. Patut disayangkan bahwa banyak permasalahan yang dihadapi manusia bersumber dari umat beragama yang salah mengartikan kepercayaan mereka, yang kemudian berdampak bukan hanya kepada para pengikutnya tetapi juga masyarakat pada umumnya, yang bisa menjadi konflik antarnegara. Banyak sekali kepentingan di luar agama diikutkan dalam urusan keagamaan.
  Pembicara ketiga, Profesor Dr. Paul M. Zulehner memberikan presentasi terbuka di samping makalah yang telah dia presentasikan. Pada presentasi langsung, dia menganalisis mengapa beberapa pengikut agama selalu merujuk pada kekerasan, padahal semua agama merujuk pada perdamaian, keadilan, kasih sayang, dan belas kasih. Hal ini adalah perilaku individu dan bukan kepercayaan itu sendiri, yang menjadikan agama tersebut merujuk pada perdamaian atau kekerasan. Merujuk pada analisisnya tentang otoritarian di Eropa, Dr. Zulehner menyimpulkan permasalahannya mengakar pada ketidaknyamanan. Tujuan utama etika adalah mencegah penderitaan lebih jauh dari agama lain maupun agama mayoritas tersebut, dengan kasih sayang, musyawarah mufakat, dan kedamaian universal. Makalahnya mempresentasikan perjanjian perdamaian pada Eropa abad ke 15-16 dan evolusi sejarah setelahnya. Dia menyimpulkan bahwa Eropa saat ini bukan dalam bentuk sekuler tetapi plural.
  Makalah mantan perdana menteri Yasuo Fukada mendiskusikan masyarakat politeistik Asia dan nilai-nilai sistem pluralistiknya yang mungkin saja lebih bertoleransi terhadap sistem nilai-nilai kepercayaan yang berbeda. Dia merujuk pada kasih sayang, sensitivitas budaya asing dan pembentukan kepercayaan diri sebagai dasar etika.
  Prof. Thomas Axwhorthy mendiskusikan hal ini dalam makalahnya berjudul “Toleransi: Nilai-Nilai yang Kurang Diperhatikan dalam Masa dengan Banyak Aliran Saat Ini” yang menjelaskan bahwa toleransi adalah sikap individu atau nilai-nilai yang mengakar pada kemanusiaan, dan toleransi adalah sebuah pembelajaran atau pengaturan yang memberikan ajaran untuk tidak turut campur dalam budaya lain.
  Setiap orang setuju bahwa toleransi saja tidaklah cukup untuk membuat dunia semakin adil dan damai. Penerimaan, saling menolong, dan saling menghormati terhadap mereka yang berbeda dengan kita juga merupakan hal yang penting. Beberapa orang menambahkan bahwa pluralisme, interaksi, dan saling mengerti juga perlu diper- timbangkan, begitu juga dengan demokrasi, kemerdekaan, harga diri, dan kepercayaan. Seorang pemeluk Kristen Ortodoks dengan lugas mengemukakan pentingnya penekanan dan menunjukkan kasih sayang yang akan merujuk pada penerimaan, solidaritas, harga diri, kebebasan, dan pemenuhan kebutuhan bersama. Patut disayangkan, sangat jarang sekali hal ini dipraktikkan.
  Apakah agama telah gagal? Agama tanpa penjiwaan tidak akan bisa membawa toleransi, dan rasa kemanusiaan dapat menginspirasi munculnya nilai-nilai toleransi dalam sikap hidup individu. Tetapi semua hal itu bergantung kepada moral dan kehebatan kepemimpinan, entah dalam hal politik, keagamaan, maupun kemasyarakatan. 



MAKNA YANG BERUBAH




Pembicara 1:


Rabbi Dr. Jeremy Rosen
Rabbi Komunitas Yahudi Persia di Manhattan
Mantan Kepala Sekolah Carmel College, Oxford 


SUNGGUH merupakan suatu kehormatan berada di tempat ini, di kota di mana Ludwig Wittgenstein dilahirkan, salah satu mentor intelektual saya. Wittgenstein adalah seorang filsuf yang membuat kita berpikir tentang makna kata. Dia menggambarkan bagaimana kita menggunakan kata-kata untuk menggantikan sebuah makna khusus. Makna sebuah kata adalah pada penggunaannya. Kita mungkin saja akan sangat sulit menemukan sebuah definisi universal dari kata “permainan”. Apakah catur sebuah permainan, atau tinju, atau mendayung? Apakah puzzle sebuah permainan? Yang kita tahu, penggunaan istilah membutuhkan pengalaman dan uji coba. Kenyataannya, kita menggunakan kata-kata dalam berbagai cara, dan yang harus kita pastikan adalah kita menggunakan kata-kata itu dengan cara yang sama, agar komunikasi kita berlangsung dengan baik. Toleransi adalah contoh yang bagus. Orang yang menolong selalu merasa bahwa dia menolong, sedang orang yang ditolong sering kali tidak suka merasa membutuhkan pertolongan. 
  Salah satu tokoh kelahiran Wina adalah Richard Koebner, meng- ajar dan menulis tentang imperialisme; tentang bagaimana kata “imperialisme” berubah makna dari sebuah kata yang positif, merepre- sentasikan aturan hukum dan pemerintahan sebuah kerajaan besar, menjadi sebuah kata yang kita benci. Saat ini, kata itu mengandung makna para pemimpin yang arogan mengeksploitasi korban yang tidak berdaya.
  Setara dengan hal itu, kemanusiaan pada awalnya digunakan untuk menolak prinsip ketuhanan. Istilah kemanusiaan mengandung makna bahwa manusia mampu mengendalikan takdirnya sendiri. Kita ingin memahami bahwa hal itu berarti peduli, manusiawi, dan kepedulian antarsesama manusia. Akan tetapi, saat ini ada dua pendekatan yang berbeda dan sebuah dikotomi tentang istilah peduli secara sekuler dan peduli secara ketuhanan. Sebagaimana Daniel C. Dennet tunjukkan dalam tulisannya “Konsep Tuhan” (The Idea of God), jika kita bertanya kepada sekelompok orang untuk menjelaskan tentang tuhan mereka, nama apa pun yang mereka gunakan, kita akan mendapatkan sangat banyak penjelasan dan definisi.
  Padahal yang dibawa oleh kemanusiaan dan ketuhanan, memiliki satu kesamaan bahwa secara prinsip, mereka mengakui bahwa hal yang paling penting adalah agar kita menjadi orang yang paling peduli dan menerima terhadap orang lain; dan kita memiliki hasrat untuk mencapai tujuan akhir itu, entah Tuhan, Buddha, atau kepercayaan sekuler lain, di mana kita adalah makhluk ciptaan tuhan. Bahkan jika kita sebenarnya hanya sebuah produk evolusi, kita masih berbagi sifat kemanusiaan ini. Menolak sifat kemanusiaan ini adalah kejahatan terbesar yang bisa kita lakukan sebagai umat manusia.
  Ada seorang filsuf Yahudi-Jerman, Martin Buber. Pada bukunya “Saya dan Anda (I and Thou)”, dia membedakan antara “sudut pandang personal “Anda (Thou)” dengan impersonal “Diri Anda (Thee)”. Sebuah perbedaan yang ditemukan pada berbagai bahasa Eropa, sekalipun pada bahasa Inggris kata tersebut telah digantikan oleh “Anda (You)”. Buber menjelaskan hubungan yang ideal dengan Tuhan sebagai sebuah benda dengan hubungan “Saya Anda (I thou)” daripada menggunakan “Saya dan diri anda (I thee)”. Setara dengan hal itu, hubungan antarmanusia bisa menjadi “thou” atau “ye”, sebuah interaksi personal yang berlawanan dengan bentuk impersonal. Dengan kata lain, menjalin hubungan adalah inti dari kemanusiaan dan pada akhirnya menjadi inti sebuah agama, entah hubungan itu dengan Tuhan, Allah, Buddha, atau dengan manusia lainnya.
  Kita diberkahi dan dipaksa untuk hidup dalam masyarakat yang berubah-ubah dengan dramatis. Selalu ada siklus yang berulang- ulang dari waktu ke waktu. Sebuah proses yang dilakukan selama 100 tahun oleh revolusi Prancis, sampai proses itu selesai dan distabilkan (beberapa orang berpendapat kalau proses itu belum stabil). Kita bisa berargumen bahwa Revolusi Amerika masih terjadi sampai saat ini sejak awal dimulainya. Konstitusi Inggris tak tertulis telah digantikan oleh aturan negara-negara Eropa. Kita sedang menyaksikan sebuah event yang terjadi dengan beruntun dan dramatis. Dan kita masih belum yakin tentang arah kita.
  Kita menggantungkan harapan kemanusiaan kita kepada para politisi. Tidak disangkal ada beberapa politisi yang bagus, mereka sedang duduk di ruangan ini. Jadi saya harus berhati-hati untuk tidak memukul rata semua politisi. Tetapi saat kita saksikan, sebagaimana kita dengar proses politik hari ini di seluruh dunia, kita masih penuh keraguan. Saya sangat ragu, misalnya saat saya melihat timur tengah dan saya melihat bagaimana politisi dari berbagai tempat membuat kita menyaksikan hal-hal yang terjadi yang semakin hari semakin kompleks dan semakin tidak teperkirakan. Timur tengah adalah percontohan dari kebingungan kita saat ini.
  Pada abad ke 19, di Eropa timur, di mana mayoritas Yahudi ting- gal, ada seseorang yang disebut Rabbi Israel Salanter yang dianggap religius tetapi jarang dibicarakan orang. Mereka melakukan ritual yang diharuskan, tetapi hanya sebagai kedok semata. Mereka tidak tersambung dengan ajaran di mana mereka harus bertindak terhadap orang lain sebagaimana mestinya. Dan sampai saat ini, saya akui sebagai tantangan terbesar terhadap agama saya. Bukan teologi, melainkan tindakan kepemimpinan keagamaan dan yang mereka lakukan dalam posisi mereka, bukan sebagai manusia.
  Israel Salanter memutuskan untuk membuat sebuah gerakan “Musar” yang berarti “Panduan Moral” tetapi lebih mengedepankan disiplin diri. Tujuan gerakan itu adalah membawa manusia dan tang- gung jawabnya kembali kepada keagamaan. Buku utama yang dia gunakan adalah buku abad ke 18 karangan seorang bernama Moses Luzatto, seorang yang sakti dan hampir dikucilkan oleh perkembangan agama karena kemistisannya. Dia menulis sebuah buku kecil berjudul “Jalan Kebenaran” tentang bagaimana menjadi orang baik. Pada pendahuluan dia mengatakan, “Saya tidak mengajarkan hal baru, saya tidak mengatakan hal-hal yang sudah kalian pahami. Tetapi akan saya katakan bahwa kalian wajib memulai hari dengan membaca satu bab, dengan mengulang-ulang pelajaran tersebut, kita bisa memahami apa yang harus kita lakukan, tetapi banyak orang yang kesulitan untuk benar-benar melaksanakannya.”
  Sesi ini adalah tentang toleransi. Dan kita telah membahas hal- hal yang penuh arti, bahwa kata-kata bisa disalahgunakan. Toleransi yang saya harapkan tidak berjalan sebagaimana mestinya. “Saya, yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, menganugerahi anda untuk menjadi penduduk kelas dua.” Atau “saya memberikan anda hak untuk menjadi imigran dan mengerjakan semua pekerjaan rendahan, tetapi jangan mengharapkan kesetaraan”. Dalam hal ini, memberikan apresiasi dan menghargai perbedaan menjadi hal yang terpenting. Sangat penting untuk menghargai dan memberikan kasih sayang kepada sesama dalam ras dan bangsa manapun. Hal tersebut adalah “Hidup, dan memberi kehidupan”.
  Kita harus menganalisis dan berpikir tentang kata-kata yang akan kita katakan, dan apa yang akan kita lakukan dengan kata-kata tersebut, dan bertanya pada diri kita sendiri apakah kita akan menggunakan kata-kata tersebut secara tepat, apa hasil dari kata-kata kita. Dengan itulah kita membangun masa depan. Dan itulah inti diskusi kita. 
 
 

 

PERNYATAAN CITA-CITA
DAN TUJUAN


Makalah oleh


Rabi Dr. Jeremy Rosen
New York, Januari 2014 


SERING kali disebut bahwa lebih mudah mencintai manusia sebagai makhluk daripada mencintai tetangga kita sendiri. Semua agama besar dan pergerakan kemanusiaan dari tiga ratus tahun lalu telah mendakwahkan cinta dan pengertian. Akan tetapi, pada praktiknya sangat jauh dari yang ditujukan. Mungkin saja memiliki tujuan yang terlalu luas justru menutupi niatan kita untuk mencapainya. Perilaku terhadap “kompetisi” ideologi lain telah gagal mencapai tujuan besar kemanusiaan. Bahkan secara internal, perpecahan sering terjadi; atau bahkan lebih parah daripada konflik eksternal. Hal apakah yang mencegah sebagian besar dari kita untuk menghindari prasangka dan kekerasan terhadap mereka yang berbeda pendapat dengan kita? Apakah itu sebuah riasan yang cacat? Apakah itu hasil dari pengondisian budaya?
  Setelah bencana kemanusiaan perang dunia kedua, kita bersatu dan memutuskan agar hal tersebut “tidak akan pernah” terjadi lagi. Akan tetapi kejahatan terhadap negara lain terus kita lakukan; Kamboja, Yugoslavia, Rwanda, pertikaian fatal penyebab tragedi kemanusiaan di Irak, Lebanon, Siria, Sudan, Kashmir, dan Afrika tengah adalah sedikit contohnya. Dalam banyak konflik, negara-negara besar mengambil kubu dan memperpanjang tragedi. Pada awalnya Amerika Serikat memberikan harapan yang besar, tetapi nyatanya telah gagal mencapai harapan tersebut. Terlalu banyak kepentingan politik yang menutupi kepentingan etika. Adakah hal yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki situasi ini? Hal ini adalah isu moral utama yang harus kita hadapi. Kita sangat hebat dalam hal-hal klise seperti menulis pernyataan moral, tetapi kita sangat lemah dalam pelaksanaannya. Pertemuan ini untuk mengatasi masalah tersebut.
  Bangsa saya adalah yang pertama kali menciptakan konsep “Cintailah Tuhanmu” (Deuteronomy 6.5). Apakah tujuan universal yang lebih besar daripada usaha kita untuk meniru sifat tuhan; agar kita menjadikan hubungan saling mengasihi sebagai tujuan kita sebagai manusia. Tetapi mencintai tuhan lebih mudah daripada mencintai sesama manusia. Tanyakan bagaimana sulitnya untuk saling memaafkan kepada pasangan yang bercerai. Judaisme adalah yang pertama kali memerintahkan untuk “Cintailah orang-orang di sekitarmu” (Leviticus 19.18) sekitar 2500 tahun yang lalu. Dan sekalipun semua agama-agama di dunia telah mengadopsi ide yang sama, kita tampaknya masih belum mendekati tujuan tersebut. Apakah kita harus berpikir perlunya campur tangan tuhan untuk mencapai tujuan itu? Ataukah kita bisa mengatakan bahwa kita hanya bisa terus mencoba?
  Dalam beberapa pertentangan yang telah terjadi sejak perintah itu diturunkan, muncul pertanyaan tentang prioritas kita; Tuhan atau manusia? Ini adalah beberapa hal yang para Rabbi Talmudic telah pikirkan sejak dua ribu tahun yang lalu. Secara prinsip, tentu saja Tuhan lebih tinggi derajatnya daripada manusia. Tetapi dalam praktiknya,  Kitab Injil menceritakan bahwa nabi Ibrahim bisa meminta Tuhan untuk menunggu ketika dia harus menolong seseorang (Genesis 18.3).
  Selama era Romawi, ada sebuah perdebatan yang tercantum dalam Midrash (RabbahGen.24.7) tentang apa yang harus menjadi prioritas, kepentingan suatu golongan atau seluruh umat manusia. Rabbi Akivah menyatakan bahwa mencintai orang-orang di sekitarmu adalah dasar utama dari seluruh ajaran kitab Injil dan harus menjadi prioritas. Sebaliknya, Ben Azai berpendapat bahwa seluruh umat manusia adalah anak Tuhan dan berasal dari satu sumber yang sama, karena itu umat manusia secara luas memiliki kepentingan yang lebih tinggi dari manusia secara individu. Perdebatan itu terus berlanjut. “Orang- orang miskin di kota kita adalah prioritas” (TB BM 21a). Tetapi “Kita harus memberi nafkah kepada orang-orang miskin di seluruh dunia untuk menciptakan perdamaian di dunia” (TB Gttin 61a). Perjuangan untuk memenuhi kebutuhan khalayak luas mendahului tendensi untuk menyempurnakan kehidupan komunitas suatu bangsa saja. Kesimpulan itu sangatlah jelas dan seharusnya sudah menjawab semua pertanyaan. 
  Saya telah mendalami pekerjaan di bidang antaragama dan antarkomunitas selama nyaris lima puluh tahun dimulai dari Rhodesia Selatan tahun 1966. Dan sejak itu, dua pertanyaan timbul di benak saya. Saya lebih memiliki kesamaan dengan pemeluk agama lain yang sensitif terhadap isu universal dibandingkan kaum fanatik dari agama saya sendiri. Tetapi saya belum menemukan jalan untuk menyatukan kesamaan tersebut untuk mencapai tujuan yang kita semua dambakan. Dengan kata lain, saya sendiri telah gagal untuk menyadarkan masyarakat bahwa kekerasan dan prasangka bukanlah solusi dari masalah mereka atau masalah dunia ini.
  Seandainya saja kita bisa mengalihkan kekuatan yang kita gunakan untuk menyakiti orang lain dan menggunakannya untuk saling menyayangi dan mengobati. Tetapi bagaimana caranya? Dan kemudian saya teringat kepada Rabbi Yahudi abad ke sembilan belas, Rabbi Nachman dari Breslov yang berkata “Saat saya memulai hidup saya sebagai guru, saya ingin mengubah dunia. Saat saya menyadari saya tidak bisa mengubah dunia, saya mencoba untuk mengubah kota saya. Cukup jelas bahwa saya tidak bisa mengubah kota saya, saya berusaha mengubah keluarga saya. Tetapi saya tetap gagal. Dan kemudian saya sadar bahwa satu-satunya orang yang bisa saya ubah adalah diri saya sendiri”.
  Hal itu melegakan dan menyedihkan dalam waktu yang bersamaan. Hanya itukah yang bisa kita lakukan? Seandainya kita mau mengingat, bertapa banyak kebaikan yang telah terjadi dilakukan oleh individu yang telah mengubah dirinya dan menjadi contoh kebaikan bagi kemanusiaan bahkan ketika pesan yang mereka coba sampaikan tidak sampai global seperti yang mereka inginkan.
  Kita, orang-orang yang berkesempatan untuk berpartisipasi dalam konvensi ini tidak bisa berbuat lebih jauh daripada berusaha mengasihi lebih dalam dan mencoba untuk membuat dunia kita menjadi lebih baik, bahkan ketika kesimpulan yang kita dapatkan hanyalah sebuah harapan. Sekalipun kita tidak memberikan hasil yang langsung berguna, sebagaimana yang dikatakan oleh Hillel yang agung dua ribu tahun yang lalu “Bukan tugasmu untuk menyempurnakan sebuah pekerjaan, tetapi kau tidak bisa membebaskan dirimu dari kewajiban untuk terus mencoba” (Mishna Avot 2.16).
  Apa yang harus kita lakukan untuk memperbaiki dunia? Apakah eklestik, politik, sosial, atau budaya? Semua hal tersebut memiliki keterbatasan. Akan tetapi, hal-hal tersebut adalah adalah rancangan untuk proses interaksi dan tindakan manusia. Kita tidak bisa meng- acuhkan salah satu dari hal-hal tersebut dengan risiko seluruh opini manusia akan meninggalkan kerja keras yang dilakukan.
  Mungkin kita membutuhkan dua agenda; sebuah program moral intelektual yang sekalipun terbatas, bisa kita akses dan sajikan dalam berbagai media komunikasi. Hal yang sama pentingnya adalah pesan persuasif yang bisa kita gunakan. “Cintai orang-orang di sekitarmu” telah menjadi pilihan slogan yang kita pakai selama tiga ribu tahun. Pada jaman muda saya, kita mencoba mengubahnya menjadi “Mengasihi, bukan memerangi”. Mungkin seluruh upaya kita seharusnya ditujukan untuk menciptakan slogan baru yang lebih tepat pada jaman ini sebagai sebuah pesan berantai yang mengajak kepada perdamaian di masa depan bagi manusia. 
 
 
 

MAKNA TOLERANSI
TANTANGAN AGAMA-AGAMA
DAN SALING MENGHORMATI
ANTARMANUSIA DAN BANGSA



Pembicara 2:


Dr. Arif Zamhari
Nahdatul Ulama, Indonesia 


HARI ini, saya aka membicarakan tentang apa itu bertoleransi, tantangan dari keagamaan dan penghormatan kepada bangsa dan negara lain. Alasan terciptanya agama di dunia ini adalah untuk memperkuat harkat dan martabat manusia, dan untuk menciptakan dunia yang damai dan bertumbuh kembang. Agama ditujukan untuk meninggikan manusia, dan bukan sebaliknya.
  Akan tetapi, pada kenyataannya banyak masalah manusia di planet ini bersumber dari orang beragama. Akan tetapi permasalahan yang diciptakan oleh orang beragama tidak bermakna bahwa permasalahan berasal dari agama itu sendiri. Permasalahan muncul karena ajaran agama tidak dipahami dan diimplementasikan dengan benar oleh pengikutnya. Kurangnya pemahaman terhadap inti ajaran agama oleh para pengikutnya bukan hanya dikarenakan mereka memiliki pemahaman yang tidak lengkap, tetapi juga karena kurangnya pema-haman terhadap hubungan antaragama dengan baik. Kesalahan penaf- siran ajaran agama akan menjadi penyebab salah pengaplikasian ajaran agama itu sendiri.
  Salah memahami ajaran agama bisa terjadi dalam beberapa hal, dengan efek yang bermacam-macam. Jika penganut suatu agama salah paham dalam memahami ritual dan ilmu agama tersebut, kesalahan tersebut hanya akan berdampak pada umat agama tersebut saja. Akan tetapi, jika mereka salah mengartikan aspek sosial dalam ajaran agama, hal itu akan berdampak tidak hanya kepada umat agama tersebut saja, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan dan menciptakan ketegangan sosial, atau bahkan konflik. Konflik semacam itu didalam sebuah masyarakat bisa meningkat menjadi konflik lain antarnegara- negara di dunia.
  Agama-agama di dunia sangatlah berbeda dalam hal doktrin, akan tetapi dari semua agama-agama dunia terdapat banyak persamaan. Persamaan-persamaan itu contohnya pada hal etika dan perilaku sosial di mana persamaan ini menjadi harapan untuk menciptakan harmoni, keadilan, kesejahteraan dan peningkatan standar hidup bagai seluruh umat manusia. Dengan alasan tersebut, dan juga demi mencapai harmoni dan kebersamaan di antara agama-agama, kesamaan-kesamaan yang ada tidak seharusnya dan tidak semestinya untuk diputar balikkan sehingga seakan-akan bertentangan, dan apa yang memang berbeda tidak seharusnya dijadikan titik berat. Dengan menghormati hal-hal ini, kita dapat menjamin kebersamaan hidup yang damai di antara agama-agama di mana setiap pengikut agama tetap bisa melakukan peribadatannya sendiri-sendiri.
  Terpisah dari faktor salah memahami ajaran agama, ada beberapa faktor yang juga menyebabkan konflik sosial di antara umat beragama. Kepentingan di luar agama sering kali menumpangi pengajaran agama dan menggunakannya untuk tujuan di luar agama.
  Yang biasanya tertarik untuk menumpangi ajaran agama bisa saja dari unsur politik, ekonomi, atau budaya; kepentingan di luar agama yang sekan-akan dibuat sebagai kepentingan agama. Hal-hal ini muncul dari kelompok tertentu yang menyatakan motif mereka atas nama agama dan bahkan merujuk kepada ajaran agama. Kewajiban kita sebagai anggota komunitas beragama adalah memberikan kebebasan kepada semua pemeluk kepercayaan untuk memahami agama mereka dan mengurangi kesalahpahaman yang bisa merujuk kepada konflik sosial di antara penduduk dunia.
  Lebih lanjut, kita harus bijaksana dalam membedakan perma- salahan yang mungkin bisa dikategorikan sebagai kepentingan agama atau kepentingan yang ditumpangkan ke dalam permasalahan agama. Sudah sering kali kepentingan elit politik dilabeli sebagai kepentingan agama padahal esensi mereka sangat jauh berbeda. Untuk mengatasi permasalahan ini, kita harus mengenali permasalahan agama dan meletakkannnya di atas kepentingan lain. Jika agama diletakkan di atas segalanya, agama akan dapat menjadi suara harapan seperti yang diharapkan para pendahulu kita.
  Dengan kata lain, jika kepentingan agama diletakkan di bawah, maka masyarakat beragama tidak akan harmoni dan mengundang terjadinya konflik. Dengan alasan tersebut, harmoni di antara para pengikut agama harus dimulai dari tiap-tiap anggotanya masyarakatnya sendiri, menggunakan agama sebagai alat pencipta perdamaian dan mencoba untuk mengurangi konflik di penjuru dunia. Karena itu nilai-nilai toleransi, yang diajarkan semua agama, harus dipergunakan sebagai dasar etika dalam menghormati bangsa dan negara lain.


Toleransi sebagai Prasyarat


Bagaimana sudut pandang Islam terhadap agama lain adalah topik yang menarik untuk didiskusikan terutama dalam hubungannya dengan dialog antarumat beragama. Dan pertanyaannya adalah bagaimana sudut pandang Islam terhadap agama lain. Sebelum kita mulai mendiskusikan hal ini, penting kiranya untuk menjelaskan prinsip toleransi islami terhadap pemeluk agama lain. Prinsip toleransi tentu saja meliputi kebebasan beragama. 
 
  “Toleransi” dalam bahasa Arab adalah tasamuh, yang menjadi prinsip dasar Islam di samping beberapa prinsip seperti pemberkahan (rahmat), kebijaksanaan (hikmat), permasalahan umat (maslahat al- ammah), dan keadilan (adl). Prinsip-prinsip islami di atas adalah prinsip universal dan bersifat keyakinan (qath’iyyat), yag berarti bahwa prinsip- prinsip tersebut wajib untuk dilaksanakan oleh Muslim kapan saja dan di mana saja mereka tinggal, dengan mengesampingkan latar belakang mereka. Dengan kata lain, prinsip-prinsip di atas adalah kewajiban moral para pemeluk agama. Oleh karena itu, jika prinsip-prinsip di atas dipahami dengan baik sebagai kewajiban moral beragama, maka semua Muslim tidak hanya harus mempraktikannya, tetapi juga menyebarkan ajaran tersebut kepada sesama Muslim, dan jika diperbolehkan, juga kepada pemeluk agama lain. Melalui prinsip ini juga, Muslim akan mampu hidup damai berdampingan dengan pemeluk agama lain. Perbedaan di antara kepercayaan, sebagaimana sudah kita dipahami, tidak membatasi hidup seorang Muslim dengan pengikut agama lain. Ajaran bertoleransi sangat ditekankan dalam Al-Qur’an, terutama tentang toleransi dengan umat beragama lain. Seperti dicontohkan, Al- Qur’an mengutuk segala bentuk penghinaan atau cercaan kepada agama dan kepercayaan orang lain, seperti yang kita bisa lihat di ayat berikut:

    • “Dan janganlah kamu memaki (sesembahan-sesembahan) yang mereka sembah selain Allah, maka mereka akan memaki Allah dengan permusuhan tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemu- dian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS 6: 108) 


  Ayat yang dikutip di atas juga memerintahkan seorang Muslim untuk melindungi agama lain dari hinaan.
  Bentuk lain dari toleransi yang termaktub dalam Al-Qur’an adalah kebebasan tiap individu untuk memilih kepercayaannya (bahkan jika itu bukan Islam). Seorang Muslim tidak seharusnya memaksa orang lain untuk memeluk agama Islam, karena kepercayaan haruslah berasal dari pilihan orang itu sendiri, dan pilihan seseorang tidak boleh dipaksakan. Dan jika seseorang dipaksa untuk memeluk agama Islam, maka kepercayaannya tidak akan diterima. Dengan kata lain, Islam sangat menghargai kebebasan memeluk agama dan kepercayaan bagi setiap individu; ini adalah prinsip dasar agama Islam. Kita mungkin menemukan beberapa pernyataan di dalam Al-Qur’an bahwa keper- cayaan seseorang adalah urusan orang itu sendiri. Setiap orang diberikan pilihan untuk memilih kepercayaannya, sekalipun itu sesat. Jika mereka memilih jalan kebenaran, maka hal itu untuk kebaikan mereka sendiri, dan di mana mereka salah memilih, maka mereka akan menerima konsekuensinya. Kita bisa melihat pernyataan tadi dalam ayat berikut:


    • “Tidak ada paksaan dalam agama (Islam)—(karena) sungguh telah jelas jalan mana yang benar, dan jalan mana yang salah.” (QS 2: 256).
    • “Kebenaran itu dari Tuhanmu; maka biarkanlah mereka yang ingin percaya, dan biarkanlah mereka yang tidak ingin percaya.” (QS 18: 29).
    • “Sesungguhnya Kami menunjukkan jalan kepadanya, adakalanya dia bersyukur dan adakalanya kufur.” (QS 76: 3)
    • “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Apakah engkau hendak me- maksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang ber- iman?” (QS 10: 99) 

  Islam memastikan bahwa setiap pemeluk agama memiliki kebe- basan beragama dan memiliki kepercayaan. Semua tempat-tempat pemujaan (Yahudi, Kristen, atau Islam) dikeramatkan oleh Islam. Oleh karena itu, Islam memerintahkan kepada para Muslim untuk menjaga kebebasan beragama setiap orang. Islam menginisiasikan masyarakat universal dan liberal di mana semua umat bisa hidup dalam kebebasan memeluk agama dengan aman dan setara. Pada Al-Qur’an, Allah ber- firman:

    • “Dan jika bukan karena perlindungan Allah kepada sebagian manusia dengan lainnya, niscaya telah diruntuhkan biara- biara, gereja-gereja, sinagok-sinagok dan masjid-masjid di mana banyak nama Tuhan disebut di dalamnya.” (QS Haji [22]: 40).


  Dapat disimpulkan bahwa telah terbukti apa yang Al-Qur’an ajarkan kepada kita bahwa sifat keagamaan seseorang haruslah berdasar kepada niat tulus mereka dan kesadaran mereka tanpa ada paksaan. Prinsip kebebasan beragama tidak ada hubungannya dengan kebenaran dari satu agama saja. Sekalipun Al-Qur’an menegaskan bahwa Islam adalah agama satu-satunya, hal itu tidak dimaksudkan untuk menghalangi seorang muslim dalam menghormati agama lain. Karena setiap orang memiliki kebebasan beragama, konsekuensi dari ajaran ini adalah mereka akan menghormati pilihan kepercayaan orang lain.


Pandangan Islam terhadap Ahli Kitab

Sangatlah penting untuk mengetahui bahwa Islam menjelaskan secara spesifik tentang agama lain sebagaimana disebut dengan Ahli Kitab (penganut kitab suci). Al-Qur’an juga menggunakan istilah sejenis seperti Utul Kitab (mereka yang diberikan Kitab-kitab sebelumnya) dan Nasiban minal Kitab. Istilah Ahli Kitab disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 31 kali, pada 7 surat yang berbeda. Istilah Ahli Kitabin pada Al- Qur’an ditujukan kepada para pengikut agama monoteis Ibrahim, yang telah menerima perkamen suci. Konsep semacam itu menunjukkan bahwa Islam mengakui agama sebelumnya (Kristen dan Yahudi) dan Kitab suci mereka, dan mengakui kitab-kitab suci sebelumnya termasuk dalam rukun iman agama Islam.

Lebih lanjut, Al-Qur’an memerintahkan para Muslim untuk mem- percayai adanya Isa dan Musa sebagaimana nabi-nabi yang tercantum di Kitab suci karena mereka adalah pembawa pesan Tuhan yang dikirimkan kepada manusia untuk menunjukkan rahmat Tuhan. Contohnya, Al-Qur’an menjelaskan bahwa dalam isinya mengandung bukan hanya ajaran penting dari Kitab Taurat Musa, dan Injil Isa, tetapi juga nasihat dan kisah hidup banyak nabi-nabi terdahulu. Sebagaimana difirmankan Allah Swt.:
 

    • Dan Kami telah mengirimkan kepadamu Kitab dengan kebenaran, membenarkan Kitab –Kitab sebelumnya, dan menjadi kesaksian atasnya. (QS Al-Maidah [5]: 48)
    • Sungguh pada kisah-kisah mereka adalah pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an bukanlah cerita yang diada-adakan, tetapi membenarkan kitab terdahulu dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS Yusuf [12]: 111) 

Sekalipun tiap-tiap pengikut dari Kitab-kitab suci tersebut (Al- Qur’an, Taurat, dan Injil) dapat menjelaskan perbedaan mereka, Al- Qur’an menjelaskan bahwa para pengikut kitab-kitab tersebut memiliki lebih banyak persamaan dibandingkan perbedaannya. Penjelasan di atas menegaskan sebuah ikatan khusus di antara Muslim, Yahudi, dan Kristen. Karena itu, Al-Qur’an memerintahkan Muslim untuk mencari kalimatun sawa (kesamaan pendapat) di antara para pengikut Kitab, karena kita adalah umat yang mirip di mana dasar kepercayaan adalah Kitab suci yang memiliki sejarah yang sama. Dicontohkan dalam Al- Qur’an: 

    • ‘Katakanlah, wahai Ahli Kitab, marikah kita kepada kalimat yang sama antara kami dengan kamu bahwa tidak ada yang kita sembah melainkan Allah dan tidak pula kita mempersekutukan-Nya. Dan tidak pula kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Maka jika mereka berpaling, katakanlah bahwa sesungguhnya kami adalah Muslim.’ (QS 3: 64) 


  Cendekiawan Muslim memiliki pandangan yang berbeda terhadap arti kalimatun sawa. Beberapa berpendapat bahwa kata kalimatun sawa meliputi ajaran egalitarian dan keadilan, penyelesaian masalah secara dalam, dan menolak pembunuhan atas nama agama. Dalam masyarakat multi kultur, Islam menegaskan pentingnya mencari pendapat dan konsensus yang sama dalam konteks sosial.
  Sebagai tambahan untuk menegaskan persamaan di antara agama- agama yang disebut di atas, Al-Qur’an juga mengakui bahwa Ahli Kitab memiliki perbedaan. Beberapa dari mereka berlaku tidak adil kepada Muslim dan memaksa Muslim mengikuti kepercayaan mereka, memfitnah muslim, dan mengajak Muslim kepada kekafiran. 

    • “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak senang kepadamu sehingga engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah sesung- guhnya petunjuk Allah adalah petunjuk yang benar. Dan jika engkau mengikuti kemauan mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (QS 2: 120). 
    • “Segolongan dari Ahli Kitab menginginkan kiranya mereka dapat menyesatkan kamu, padahal tidaklah mereka menyesatkan melainkan dirinya sendiri, tetapi mereka tidak menyadarinya” (QS 3: 69). 
    • “Sebagian besar Ahli Kitab menyukai agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran, setelah kamu beriman, karena rasa dengki yang timbul dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkan-lah mereka, sehingga Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesung- guhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu” (QS 2: 109) 


  Akan tetapi, Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa tidak semua Ahli Kitab seperti itu. Ada beberapa Ahli Kitab yang mempelajari ayat-ayat Allah dan melakukan kebaikan, mendekatkan diri pada kebaikan dan menjauhi yang batil. Allah berfirman dalam Al-Quran:

    • “Mereka itu tidak sama, di antara Ahli Kitab itu ada segolongan yang berlaku lurus, membaca ayat-ayat Allah di waktu malam dan mereka bersujud. Mereka beriman kepada Allah dan hari kiamat, mereka melakukan kebaikan, dan menjauhi kebatilan, dan mereka bersegera dalam berbuat kebaikan; dan mereka itulah yang termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebaikan yang mereka kerjakan, maka tidak akan diingkari pahalanya, dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa” (QS 3: 113-115). 


  Bahwa tidak semua Ahli Kitab adalah sama, terutama dalam perlakuan mereka terhadap kaum Muslim, Al-Qur’an memberikan arahan dan memerintahkan kepada kaum Muslim tentang bagaimana berlaku kepada para Ahli Kitab menurut perlakuan mereka terhadap Muslim. Karena itu, Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum Muslim untuk menghormati para Ahli Kitab yang tidak memerangi dan mengusir kaum Muslim dari rumah mereka, dan berlaku baik dan adil kepada mereka. Sebagai tambahan, Al-Qur’an memerintahkan Muslim untuk menjaga perdamaian dengan para Ahli Kitab pada kehidupan sosial. Jika terjadi perdebatan dengan para Ahli Kitab, kaum Muslim haruslah berargurmen dengan jalan yang terbaik. Akan tetapi, jika para Ahli Kitab memerangi dan mengusir kaum Muslim dari tanah mereka dan menyengsarakan kaum Muslim, maka kaum Muslim dilarang untuk melanjutkan hubungan baik tersebut.

    • “Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu pada agama dan tidak pula mengusir kamu dari tanahmu—bahwa kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS Al Mumtahanah [60]: 8). 



MEPERKUAT SIKAP TOLERANSI
ANTARMASYARAKAT DAN
PEMIMPIN



Pembicara 3:


Prof. Dr. Paul M. Zulehner
Direktur Pastoral Theology Vienna, Austria 


SEJAK 1992, saya telah memiliki peran dalam studi sistem penilaian Eropa. Kami menemukan bahwa kebanyakan masyarakat Eropa sangat menghargai toleransi. Akan tetapi, jika kita mencari tahu apakah setiap orang hidup dan bertindak dengan bertoleransi, nilai datanya sangatlah rendah. Muncul pertanyaan “mengapa masyarakat Eropa tidak bisa bertoleransi sebagaimana yang mereka harapkan?”
  Hal ini seharusnya menjadi pertanyaan utama dalam konferensi ini, “Bagaimana bisa kita menjadikan masyarakat dan para pemimpin untuk hidup bertoleransi?” Pertanyaan ini menurut saya adalah pertanyaan paling politis dalam konferensi ini.
  Saya akan menjelaskan posisi saya dalam hal ini dengan ringkas. Jika ada yang mempelajari Kitab Suci semua agama, dan telah terwakili oleh semua orang yang ada di sini, maka kita bisa pastikan bahwa semua agama merujuk pada perdamaian, keadilan, kasih sayang, dan belas kasih. Ini adalah fitur utama yang positif dari semua agama.
  Perwakilan dari setiap agama tidak pernah memulai terjadinya perang, mereka selalu berpihak kepada perdamaian. Contohnya Fancis dari Assisi, atau Gandhi, orang-orang Sufi, dan banyak dari Buddha, dan tentu saja Isa dari Bukit Sermon. Pertanyaannya adalah kenapa sebagian pemeluk agama merujuk pada kekerasan dan sebagian lain pada perdamaian? Jawabannya ada pada diri individu yang bersangkutan, bukan pada kepercayaan mereka.
  Saya telah melakukan sebuah survei, menganalisis “Otoriterianisme” di Eropa. Konsep ini datang dari sosiologis Jerman terkenal, Theodor W. Adorno. Dia mempertanyakan mengapa banyak orang mendukung sistem totalitarian di Eropa pada seabad yang lampau. Dia menemukan bahwa banyak orang yang dengan sepenuh hati mendukung otoritas karena mereka memiliki pemikiran bahwa “Yang ada di atas selalu benar”. Saat mereka diadili, contohnya Eichmann, Hess, atau Höss, mereka membela diri dengan mengatakan “Kami hanya melakukan tugas kami”.
  Sifat otoritarianisme, menurut banyak survei, adalah lemah dan bimbang. Lebih lanjut, dikarenakan kelemahannya, otoriterianis sangat keras terhadap orang lain. Kelemahan diri ini adalah alasan utama kekerasan kepada orang lain. Sifat otoritarianisme tidak dapat menerima pluralisme. Mereka tidak mampu, seperti dalam bahasa Jerman, untuk “mentoleransi pluralitas” (Pluralitatstoleranz). “Orang lain” mungkin saja Yahudi, atau Muslim, atau bahkan wanita, atau bangsa Roma, atau orang asing. Orang lain selalu dilihat sebagai sebuah ancaman, sebagai musuh. Karena itu otoriterianis mencoba untuk melenyapkan orang lain dengan berbagai bentuk kekerasan, misalnya lewat pemancangan pada Abad Pertengahan, dan pada masa ini melalui “pemancangan oleh media” sebagai teroris atau peperangan. Oleh sebab itu, siapa saja yang tertarik untuk menghapus kekerasan atas nama agama dan membuka dialog damai yang nyata dan membangun harus menghilangkan tendensi kepada otoriterianis untuk mengubah sifat tersebut.
  Sekarang, pertanyaannya adalah bagaimana caranya? Beberapa dari kita mengatakan pendidikan, informasi, dan etika global. Saya salah memahami pentingnya kode etik, karena Etika tidaklah cukup untuk orang-orang yang bimbang, dan otoriterianisme adalah kebimbangan itu sendiri. Kita tidak mungkin berkata kepada orang yang sedang bimbang untuk “Jangan bimbang”.
  Cara lain apalagi yang kita miliki? Kita harus menyembuhkan orang- orang seperti ini terlebih dahulu. Tetapi, apa artinya menyembuhkan? Dalam tradisi Katolik saya, kata itu telah berubah dari hal mistis menjadi moral. Bagaimana agama bisa menyembuhkan orang-orang yang dalam kebimbangan? Saat orang-orang itu disembuhkan, mereka akan bertoleransi dan akan lebih memiliki rasa solidaritas. Saya tidak memberikan opini saya tentang penyembuhan itu sendiri, tetapi saya akan memberikan pertanyaan utama, karena dalam pidato sebelum saya tidak disebutkan adanya kebimbangan. Kita selalu berbicara tentang kekuatan dan etika, tetapi kita harus menyadari konsekuensi dari kebimbangan dalam diri manusia dan masyarakat modern.
  Saya akan memberikan pendapat pada pidato penting dari kolega kita, Dr. Schlensog. Hans Küng telah memaparkan ide Etika Global berdasarkan Aturan Emas. Tetapi saya tidak yakin apakah pendekatan lain akan lebih bisa berguna. Saya mempelajari pendekatan alternatif ini dari guru saya Johann Baptist Metz. Dia teringat sebuah kalimat dari Jassir Arafat dan Yizak Rabin pada tahun 1994 saat mereka menandatangani perjanjian perdamaian mereka yang terkenal. Mereka menjanjikan “Di masa depan, kita akan selalu mengingat penderitaan orang lain, pihak oposisi.” Agar kita selalu mengingat penderitaan orang lain. Sumber yang diperoleh oleh Metz untuk Etos Dunia bukanlah Atura Emas, tetapi pertimbangan kepada mereka yang menderita. Tujuan utama dari setiap etika adalah mencegah penderitaan orang lain.
  Prasyarat untuk terciptanya kondisi yang diharapkan ini ada dalam inti ajaran setiap agama besar dunia, yaitu kasih sayang atau belas kasih. Kasih sayang adalah salah satu sifat Allah, yang Maha Mengasihi. Setiap hal diawali dengan nama Allah, belas kasih adalah inti Yahweh pada tradisi Yahudi. Dan Tuhan pada Isa adalah Tuhan yang berbelas kasih. Terakhir, di antara tiga Buddha, yang pertama adalah perlindungan, yang kedua adalah kebijaksanaan, dan yang ketiga adalah belas kasih. Dalai Lama adalah reinkarnasi dari Buddha belas kasih.
  Dengan dasar kasih sayang, agama-agama besar dunia akan dapat bekerja sama untuk membentuk semesta yang adil dan damai. Hal inilah yang saya tujukan, karena menurut saya, agama sangatlah mampu sebagai penyembuh. Ini adalah misi dari setiap agama. 



KIAT-KIAT PERDAMAIAN



Makalah oleh


Prof. Dr. Paul M. Zulehner
Direktur Pastoral Teologi di Wina
Pendekatan sejarah 


PERJANJIAN perdamaian dari Augsburg pada tahun 1555 bukanlah yang pertama kalinya. Mereka telah melakukan perjanjian yang sama pada 1485 di Kuttenberg/Bohemia di antara Hussite Utraquits (Calixtins) dan para pemimpin Katolik. Kemudian, tiga tahun sebelum Augsburg tahun 1552, Kaisar Habsburg Ferdinand I membuat perjanjian perdamaian dengan kaum Protestan di Passau (Patavia di Bavaria).
  Yang paling penting dari transformasi dimensi sosio-politis Eropa adalah “Reichstag” di Augsburg pada tahun 1555 yang menjadi poin utama situasi saat itu. Kita mulai dari menyatunya Kekaisaran Suci Roma yang menjadi hasil dari hubungan sejarah panjang ratusan tahun di antara Kristen Barat dengan kekuatan politik, di antara negara dan Paus. Prinsip utama adalah hanya satu agama yang digunakan sebagai dasar kekaisaran.
  Situasi pihak gereja saat itu terpecah belah, dari masyarakat menginginkan adanya reformasi, hingga kepemimpinan gereja yang sangat korup. Jarak antara ajaran dan tindakan (yang sebenarnya) dari gereja sangatlah jauh. Kepercayaan disalahgunakan untuk menggalang dana. Contohnya Cardinal Albrecht mencoba membeli kepemimpinan Mainz dengan menjual pengampunan dosa.

  Ada usaha untuk mereformasi gereja secara “an Haupt und Gliedern” (akar dan cabang). Salah satu reformasi terbaik adalah yang dilakukan biara Cluny di Prancis. Kemudian, gerakan pemiskinan gereja oleh Cathars (maksudnya pembersihan gereja) dan Francis dari Assisi. Beberapa gerakan terbukti gagal dan yang lainnya ditekan. Kekuatan keagamaan dan politik beraksi bersamaan dengan maksud untuk mencari selamat dengan mendukung keagamaan dan politik dari kekaisaran.
  Instrumen yang digunakan dalam kebijakan ini adalah larangan kekaisaran (“Reichsacht”) dan pemancangan. Jan Hus dibakar pada pancang tahun 1415. Bahkan tulang belulang Wycliffe di gali dan dibakar di Lincoln tahun 1428. Saat Martin Luther memprotes penjualan pengampunan dosa melalui Pangeran dan Uskup Agung Mainz, hal itu menjadi masalah bagi kekaisaran. Pada 1521, Martin Luther di asingkan sebagai “Reichtstag zu Worms” dan harus menarik 95 tesis yang dia publikasikan di Wittenberg tahun 1517, tetapi dia menolak untuk menarik tesisnya.
  Luther terselamatkan karena para Pangeran dari kekaisaran ingin terpisah dari kekaisaran. Pangeran Wolfenbuttel dari Saxony menye- lamatkan Luther dengan tidak memenjarakannya dan membawanya ke Wartburg (di Eisenach). Dengan “operasi terselubung” ini, dia melawan tidak hanya kaisar dan Paus, tetapi juga prinsip satu kekuatan politik dan satu agama di “Kekaisaran Suci Roma”. Pangeran-pangeran yang lain akhirnya mengikuti jejak pangeran dari Saxony dengan membentuk liga Smalcadic untuk melawan kaisar. Sang kaisar berusaha menggantikan pangeran penganut Lutheran dengan pangeran penganut Katolik. Hal inilah yang menyebabkan perang Smalcadic di antara kaisar, yang mempertahankan penyatuan agama dan perpecahan politik, melawan beberapa “Reichsfursten” (pangeran kekaisaran) yang kuat.
  Catatan sejarah pada masa itu sangatlah kompleks, di mana Kaisar berperang di Italy dan pada saat yang bersamaan Kekaisaran diserang dari timur oleh kaum Muslim. Pada tahun 1529, Vienna diserang oleh Sultan Mustafa Suleyman I. Hal ini bukan hanya membahayakan kekaisaran tetapi juga untuk Kekristenan, dalam hal ini Protestan. Untuk mendapatkan bantuan dari Pangeran-pangeran Protestan, sang Kaisar harus berdamai dengan mereka. Ini adalah tujuan dari pertemuan “Reichsstande” (Strata kekaisaran), yang disebut “Reichstag” di Augsburg pada tahun 1555. Sang Kaisar harus mengumumkan “Reichsabschied” (Kealpaan Kekaisaran) yang terkenal.
  Adalah seorang profesor di bidang hukum yang lima puluh tahun setelah terjadinya perjanjian Augsburg menggunakan dua istilah “ius” (hukum) yang terkenal dengan nama ius reformandi dan ius emigrandi.

  • ・Ius reformandi adalah usaha untuk menjaga kekuatan agama dan politik bersama-sama. Prinsip persatuan tidak berubah, hanya lebih bersifat kedaerahan. Ius reformandi mengizinkan pemimpin politik (sang Kaisar, para Pangeran) untuk melegalkan sendiri agama pada wilayah kekuasaan mereka.
  • ・Untuk mempertahankan persatuan sosio-politis, ius emigrandi diciptakan. Pada awalnya itu adalah hak bagi setiap warga untuk hidup berdasarkan peribadatan yang mereka percayai. Tetapi untuk bisa melakukan itu, dia harus meninggalkan daerahnya. Mereka bisa membawa harta benda mereka, tetapi mereka harus pergi. Pada beberapa abad kemudian, ius kebebasan beragama ini berubah menjadi instrumen perubahan bagi pemaksaan ikrar. 

Perjanjian perdamaian Augsburg adalah awal mula dari hampir lima puluh tahun masa damai. Tetapi masih sangat banyak masalah yang belum terselesaikan. Formula perdamaian itu melarang para Pangeran Katolik untuk pindah keyakinan atau mengubah keyakinan anak buahnya, atau dia harus mengundurkan diri. Tetapi itu tidak mudah untuk dilakukan karena ada minoritas Protestan dalam diri Kekaisaran Katolik.
  Para penguasa Habsburg mencoba untuk menekan Hussites di Bohemia yang mempertahankan keyakinan dan kemerdekaan mereka. Adalah sebuah keputusan nasional untuk memisahkan Bohemia dari Kekaisaran Habsburg. Setelah kejadian defenestration di Praha tahun 1618, di mana delegasi dari Wina dilempar keluar jendela lantai satu, perang berdarah tiga puluh tahun dimulai. Pada beberapa daerah Eropa, lebih dari 70% populasi kehilangan nyawa mereka. Perang ini diakhiri oleh Perjanjian Perdamaian Westphalian tahun 1648.


Beberapa Konsekuensi Utama

Apa saja konsekuensi dari Perjanjian Perdamaian? 

  • 1.Pertama-tama, perdamaian diawali dengan kebenaran beragama. Saya menganggap ini sebagai “Sekularisasi damai” (benign secu- larisation). Ini adalah langkah penting untuk membentuk kondisi “sekuler” (Reechtsstaat = kondisi di bawah aturan hukum) di mana moralitas dan legalitas dipisahkan tetapi tidak benar-benar terpisah.
  • 2.Sekularisasi damai ini dibentuk pada level kekaisaran tetapi bukan pada kedaerahan. Iusreformandi berdasar pada gagasan bahwa perdamaian lokal dapat terbentuk dengan lebih sukses jika dalam satu wilayah (dalam satu daerah) hanya memiliki satu ikrar. Gereja Ortodoks memiliki prinsip kuno “Wilayah Keturunan”. Dalam hal ini, satu daerah hanya bisa memiliki satu uskup. Pada dasarnya hal ini menyatakan bahwa semua penduduk di area tersebut adalah milik Gereja Ortodoks, atau lebih tepatnya pada patriarki tersebut. Setelah perjanjian perdamaian Augsburg dan Westphalia, instrumen yang digunakan untuk mendamaikan permasalahan ikrar adalah “pembersihan ikrar”. Instrumen garis keras ini digunakan lagi pada Perang Balkan (1991-1995). Ketika berusaha menguasai kembali daerah Krajina, Katolik Kroasia mengusir (dan membunuh) etnis non-Katolik Ortodoks Serbia dan Muslim Bosnia.
  •   Puluhan tahun setelah Augsburg/Westphalia, ada separasi antara kekuatan politik dan keagamaan pada keseluruhan Kekai- saran, tetapi bukan pada level rendah seperti kedaerahan. Aliansi antara Negara dan Gereja menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Ada situasi modern di Kekaisaran dan pramodern pada kedaerahan. Hal ini berlangsung dengan sukses selama bertahun-tahun.
  •   Dari sudut pandang Gereja/agama, kedudukan sosial Kristen/ ikrar di Eropa menurun sedikit demi sedikit: dari kekaisaran menuju kedaerahan, kemudian menjadi partai politik Kristen, dan akhirnya hanya pada level individual. Hak untuk beragama memiliki sejarah yang panjang, dari takdir menjadi pilihan (Peter L. Berger). Membersihkan ideologi teritorial tidak akan menjamin perdamaian, tetapi langkah ini diperlukan untuk menuju perdamaian.
  • 3.Pada sudut pandang keagamaan, pemisahan dari perdamaian (politik) “Landfrieden” dan kebenaran (keagamaan) membuka jalan kepada pengikraran Kekristenan daerah barat. Kejadian penting yang menjadi kunci adalah “Confessio Augustana” (1530) sebagai dokumen utama Gereja Luther dan “Council Trient” atau Gereja Katolik. Banyak ikrar Protestan akhirnya mengikuti jejak ini. Dalam wilayah ter-ikrar (kedaerahan) muncul pusat kebudayaan seperti tradisi Katolik di kekaisaran Habsburg dan tradisi Protestan di Eropa utara.
  • 4.Perjanjian perdamaian Augsburg menerima (atau meliputi) beberapa wilayah—disebut “Freien Reichsstadte” (kota-kota bebas kekaisaran) seperti Augsburg atau Nunberg. Dalam wilayah yang sama, Katolik dan Protestan hidup bersama dalam damai. Beberapa gereja digunakan bersama oleh kedua fraksi untuk beribadat. Hal ini adalah awal mula timbulnya gerakan gereja sedunia dalam Kekristenan; tetapi belum sebagai penyatuan dua agama besar dunia itu. Kaum Yahudi mengalami intimidasi bahkan oleh Gereja Luther. Perang di antara Kekristenan dan Islam berlangsung selama berabad-abad. Pada tahun 1683, Vienna sekali lagi diperangi oleh Kekaisaran Ottoman.
  • 5.Salah satu pelajaran utama dari masa itu adalah menggabungkan agama dan kekerasan tidak akan menguntungkan baik pihak politik ataupun agama. Hal ini juga berlaku untuk kaum Ateis. Pada wilayah Eropa timur, penggunaan kekerasan untuk memerangi Ateisme dinilai gagal. Hal yang sama juga berlangsung pada beberapa bagian kekaisaran Habsburg di mana pada Bohemia, paham Katolik ditekan oleh kekuatan politik. Mungkin saja ini adalah alasan mengapa republik Cekoslovakia menjadi salah satu daerah Ateis di wilayah Kristen. Penggunaan kekerasan atas nama agama sebagaimana Gereja dengan politik akan merusak sisi keagamaan dan gereja itu sendiri. Reputasi kekristenan merosot tajam setelah terjadinya perang Tiga Puluh Tahun. Itu adalah alasan mengapa gerakan anti keagamaan muncul di Eropa. Konsekuensi dari gerakan tersebut, para filsuf dari gerakan Pen- cerahan memisahkan agama dari gereja. Agama bagi mereka adalah universal di satu sisi dan pada sisi lain memunculkan agama-agama tanpa Gereja. Gereja-gereja mengalami krisis parah. Sebagai hasilnya, buka hanya pihak Gereja yang kehilangan kepercayaan da otoritas, tetapi juga agama itu sendiri. Ketika Voltaire menyerang Gereja untuk mempertahankan agama, Feuerbach, Marx, Engels, dan Freud menyatakan bahwa agama itu berbahaya bagi individu dan seluruh masyarakat.
  • 6.Sulit untuk dijelaskan mengapa budaya estetika lain seperti di Estonia wilayah barat Jerman dulunya menggunakan tradisi Protestan. Apakah mungkin bagi kaum Protestan lebih merujuk pada sekularisme dibandingkan Katolik yang terintegrasi?
  • Modernisasi—Sekularisme—Verbuntung (Pluralisme)
  •   Situasi keagamaan di Eropa saat ini akan lebih bisa dimengerti
  • jika kita melihat evolusi sejarah setelah Perjanjian Perdamaian.
  • 7.Biasanya, sekularisme terlihat sebagai hasil dari modernisasi di mana Gereja tidak memiliki kekuatan dan keagamaan di dunia tergantikan oleh ilmu pengetahuan. Formula inti pada konteks teoretikal tersebut adalah “semakin modern—semakin sekuler”. Tetapi jika kita melihat dari data empiris, Eropa bukan wilayah sekuler melainkan pluralis. Teori sekularisme melalui modernisme sepertinya muncul pada masa pramodern. Konteks tersebut hanya benar di mana masa pramodern ada percampuran agama/ideologi dengan kekerasan.
  • 8.Jika memang ada daerah modern dengan tingkat kemerdekaan yang tinggi, di mana moralitas dan legalitas dijunjung, maka moder- nisasi semacam itu bukanlah hasil dari sekularisme, melainkan pluralisme. 

 



TOLERANSI DAN SALING
MENGHORMATI



Makalah oleh


Y.M. Yasuo Fukuda
Mantan perdana menteri Jepang 

PERTEMUAN ini diadakan untuk memenuhi harapan Kanselir Helmut Schmidt. Dia adalah seorang teman baik almarhum ayah saya. Pada tahun-tahun itu, Jepang dan Jerman memiliki banyak persamaan di mana kedua negara tersebut adalah negara yang kalah dalam perang dunia ke II dan kedua negara tersebut secara ajaib bangkit dari abu peperangan. Ini mungkin saja ikatan yang menjadikan ayah saya sangat dekat dengan sang Kanselir.
  Seperti banyak dari kalian di sini, saya belajar bayak dari Kanselir Schmidt dan kita harus mengakui bahwa panggilannya untuk mengadakan pertemuan seperti ini menunjukkan kebijakan visioner- nya. Kita semua tahu bahwa pertemuan ini sangat terencana.
  Salah satu pelajaran penting yang saya pelajari dari Kanselir Schmidt adalah pesan Katia seperti berikut: “pemeliharaan perdamaian tidak terjadi menurut insting manusia, tetapi harus dikerjakan secara berkelanjutan dengan kerja keras umat manusia dan kejujuran.
  Seorang politisi abad ke 19 dari Jerman, Otto Bismarck mengatakan “Orang bodoh belajar dari pengalaman, dan orang bijak belajar dari sejarah”. Saya percaya hal ini penting bagi kita yang hidup di abad ke 21 ini, agar kita terus berusaha dan merenungkan apa yang bisa kita pelajari dari sejarah.
  Ada penurunan jumlah orang seperti saya yang benar-benar merasakan masa-masa perang dunia ke II. Sebagian besar masyarakat saat ini terlahir setelah jaman peperangan. Merefleksikan kejadian setelah perang dunia ke II, ada dua kejadian besar yang akan membuat kita merenungkan etika universal, yang menjadi tema pertemuan ini. Yang pertama adalah akhir dari Perang Dingin pada tahun 1989, dan yang kedua adalah peristiwa 9/11.
  Pada tahun 1089, Francis Fukuyama, seorang ahli sejarah dari Amerika menulis sebuah buku yang terkenal “Akhir Sejarah” (“End of History”). Dia berpendapat bahwa akhir Perang Dingin adalah titik akhir dari ideologi manusia dan bahwa Liberalisme Barat dan demokrasi akan menjadi universal sebagai bentuk akhir politik.
  Pada tahun 1993, sebuah kontra-pendapat dituliskan dalam tesis Profesor Samuel Huntington berjudul “Konflik Peradaban” (“Clash of Civilization”). Sebuah resolusi dibuat oleh Sekretaris Jenderal PBB pada tahun 1998 untuk menjadikan tahun 2011 sebagai “Tahun Dialog”.
  Ironis sekali ketika pada tahun yang sama, terjadi musibah 9/11. Ketika pesawat yang dibajak oleh teroris menabrak gedung World Trade Center di New York, “Tahun Dialog Peradaban” gagal. Tetapi saya yakin banyak dari kalian yang setuju dengan saya bahwa pentingnya dialog peradaban adalah demi masa depan yang sekarang.
  Pada abad baru ini, banyak sekali konflik internasional terjadi, di mana perdamaian dan stabilitas dunia menjadi tidak menentu. Dengan majunya ekonomi global, kesejahteraan sepertinya dapat terwujud, tetapi mereka yang mendapatkan keuntungan dari itu semua sangatlah sedikit. Adanya jarak, ketidaksetaraan, kemiskinan, dan ketidakbahagiaan di dunia ini semakin meluas.
  Cukup jelas bahwa ide komunitas internasional tidak menyatu di bawah bendera demokrasi sebagaimana Francis Fukuyama prediksikan, tetapi begitu juga dengan “garis batas peradaban” yang dikemukakan Samuel Huntington. Negara memiliki peran penting untuk menyatukan masyarakat, tetapi kelompok semacam Organisasi Non-Pemerintah yang menyatukan budaya, etnisitas, agama, komunitas lokal, atau ideologi dan tujuan memiliki peran yang lebih dinamis dan aktif secara internasional. Lebih lanjut, hubungan antarindividu yang telah melebihi batasan negara semakin tumbuh berkembang seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Singkat kata, dunia menjadi lebih kompleks dan mudah berubah dibandingkan yang telah diprediksi Francis Fukushima dan Samuel Huntington.
  Sayangnya, sejak “Tahun Dialog Peradaban” tahun 2001, per- debatan internasional tentang isu penting ini tidak diperdalam. Belakangan ini, banyak pemimpin dunia memusatkan pikiran dan tenaga mereka pada usaha penyelesaian konflik, mengatasi krisis ekonomi, atau meningkatkan posisi mereka di negaranya sendiri. Lebih lanjut, dengan kemajuan teknologi informasi di mana masyarakat mudah mendapatkan informasi, para pemimpin negara dipusingkan bagaimana mendapatkan dukungan publik dengan cara menyenangkan mereka. Dengan permasalahan sebanyak itu, para pemimpin politik dan intelektual semakin tidak sanggup untuk memikirkan kebutuhan etika global dan dialog antarperadaban.
  Beberapa pemimpin dan pemikir agama-agama besar dunia berpartisipasi dalam pertemuan ini. Komunitas internasional sedang kacau balau dan sistem nilai-nilai di dunia ini semakin terpecah, berubah, dan menghilang. Dengan situasi semacam ini, apa yang bisa ditawarkan agama? Ini adalah salah satu tema pertemuan ini.
  Musibah 9/11 memunculkan kembali pertanyaan tentang agama dan politik internasional. Serangan Al-Qaeda meningkatkan kritik sepihak penduduk dunia terhadap ke-Islaman itu sendiri. Pada masa- masa kekacauan seperti ini, beberapa orang berpendapat bahwa dunia yang monoteistik seperti Islam, Kristen dan Judaisme, atau sistem monoteistik lainnya di dunia inilah sebagai penyebab “konflik peradaban” atau “perpecahan peradaban”. Yang ingin saya pertanyakan di sini adalah apakah ada kebenaran dalam perdebatan semacam itu, atau apakah itu semua benar? Dengan kata lain, apakah masyarakat politeistik Asia dan sistem nilai pluralistik beserta standar etika mereka dapat memberikan contoh yang spesifik pada dunia yang monoteis?
  Jawaban saya terhadap pertanyaan ini adalah separuh “Iya” dan separuh “Tidak”. 
  Saya ingin fokus pada pemikiran politeistik sebagaimana Jepang adalah sebuah negara yang menganut paham politeisme. Banyak penduduk Jepang percaya pada Buddhisme tetapi Shintoisme dan animismenya juga ada dalam diri orang yang sama. Mereka percaya bahwa jiwa dan nyawa hidup tidak hanya pada semua makhluk hidup, tetapi juga pada benda-benda mati seperti batu atau air terjun. Kepercayaan yang berbeda ini—Buddhisme, Shintoisme, dan animisme—tercampur dalam harmoni pada diri setiap orang Jepang. Banyak orang pergi ke kuil Shinto pada 1 Januari, merayakan Natal, menikah di gereja Kristen, dan dimakamkan pada kuil Buddha. Mereka melakukan ini tanpa merasakan adanya kontradiksi.
  Akan tetapi, penduduk Jepang tetap memiliki rasa keagamaan yang kuat. Bayak dari kita yang merasa bahwa ada makhluk transenden di luar batas intelegensi dan pengalaman manusia. Entah ada yang menyebutnya makhluk transenden, Tuhan, Buddha, atau Surga, kita tahu ada banyak cara untuk mempercayai hal itu.
  Bagi mereka yang menganut monoteis, ambiguitas semacam itu mungkin saja tidak bisa dipahami dan diterima. Tetapi ada fitur positif pada masyarakat yang memiliki prinsip keagamaan yaitu bahwa kita bisa menerima sistem nilai dan kepercayaan yang berbeda. Kita juga memiliki serangkaian kesamaan standar etika dengan yang lain.
  Kata kuncinya di sini adalah “rasa untuk bertoleransi” terhadap orang lain. Toleransi mungkin saja menjadi gerbang masuk tujuan pertemuan kita ini. Akan tetapi, toleransi yang sebenarnya hanya bisa tumbuh dengan memahami orang lain yang memiliki latar belakang dan kepercayaan yang berbeda.
  “Etika Global dalam Pengambilan Keputusan” membutuhkan keseriusan kita dalam menerapkan tingkatan global ketika mengartikan etika. Saya ingin merekomendasikan saran saya.
  Pertama-tama adalah “Kasih Sayang”. Almarhum ayah saya pada tahun 1977 menjelaskan tentang “Doktrin Fukuda” dalam kunjungannya ke Asia Tenggara. Prinsip utama doktrin ini adalah komitmen untuk membangun hubungan “hati ke hati”. Pada pertengahan 1970an, ada pergerakan dan perlawanan terhadap Jepang di Asia Tenggara karena pengaruh ekonomi Jepang yang memasuki wilayah tersebut. Konsep “hati ke hati”sangat mudah dipahami semua orang dan dengan cepat mengambil hati masyarakat Asia Tenggara. “Hati ke hati” berarti kasih sayang, atau keinginan untuk melayani kepentingan orang lain.
  Yang kedua adalah “sensitivitas terhadap budaya” terhadap bangsa lain. Kita adalah produk dari budaya kita sendiri. Ketika kita berhadapan dengan orang yang memiliki latar belakang yang berbeda, kita selalu melihat mereka dari sudut pandang nilai dan budaya kita. Ketika kita akan mengkritisi orang lain, kita harus mengingat bahwa kejelekan penilaian kita terhadap orang lain akan tercermin. Berusaha memahami secara sensitif terhadap mereka yang berbeda dengan kita adalah kualitas penting dalam apa pun yang berusaha kita capai di pertemuan ini.
  Yang ketiga adalah “peningkatan kepercayaan” dengan partner kita. Para pemimpin politik di sini sangat memahami bahwa mereka harus mengambil risiko dalam negosiasi internasional. Jangkauan pengambilan risiko dalam sebuah negosiasi bergantung kepada seberapa jauh kepercayaan terhadap partner negosiasi tersebut. Tujuan paling dasar dari diskusi kita di sini adalah juga meningkatkan kepercayaan di antara kita semua. Saya yakin bahwa pertemuan ini dapat menawarkan pesan penting kepada komunitas internasional pada abad ke 21.
  Jepang adalah negara yang kalah dalam Perang Dunia ke II. Kami diperbolehkan kembali ke komunitas internasional pada 1951. Negara Jepang saat itu masih merasakan penderitaan akibat peperangan, tetapi pandangan internasional sangatlah keras dan dingin terhadap mantan penjajah dan negara yang kalah. Mereka merasakan bahwa Jepang seharusnya dihukum dengan sangat keras sehingga tidak bisa bangkit lagi. Melawan pendapat semacam itu, menteri keuangan Sri Lanka yang kemudian menjadi presiden negara tersebut, mengubah perlakuan terhadap Jepang dengan mengutip ajaran Buddha:
  “Kebencian tidak bisa disembuhkan dengan kebencian. Tidak membalas kebencian akan memberi kedamaian dalam hati kita. Ini adalah kebenaran abadi.” 



TOLERANSI: NILAI-NILAI UTAMA
YANG TERABAIKAN DALAM ERA
SEKTARIAN



Prof. Thomas S. Axworthy
Sekertaris Jendral, Dewan InterAction 


KITA hidup di zaman sektaris. Pemujaan yang berlebihan terhadap doktrin suatu agama, sekte, atau golongan adalah sebuah fenomena pada saat ini dan hal itu mengancam perdamaian dan ketertiban dalam dan luar negeri. Bahkan membaca sekilas headline berita dapat memberikan contoh yang baik: di Myanmar, kelompok umat Buddha bersenjata tajam menarget kaum Muslim, membunuh 40 orang dan mengusir 13.000 lainnya dari rumah da pekerjaan mereka.
  Boko Haram (diterjemahkan “Pendidikan Barat adalah hal Terlarang”), sebuah sekte Islami di utara Nigeria yang mengebom gereja hampir setiap minggu menyebabkan kematian 900 orang pada tahun 2012 saja. Di Libya, salib pada makam dianggap tidak pantas oleh kaum ekstremis dan makam militer persemakmuran telah sering dirusak.
  Di Irak, analis terkemuka Kanan Makiya, yang membantu invasi A.S. untuk menggulingkan Saddam Hussein menjelaskan bahwa “Musim semi Arab berubah menjadi musim dingin”. Hussein menggunakan sektarianisme dan nasionalisme sebagai alat untuk melawan musuh dalam negerinya ketika posisinya lemah. Partai Syiah Irak saat ini melakukan hal yang lebih buruk: mereka melegalkan tindakan mereka berdasarkan kepentingan sekte. Dan hal ini bukan hanya Muslim melawan Kristen atau Syiah melawan Sunni: perpecahan dalam pergerakan Muslim sangat jelas adanya. Contohnya di Mesir, setelah tergulingkannya rezim Mubarak dan golongan Salafiah menuduh kerabat mereka Sunni Muslim pada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata sebagai desertir, Partai Salafiah Al-Nour mengundurkan diri dari pemerintahan serikat muslim Presiden Mohamed Mursi, dan mendukung pengasingannya pada Juli 2013. Di Mesir, sangat jelas terdapat jurang di antara masyarakat sekuler Mesir dan para Islamis; tetapi pada kubu Islamis juga terdapat perselisihan.
  Semua contoh kasus sektarian terkini memiliki leluhur pada sejarah Eropa. Sama seperti yang terjadi di Nigeria atau Myanmar saat ini, pada masa sebelum pencerahan di Spanyol, sekelompok masyarakat sering menyerang kelompok kepercayaan yang berbeda (pada tahun 1391, ada kejadian di mana sekitar sepertiga kaum Yahudi dibantai). Seperti di Syria saat ini, penguasa pada abad ke 15 dan 16 dengan senang hati akan mengatasnamakan kepentingan sekte: sebagai contoh, Raja Ferdinan dan Ratu Isabella dari Spanyol melakukan pembersihan etnis besar- besaran dengan mengusir paksa 70.000 sampai 100.000 kaum Yahudi pada tahun 1492 dan lebih dari 300.000 Moriscos (Muslim Spanyol) pada tahun 1609.
  Perusakan makam mungkin terjadi di Libya saja saat ini, tetapi kerusakan yang lebih parah terjadi pada masa Reformasi. Simon Schama menanyakan “Apa yang pernah terjadi pada Katolik di Inggris?” di serial TVnya History of Britain (Sejarah Inggris), sebagaimana dia menjelaskan bahwa kaum fanatik Protestan menghancurkan jendela- jendela berkaca patri, rel altar, patung-patung, dan bahkan meja komuni. Parlemen Puritan bahkan sampai melarang merayakan Natal pada tahun 1647.
  Kekerasan antara Syiah dan Sunni? Pada hari pembantaian St. Bartholomew pada tahun 1572, 5.000 kaum Huguenot dibunuh, dimutilasi, dan dipermalukan oleh kelompok Katolik yang disebut oleh Benjamin Kaplan sebagai “Episode terburuk pada awal jaman modern”. Sunni Salafiah melawan Sunni Muslim pada perserikatan Muslim? Peperangan agama di Inggris adalah konflik di antara para pengikut Gereja Inggris dengan kaum Puritan. Sekte Protestan diibaratkan sebagaimana kaum Protestan lainnya yang melawan Katolik Roma.
  Pada tahun 1648, sebuah parlemen di Inggris dengan mayoritas Presbyterian membuat “undang-undang untuk memberikan hukuman kepada para penganut ajaran sesat” dan sampai akhir tahun 1662, 4.000 kaum Quakers masih dipenjara. Menuliskan kisah-kisah tersebut, ahli sejarah C.V Wedgwood memberi catatan pada kisah pendakwaan kaum Quakers bahwa “Paham anti kekerasan akan selalu mengundang kemarahan dari kaum garis keras”.
  Jika Eropa pada abad ke 16 dan 17 menunjukkan diskriminasi, ketidaktoleranan, dan kekerasan atas nama agama di mana skalanya lebih besar dari yang kita hadapi saat ini, pada masa itu masih ada tindakan penuh keberanian, pengertian dan cinta kasih dari perseorangan dan perlahan-lahan—selama apa pun itu—sikap toleransi mulai bertumbuh. Jaman Sektaris Eropa digantikan oleh jaman Pencerahan di mana salah satu pilar Pencerahan adalah nilai toleransi yang dulu pernah ditinggalkan. Penerimaan nilai toleransi antaragama menurut Jurgen Habermas adalah “Pendorong hak-hak berbudaya” secara umum.
  Toleransi menurut Andrew Murphy adalah sebuah sikap atau “sebuah niatan untuk mengakui keabsahan sebuah sudut pandang yang pada awalnya terlihat kontradiksi”. Hal ini adalah sebuah nilai yang berdasarkan kepada pengakuan, yang seperti dituliskan oleh Voltaire dalam kamus filosofinya bahwa “Perselisihan adalah penyakit manusia, dan toleransi adalah obatnya”, begitu pula Jay Newman berkata “Toleransi adalah ketika seseorang mau menerima orang lain; dan toleransi akan tercipta ketika seseorang berusaha menerima orang lain”. Toleransi adalah serangkaian tindakan: toleransi menunjukkan tentang “Kesabaran untuk tidak menghakimi orang lain hanya karena dia berbeda dari norma-norma yang ada”.
  Toleransi adalah serangkaian tindakan atau pengaturan untuk menciptakan keserasian hidup dalam perdamaian, sebuah konsep pembedaan tindakan atau motivasi dari semua pihak yang terlibat. Pembedaan sangatlah penting karena toleransi adalah tindakan individu yang mengakar dalam sifat kemanusiaan (semua manusia pernah berbuat kesalahan). Lawan katanya adalah fanatik, yang dijelaskan oleh John Morley sebagai prasangka yang menjengkelkan yang tidak bertoleransi dan tidak berkompromi. Ada banyak halangan dalam toleransi secara individu—ketidakpedulian, hal-hal takhayul, kesalahpahaman, kelambanan, dan perasaan superioritas.
  Sikap tidak toleran bisa muncul dalam bercandaan, nama panggilan, penghinaan verbal, diskriminasi, dan kekerasan. Contohnya di Skotlandia, baru-baru ini menciptakan kelompok penerangan sekte untuk mengatasi perselisihan di antara Katolik dan Protestan yang sangat jelas terjadi pada event semacam pertandingan sepak bola.
  Jika toleransi menjadi nilai atau tindakan dari seseorang, sebagai tujuan pendidikan, kepribadian, dan saling belajar hidup bersama, toleransi sebenarnya adalah serangkaian tindakan untuk tidak mengganggu kegiatan orang lain. Ketika Eropa berpindah dari jaman perang antaragama menuju jaman Pencerahan, berbagai ajaran dan sarana dimungkinkan untuk perbedaan pendapat di antara gereja- gereja besar atau aliran kepercayaan yang dominan. Tetapi sekalipun masa-masa toleransi perlahan berevolusi, hal ini tidak berarti adanya perubahan besar pada toleransi personal.
  Wedgwood menuliskan bahwa sekalipun para pemimpin Eropa pada abad ke 17 dipaksa untuk mengakomodasi perbedaan di antara pemahaman Kekristenan, pokok pikiran mereka akan tetap pada sebuah gereja yang universal (gereja mereka sendiri tentunya) dan toleransi akan tetap “mengundang perselisihan bahkan oleh orang berpemikiran modern”. Toleransi adalah sarana praktis untuk mencapai kehidupan bersama yang damai, yang bisa jadi berhubungan dengan kemajuan sikap saling menerima. Dalam melawan sikap sektarian, seseorang membutuhkan cara agar tindakan individu dapat berubah dan cara agar sarana institusi untuk itu dapat berjalan sebagaimana mestinya.


Diskusi

Ketua Obasanjo: perubahan makna kata, dan kata-kata yang saat ini dijunjung mungkin tidak akan bernilai sama di masa depan. Dan kata- kata yang saat ini kurang diperhatikan, mungkin saja akan dijunjung di masa depan. Dan tiap-tiap dari kita, seperti apa pun situasi kita saat ini dan apa pun agama kita, kita memiliki hak, dan dengan hak itu, kita memiliki kewajiban. Hal-hal yang tersebut di atas adalah apa yang dipercayakan kepada kita oleh Jeremy Rosen. Dan dia menutup catatannya dengan mengatakan bahwa persamaan pada manusia menyatukan kita dengan toleransi. Permasalahannya adalah apa saja faktor yang mempengaruhi persamaan manusia yang bisa membuat kita lebih toleran? Kita membahas masalah politik dan ekonomi, dan kita harus menggabungkan dua permasalahan tersebut dalam persamaan kebutuhan kita sebagai manusia.
  Di negara saya sendiri, kita membahas perihal Boko Haram, seakan-akan umat Muslim dan umat Kristen saling berperang satu sama lain. Tetapi hal tersebut tidaklah benar. Sekitar tiga tahun yang lalu, saya bepergian ke pusat Boko Haram, di Timur Laut negara saya, dan saya mencari tahu apakah benar ada organisasi yang disebut Boko Haram. Jika benar ada, siapa mereka? Apakah mereka memiliki seorang pemimpin? Dan jika mereka memiliki pemimpin, siapakah mereka? Apakah mereka bisa diajak berdiskusi? Apa tujuan mereka? Apa yang mereka perjuangkan? Apakah ada keterlibatan pihak luar? Jika ada, sejauh apa? Yang saya temukan adalah bahwa mereka pada dasarnya bukan orang jahat. Hal yang menjadi faktor utama disini adalah kemiskinan dan ketiadaan lapangan pekerjaan, yang akhirnya berujung kepada penyelundupan narkoba, penjualan senjata ilegal, pembalasan dendam, dan fundamentalis. Karena dilatarbelakangi permasalahan sosial inilah ketika saya bertanya tentang tujuan mereka, mereka menjawab “Syariah”. Mereka memahami persamaan antarmanusia, tetapi ada banyak faktor lain yang mempengaruhi pemahaman mereka tentang persamaan antarmanusia untuk menuju sikap toleransi.

Sri Sri Ravi Shankar: saya ingin memuji apa yang telah dikatakan oleh Paul Zulehner. Adalah keraguan dan ketidakbahagiaan dalam diri seseorang yang menjadi sumber konflik. Orang yang bahagia tidak akan membuat konflik dengan orang lain. Ketika seseorang tidak bahagia, frustrasi, dan stres, maka agama akan dijadikan salah satu alasan untuk membuat konflik, untuk memulai peperangan. Perilaku yang tidak dapat diterima menurut saya semacam stres, kebimbangan, kurangnya kebersahajaan, kurangnya interaksi, dan kurangnya pemahaman terhadap orang lain adalah sumber utama konflik di berbagai kelompok dan masyarakat. Pada masyarakat sekarang, hal ini sangat sering dijumpai. Tempat-tempat di mana masyarakat berbahagia, mereka hidup dengan kebahagiaan. Dan agama, kasta, komunitas atau ras tidak menghalangi kebahagiaan itu.

Dr. Mu’ti: saya berpikir bahwa di dunia yang kompleks dan dinamis ini, toleransi saja tidaklah cukup dan kita harus mampu memahami melebihi toleransi itu sendiri karena terkadang toleransi meliputi permasalahan yang terlalu luas dan terkadang mengacuhkan kebutuhan orang lain. Karena itu yang sebenarnya kita butuhkan saat ini adalah pluralisme. Dalam pemahaman saya, pluralisme terdiri atas sudut pandang global terhadap bangsa lain dan juga keagamaan dalam lingkaran publik. Dalam beberapa hal, kita lebih suka mengamati mereka yang tidak toleran hanya melalui tindakan mereka yang bisa diamati daripada melihat tindakan tersebut secara internal untuk mencari tahu sudut pandang kelompok tersebut yang kita sebut “kepercayaan masyarakat”. Dan yang kedua, tentu saja saat kita membicarakan pluralisme, dialog sangatlah penting. Tetapi hal itu hanya bisa tercapai jika kita mengartikan dialog sebagai langkah menuju toleransi dan pluralisme, karena di dalam dialog terdapat saling mendengar, saling memahami, dan saling menghormati. Tetapi hal yang juga penting adalah menerima mereka yang berbeda dengan kita, memberikan sarana kepada orang lain, dan pada batas tertentu untuk bekerja sama dengan orang lain.

  Di samping perbedaan agama, juga terdapat kemiripan dan persamaan, dan pada persamaan tersebut itulah yang harus digaris bawahi agar kita bisa mewujudkan masyarakat yang lebih damai dan bertoleransi. Tetapi pada jangkauan tertentu, toleransi tidaklah semudah itu, dan pluralisme juga tidaklah mudah karena akan ada nilai-nilai yang menjadi penghambat.
  Mengatasi hal ini, saya akan memberikan contoh lain dengan tidak mengatasnamakan perbedaan antara Islam dengan agama lain. Tahun lalu saya bepergian ke Belanda. Saya menghadiri konferensi antarkepercayaan di the Hague. Ada sebuah contoh yang baik tentang umat Muslim dan kaum Yahudi yang bekerja sama demi hal yang menjadi kepercayaan mereka yaitu Al-Qur’an dan Injil. Jadi, di samping perbedaan mereka, ada sikap saling menghargai dan mengerti persamaan yang ada, dan bahwa kita memiliki kewajiban bersama. Masih ada kemungkinan di mana kepercayaan yang berbeda dapat bekerja sama satu sama lain selama kita menghormati pihak lain dengan penghargaan dan kejujuran.

Prof. Chang: kita dapat menyambungkan nilai toleransi ini dengan kurangnya sikap toleransi yang telah disebutkan pada sesi sebelumnya perihal pentingnya peran pemimpin masyarakat kita. Saya memikirkan dua contoh yang saya tahu jelas. Yang pertama kita semua tahu jelas. Selama Revolusi Budaya, masyarakat Cina yang biasanya sangat menghargai hubungan yang harmonis dengan orang lain, dengan pekerja mereka tanpa diskriminasi agama, tanpa pembedaan etnis dan bahasa. Perusakan kepercayaan terjadi. Kebencian yang tidak jelas. Ratusan juta orang terlibat di dalamnya. Hal ini bukan dikarenakan ada serangan dari pemimpin kelompok lain terhadap rumah mereka. Karena itu saya percaya bahwa kita harus menggunakan pemikiran yang mendalam tentang sifat alami manusia, apakah hubungan antara teori dan panggilan pemimpin secara umum dan hubungannya dengan perilaku para pengikut di kelas bawah?
  Contoh kedua yaitu Kirghistan. Saya berkunjung ke Kirghistan dua kali, satu kali sebelum pemilihan umum dan sekali sesudahnya. Saya berkunjung secara khusus ke kota Oschi, di mana orang Kirghis dan Uzbek hidup berdampingan dalam satu negara. Kepercayaan keagamaan bagi mereka tidak untuk dibeda-bedakan. Beberapa dari mereka menganut ajaran Sufisme, dan yang lain memiliki kepercayaan yang berbeda, akan tetapi mereka tidak mengaitkannya dengan masalah etnis. Hal yang berbeda terjadi ketika pemilihan umum terjadi seperti sekarang, kekejaman terjadi di mana-mana, mereka membakar rumah, bahkan membunuh warga. Kekerasan ini tidak ada hubungannya dengan perbedaan etnik, karena akan sangat sulit membedakan antara orang Kirghis dengan Uzbek walaupun mereka berbicara dengan bahasa yang berbeda. Jadi, semua bentuk kekerasan ini merupakan dampak dari sesuatu yang lebih dari hanya sekedar agama, suku bangsa, atau indoktrinasi dari pemimpin-pemimpin suku bangsa, karena kesemuanya terjadi dalam waktu singkat, pada suatu tingkat tertentu. Saya kemudian bertanya-tanya apakah hal ini terjadi karena kegagalan kepemimpinan, ataukah menyangkut masalah perbedaan agama.

Dr. Habash: Saya percaya bahwa toleransi mempunyai nilai yang tinggi. Tetapi saya ingin menceritakan pengalaman di negara saya, bahwa toleransi saja ternyata tidak cukup. Negara saya adalah Syria. Bahkan filosof terkemuka pun menyatakan bahwa setiap orang sebenarnya mempunyai dua negara: negaranya sendiri dan Syria, karena anda akan menemui cerita kenabian, sejarah keagamaan dan kebudayaan. Kita berada dalam kondisi yang sangat baik. Semua orang tahu bahwa terdapat orang Muslim, Kristen, bahkan Yahudi di Siria, dan bahkan dalam komunitas Muslim sendiri terdapat banyak kelompok yang hidup berdampingan tanpa ada masalah. Kita berada dalam situasi yang harmonis dan saling pengertian satu dengan yang lain. Kita memiliki pertemuan dan diskusi harian dengan para pemuka Islam, Kristen dan Yahudi. 
  Tapi kesemuanya tidaklah cukup. Tanpa adanya demokrasi dan kebebasan, tanpa martabat, tanpa kepercayaan di antara umat beragama, dan rasa saling pengertian, kita tidak akan bisa mencapai target positif tersebut. Jadi saya yakin, kedamaian bukan hanya menjadi tanggung jawab pemimpin agama. Kedamaian juga merupakan tanggung jawab dari pemimpin politik. Pemimpin politik mempunyai kewajiban yang sama dengan pemimpin agama untuk mendukung toleransi dan menciptakan kondisi yang harmonis dalam negara. Seperti yang diungkapkan oleh Presiden Obasanjo, permasalahan yang sekarang muncul kebanyakan berasal dari dalam umat Muslim sendiri. Saya percaya bahwa masalah-masalah tersebut berada dalam ranah tanggung jawab para pemuka agama dan pemimpin politik. Tanpa adanya demokrasi, tanpa adanya martabat bangsa, tanpa kemerdekaan atau kebebasan, sebuah revolusi baru akan hadir di Siria kapan pun dalam hitungan detik.

Ketua Obasanjo: Arif Zamhari menyampaikan hal penting yang pantas dicatat. Agama telah gagal. Saya mendengar orang berkata bahwa kita telah mempunyai agama tetapi kurang memiliki rasa spiritualitas. Dan agama tanpa spiritualitas tidak bisa mencapai toleransi seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya. Seberapa jauh seorang pemimpin memberikan teladan, baik para pemimpin politik atau keagamaan? Apakah mereka guru dan ahli dakwah? Tapi mereka tidak mempunyai contoh nyata.
  Kita telah menyatakan bahwa toleransi saja tidak cukup, entah apakah toleransi menuju pada penerimaan, atau ketika penerimaan berujung pada penerimaan timbale balik, kesemuanya tidak akan cukup. Kita menghadapi situasi yang selalu berubah. Kita melihat perubahan dramatis di Siria, dan perubahan itu tidak hanya terjadi di Siria. Jadi hal atau kejadian apa pun yang kita alami di negara kita tidak bisa dipandang sepele. Dapatkah kemudian saya menyimpulkan bahwa dalam situasi apa pun, tidak peduli apakah kita mempunyai derajat toleransi, harmonisme, dan sebagainya, kesemuanya harus dilakukan dengan rasa cinta, dan karena tanpa perlakuan cinta, anda tidak akan mendapatkan apa-apa. Kedamaian bisa saja tercipta hari ini tetapi tidak besoknya. Dan saya ingin merujuk pada tiga poin yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa masalah yang sebenarnya adalah kemanusiaan.


Prof. Axworthy: Kita memulai pembicaraan dengan menyebutkan bahwa kita harus seksama dan tepat dengan bahasa yang kita gunakan dalam menafsirkan konsep-konsep ini. Menurut saya, rezim toleransi adalah bentuk kesabaran terhadap gangguan. Tidak ada bentuk pemaksaan. Kondisi minimum inilah yang kita harapkan bisa tercapai, dan hal ini merupakan sebuah permainan yang penting di kawasan Eropa seperti yang sudah dijelaskan, ketika orang-orang mulai berbicara “kami akan hidup dan biarkan kami hidup”. Mereka mungkin tidak memiliki keadaan yang sama dengan orang lain, dengan agama lain, dan cara pandang yang berbeda, akan tetapi mereka mau untuk mematuhi peraturan dan tidak menggunakan pemaksaan atau kekerasan untuk mencapai tujuan hidupnya. Dalam usia kita dewasa ini, hal tersebut dianggap penting. 
  Seseorang pernah berkata bahwa toleransi adalah suatu batu loncatan untuk pencapaian hak-hak yang lain serta merupakan bentuk dukungan terhadap terjadinya perubahan di dalam masyarakat. Jadi, yang bisa dikerjakan sekarang adalah mencoba untuk menggapai dan memastikan bahwa setidaknya kita mempunyai toleransi sebagai tujuan praktis ketika kita mengumpulkan pemimpin-pemimpin agama, pendidikan, politik secara bersama-sama. Karena sesungguhnya apa yang dikatakan Dr. Zulehner benar, tentang intervensi kunci, bahwa apa pun yang kita deskripsikan tentang toleransi dalam teori, banyak orang mengacuhkannya bahkan tidak peduli terhadap nilai-nilai minimum terciptanya toleransi tersebut. Ada penolakan bentuk toleransi dalam berbagai bidang di masyarakat. Jadi apabila kita langsung menuju pembahasan tentang hak asasi manusia, dan tidak meluangkan cukup waktu dalam pendidikan tentang pentingnya toleransi antarumat manusia, kita sama saja menjatuhkan bangsa kita sendiri. Dan kita menciptakan kesulitan besar dalam kehidupan berbangsa.
  Jadi, saya kira, pemikiran praktis yang harus segera dilaksanakan adalah dengan segera memulai: (1) menanamkan nilai toleransi dalam sikap dan perilaku individu, (2) melihat aplikasi praktis dalam kenyataan.
  Perdana Menteri Chretien telah membantu bernegosiasi menanamkan toleransi dalam piagam hak asasi manusia pada tahun 1982, tetapi ide toleransi sebenarnya telah digulirkan pada tahun 1950. Dibutuhkan waktu 30 tahun untuk merealisasikannya. Kita mempunyai Kanselir Helmut Schmidt dan Presiden Giscard d’Estaing yang telah membantu mempersatukan Uni Eropa, ketika sebenarnya Jean Monnet telah memikirkan hal yang sama pada tahun 1920an. Setiap kasus dibutuhkan sekitar 30 sampai 40 tahun untuk mengimplementasikan dalam suatu perjanjian.
  Saya akan mengakhiri pernyataan saya dengan menyerukan bahwa, apa yang telah dilakukan oleh Council, dalam usaha membuat suatu Piagam Kewajiban Manusia, bahwa kewajiban manusia akan berfungsi sebagai penghubung antara perbedaan agama dan suku bangsa, adalah permulaan saja. Kita baru saja mengusulkan hal ini, kita baru memulai gagasan ini pada tahun 1996 dan 1997, dan memang Piagam Kewajiban Manusia belum mendapatkan suara dari para penggagas hak asasi serta PBB. Tapi itu bukanlah merupakan alasan untuk tidak memperjuangkannya. Ide ini sangat kuat, dan ide yang berpengaruh membutuhkan waktu berpuluh tahun untuk direalisasikan. Saya berpendapat, dalam rangka mendukung aksi Council ini, kita hanya baru saja memulai perjuangan kita dan ada banyak hal yang perlu dilakukan untuk mewujudkannya, tetapi marilah tetap semangat. Kita berada pada jalan yang benar.

Prof. Saikal: Saya merasa tidak nyaman dengan istilah “toleransi”. Istilah ini mungkin bagus digunakan pada suatu kondisi, tetapi menurut saya hal ini berarti pemaksaan antara seseorang dengan yang lain. Saya lebih memilih untuk menggunakan istilah promosi tentang akomodasi mutual. Saya pikir itu lebih tepat. Tanggapan lain saya yang berhubungan dengan Ravi Shankar adalah istilah keputusasaan dan perampasan. Kondisi semacam inilah yang memacu manusia untuk melakukan tindak kekerasan. Tetapi ada juga alasan yang lainnya. Ketika hidup dan kebebasan anda dalam suatu masyarakat terancam secara serius dan dilanggar oleh orang asing atau orang luar, akan timbul kekerasan pula. Pertanyaan yang saya lontarkan adalah “Apakah ada hal yang disebut kekerasan yang syah?”

Metropolitan Niphon: Dalam proses mendengarkan perdebatan dan dalam membaca semua makalah penelitian, saya bertanya pada diri saya sendiri tentang sebuah fakta bahwa tidak ada satu pun dari kita yang menyebutkan kata ‘cinta’ sebagai padanan kata dari ‘toleransi’. Saya tidak tahu kenapa. Apakah anda tidak melihat tentang penerimaan cinta? Atau tentang solidaritas cinta? Atau tentang kebijaksanaan cinta? Apakah anda tidak melihat bentuk kebebasan cinta? Atau tentang akomodasi mutual? Kenapa kita tidak menggunakannya?

Perdana Menteri Fraser: mengambil sebuah contoh yang saya sangat paham, kita pernah memiliki suatu masyarakat sampai masa sebelum pecahnya Perang Dunia II, yang menyatakan bahwa kalau anda ingin menjadi warga Australia yang baik, anda harus menjadi seorang Anglo-Saxon-Celtic. Dan apabila anda bukan termasuk salah satu dari mereka, anda sebaiknya berpura-pura menjadi mereka, walaupun pada sekitar tahun 1800an banyak sekali pendatang yang datang ke Australia dari Afghanistan dan Cina ataupun dari daerah lain. Tetapi setelah pecahnya PD II, lebih banyak orang datang ke Australia, mereka berasal dari ratusan negara yang berbeda dari seluruh penjuru dunia. Dalam masyarakat kami, arti toleransi berubah; untuk menjadi warga Australia yang baik, anda tidak perlu melupakan akar atau sejarah budaya anda, tidak perlu melupakan agama, hari peringatan spesial, atau hari-hari besar kebudayaan anda. Apabila anda ingin merayakan hari-hari besar kebudayaan anda, tidak masalah. Anda masih selaras dengan konsep warga negara Australia yang baik.
  Jadi, toleransi, penerimaan, adalah suatu usaha yang nyata untuk memastikan bahwa semua pendatang baru ke benua Australia memahami bahwa untuk menjadi warga Australia, anda tidak perlu melupakan siapa diri anda, dari mana anda berasal, ataupun melupakan kecintaan terhadap tanah air. Saya pikir, pendapat ini sejalan dengan pemikiran Jean Chretien yang telah dibahas sebelumnya. Jadi pengertian toleransi itu tergantung dengan bagaimana cara anda mendefinisikannya berdasarkan pengalaman yang telah anda peroleh sebelumnya, apakah anda memiliki pengalaman dan kepedulian pada level rendah, ataupun ketika toleransi diartikan secara luas. Saya rasa sebagian besar manusia memiliki interpretasi yang luas tentang konsep toleransi.

Prof. Chang: dari pemahaman saya tentang kata toleransi, cinta adalah pengertian yang paling mendekati. Untuk mencegah kekacauan sosial, untuk mendukung kondisi saling pengertian, dan untuk mencapai ketenteraman sosial, toleransi adalah yang paling dibutuhkan. Tetapi apabila anda bisa melakukan lebih dari itu, yaitu penerimaan dan perasaan saling (maksud saya adalah saling menghormati secara aktif), maka pengertian penerimaan semakin mendekati ‘cinta’. Jadi pada tingkat ini, saya lebih memilih toleransi untuk dijadikan tolak ukur minimal.

Sri Sri Ravi Shankar: Sehubungan dengan pemikiran tentang seberapa jauh bentuk kekerasan bisa diterima atau masuk akal, saya berpendapat bahwa perang adalah bentuk kekerasan terburuk. Siapa pun yang memulai peperangan, mereka mempunyai alasan-alasan tertentu. Saya rasa yang terjadi adalah kegagalan komunikasi dan ketiadaan sentuhan manusia tentang cara berhubungan diplomatis dengan orang lain, salah satu alasannya adalah kegagalan komunikasi. Kekerasan tidak bisa dibenarkan dalam kondisi apa pun.

Dr. Mettanando: Saya kira kata ‘toleransi’ harus dipahami sebagai prinsip kedua dalam pembelajaran etika setelah kata ‘keadilan’. Jika anda membenarkan contoh ini, bisakah anda membenarkan perbuatan seseorang yang menyiksa anak minoritas di depan anda? Anda tidak bisa berkata kalau anda bisa tetap bertoleransi dalam kondisi ini, karena kalau anda bertoleransi, dengan menahan diri, maka anda dianggap tidak bertanggung jawab terhadap kondisi tersebut. Anda tidak adil. Saya rasa banyak alasan untuk kita tidak mengucapkan bahwa tiada tempat yang terbebas dari kekerasan. Saya pikir kita perlu menegakkan keadilan sebagai prinsip hidup utama, dalam rangka menentukan apa yang dianggap baik dan buruk ; dan apa yang menjadi alasan dibalik setiap kejadian.
  Jika seorang anak kecil disiksa di depan anda, di mana dia tidak bisa membela dirinya sendiri, cara untuk membantunya adalah dengan terlibat langsung dan kita harus bergerak secepat mungkin. Anda tidak bisa berkata, “Kita harus diam karena kita bertoleransi”. Hal itu akan dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian yang tidak bertanggung jawab, suatu penipuan terhadap hak keberadaan dan hak hidup orang lain. Jadi, toleransi adalah prinsip kedua setelah keadilan. Jika kita menegakkan prinsip keadilan dengan benar dengan memperhatikan hak dan martabat manusia., maka kita bisa bertoleransi apabila situasi di depan kita sudah setara dan adil. Jika situasinya tidak seperti ini, toleransi tidak bisa diamalkan dalam segala lini kehidupan.

Ketua Obasanjo: Saya berpikir, toleransi saja tidak akan cukup. Kita juga harus tetap waspada terhadap perubahan situasi. Tetapi untuk segala sesuatu yang kita lakukan, menurut saya, kebersamaan adalah hal terpenting. Kemanusiaan umum, nilai-nilai umum, keamanan bersama (jika anda menginginkan keamanan, anda harus memikirkan keamanan diri sendiri), kemakmuran bersama, dan saling mencintai, saling mengakomodasi, saling menghormati, saling menerima, dan tentunya lingkungan kemasyarakatan bersama. Kebersamaan, jika anda suka dan keharmonisasian. Kesemuanya tergantung pada kepemimpinan yang baik dan penuh dengan teladan, tidak masalah apakah kepemimpinan itu tentang masalah politik, keagamaan, atau kemasyarakatan. Saya berpendapat, kalau kita mempunyai kesemuanya, kita akan berada di jalan di mana kita mempunyai masyarakat yang baru yang lebih baik. 



JIHAD DAN PERSEPSI BARAT



Sesi dipimpin oleh


Y.M. Andries van Agt
Mantan Perdana Menteri Belanda 

“JIHAD” adalah salah satu istilah Islam yang populer dan sering menjadi bahan perdebatan di dunia. Sesi ini membahas tentang pengertian jihad yang sebenarnya dan bagaimana kekerasan yang selalu tersirat dari kata ini bisa dicegah.
  Ahli pembuka pertama, Dr. Abdul Mu‘ti, memfokuskan bahasannya
pada aspek etika jihad seperti yang tersirat dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan bagaimana jihad bisa dipahami sesuai dengan konteksnya pada masa kini. Jihad pada awalnya bertujuan untuk memperkuat keyakinan seseorang, tidak dengan memaksa orang lain untuk mengikuti pahamnya. Konsep Al-Qur’an mencakup ide yang luas dari peningkatan kapasitas diri secara religious sampai dengan menggunakan cara apa pun untuk mempertahankan kepercayaan keagamaan seseorang. Dia berkata, jihad adalah cara untuk mencari jalan kebenaran Tuhan.
  Prof. Amin Saikal menjelaskan tentang dua pandangan Islam yang saling bertentangan: (1) Islam Reformis (ijtihadi) yang mempercayai bahwa umat Islam bisa menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat sesuai dengan perubahan waktu dan kondisi, (2) Islam Kombatif (jihadi) yang bertujuan untuk membentuk pemerintahan Islam dan hidup sesuai dengan Sharia. Dua pandangan besar ini menjadikan empat kategori umat Islam, yaitu: ijtihadi, yang menolak segala bentuk kekerasan kecuali apabila kondisinya terancam; umat Islam Radikal yang mengaku patuh terhadap dasar-dasar ajaran Islam; Neo-fundamentalis, yang menganut interpretasi dan ajaran Islam secara saklek dan harfiah, yang menggunakan kekerasan sebagai alat untuk membawa perubahan dan untuk menguasai; dan para pengikut dengan penguasaan dan pengetahuan Islam yang sangat sedikit dan sangat mudah untuk dijadikan prajurit dalam peperangan. Dia menyatakan bahwa peperangan yang sedang mengancam berfungsi untuk mendukung para Islamis radikal dan para neofundamentalis, yang sebenarnya hanya merupakan jumlah minoritas dari keseluruhan umat Islam. Orang barat harus segera menghilangkan penilaian negatif terhadap Muslim secara mayoritas, hanya karena kelakuan beberapa Muslim dalam jumlah kecil, dan untuk ikut andil dalam penentuan peraturan yang secara aksi bisa lebih mendukung Islamis ijtihadi.
  Dr. Gholamali Khoshroo menemukan tiga bentuk kekerasan yang saling berhubungan di era modern yaitu; kekerasan fisik, kekerasan struktural, kekerasan yang bertentangan dengan kemerdekaan, di mana beliau yakin bahwa dialog, keadilan dan kebebasan adalah tiga jalan alternatif yang bisa ditempuh untuk menanggulangi kekerasan.
  Dalam pembahasannya, peserta Muslim dari Timur Tengah menjelaskan bahwa Al-Qur’an menyebutkan 17 tahapan untuk mem- perlakukan orang lain dan tahapan ke 17 berisi perintah tegas untuk memerangi semua non-Muslim yang membatalkan segala tahapan sebelumnya. Mereka juga menekankan untuk mengikuti apa yang tertera di Al-Qur’an secara literal dan tegas. Umat Muslim moderat dan umat Kristen berpendapat bahwa, walaupun mengikuti text Al-Qur’an secara literal juga penting, harus pula disesuaikan dengan perubahan kontekstual dan kondisi di masa kini. Islam Syiah menawarkan cara lain terlepas dari kekerasan dan ektremisme aksi yaitu tidak dengan menolak agama itu sendiri tetapi membuat suatu komitmen publik untuk menjalankan prinsip-prinsip demokratis. Seorang peserta yang lain menyinggung pentingnya analisis pribadi, suatu bentuk usaha untuk jujur terhadap diri sendiri dan untuk mencari kebenaran, di mana bertujuan untuk melihat sudut pandang dari orang lain, untuk berusaha menempatkan dirinya di tempat orang lain. Dengan menunjukkan rasa cinta dan kepedulian, kemanusiaan bisa dilihat dan dikenali dari cerita- cerita lain, dan Bapak Jean Chretien percaya, sangat penting untuk menemukan cara bagaimana memisahkan urusan agama dengan upaya pembentukan negara Islam di dunia, di mana hal itu sudah sukses tercapai di negara-negara Barat.





JIHAD SEBAGAI KONSEP ETIK DALAM ISLAM




Pembuka:



Dr. Abdul Mu’ti

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
Indonesia Dosen di Fakultas Pendidikan Agama Islam,
Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah, Jakarta. 


DALAM beberapa dekade terakhir, jihad menjadi salah satu istilah keislaman yang paling terkenal dan kontroversial baik di dalam maupun di luar dunia ke-Islaman. Telah banyak pembahasan tentang apa arti sebenarnya dari jihad dan apa yang bukan termasuk definisi dari jihad. Telah banyak usaha untuk mengklarifikasi dan memperbarui arti jihad yang selama ini dipandang telah ‘dibajak’, ‘dihina’, atau ‘disalahgunakan’ oleh beberapa oknum, baik Muslim ataupun non-Muslim, untuk menunjang kepentingan mereka sendiri dan telah dipublikasikan dengan pengertian yang disesuaikan dengan kepentingan mereka tersebut yang lebih mengarah pada pelaksanaan perang ‘suci’ bersenjata.
  Di sini saya tidak akan menekankan pada usaha membantah pengertian yang seharusnya salah di atas, yaitu pengertian jihad kekerasan-suatu usaha yang telah dilakukan oleh banyak ahli dan pemuka agama, baik Muslim maupun non-Muslim sama saja. Saya lebih menekankan pembahasan tentang pesan etika dalam jihad. Dalam pembahasan ini, saya akan memfokuskan pada aspek-aspek moral jihad seperti yang tersirat dalam ayat-ayat suci Al-Qur’an dan bagaimana aspek-aspek tersebut bisa disesuaikan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Saya akan memusatkan perhatian pada Al-Qur’an—sumber utama pendidikan ke-Islaman—yang merupakan bagian dari upaya untuk menghindari cara pandang yang tidak relevan tentang ide-ide Al-Qur’an berlebihan dalam memahami arti jihad, yang menurut saya sudah menjadi masalah umum.


Arti Jihad dalam Al-Qur’an

Suatu bagian dalam Al-Qur’an dianggap menafsirkan atau memberi arti bagian yang lain. Oleh karena itu, untuk memberi tafsir yang tepat dari suatu bagian, dibutuhkan pemahaman dari ayat-ayat yang secara relevan berhubungan dengan topik pembahasannya. Telah sering dikemukakan sebelumnya bahwa sebelum menerapkan metode tafsir apa pun, seorang ahli tafsir harus melihat secara keseluruhan ayat- ayat yang berhubungan erat dengan suatu perihal sehingga Al-Qur’an tersebut bisa menjadi petunjuk terbaik dan untuk mencegah kesalahan pengambilan kesimpulan. Untuk alasan inilah, diskusi apa pun tentang Jihad harus mengacu pada dan mempertimbangkan semua ayat-ayat yang relevan untuk mencapai makna asli dari kata jihad di Al-Qur’an dan juga tentang prinsip-prinsip utama Al-Qur’an yang berhubungan dengan jihad.
  Untuk menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan Al-Qur’an itu sendiri, terdapat perihal menyangkut usaha untuk membaca, dan mengartikan setiap kata dan konsep dalam Al-Qur’an sehubungan dengan latar belakang Al-Qur’an secara menyeluruh. Hal ini berarti bahwa, apabila seseorang berdiskusi tentang konsep jihad menurut Al-Qur’an, orang tersebut harus juga memperhatikan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang lain yang tertera di dalamnya- seperti halnya ‘keadilan’, ‘perdamaian’, ‘perlindungan terhadap hak hidup manusia’, dan ‘penyerahan diri terhadap Tuhan’. Walaupun hal-hal ini bukan menjadi kekhawatiran saya, saya rasa akan sangat penting untuk mengingatkan pembaca bahwa bahan bacaan apa pun tentang jihad yang ada, akan kurang syah apabila pengertian jihad bertentangan dengan pandangan Al-Qur’an terhadap subyek-subyek kehidupan yang lain.
  Di sisi lain, Al-Qur’an dipercaya dengan keindahan dan kehalusan bahasanya, di mana tidak akan ada satu tafsir bahasa apa pun yang bisa tepat merepresentasikan arti sesungguhnya. Sebagai contoh, kata jihad, tidak akan bisa secara akurat diganti dengan suatu kata yang berdekatan artinya seperti juhd (kemampuan; penggunaan energi; kerja keras) dan mujahada (usaha yang keras; pertempuran) ataupun dengan kumpulan kata seperti qital (perkelahian), da’wa (ceramah keagamaan), dan infaq (menyumbangkan uang untuk hal yang baik). Kehalusan makna retorika Al-Qur’an ini mungkin juga menyangkut arti suatu kata yang terdapat dalam ayat lain di mana kata yang sama bisa mempunyai konotasi dan implikasi yang berbeda jika disebutkan pada konteks yang berbeda.
  Jika kita setuju terhadap asumsi ini, maka kata jihad bisa mempunyai berbagai arti dan konotasi di dalam Al-Qur’an apabila ditempatkan pada ayat yang berbeda. Oleh sebab itu, penafsiran jihad harus disesuaikan dengan konotasi tekstual yang spesifik sebagai tambahan dari makna luas (penggunaan kata secara umum di Al-Qur’an). Untuk menemukan keunikan dan kehalusan bahasa retorik ini, adalah bentuk tugas akademik yang menantang yang membutuhkan keterlibatan kolaboratif dari para ahli yang berkomitmen tinggi. Dalam hal ini, saya hanya bisa menyatakan bahwa pembahasan saya tentang jihad dalam Al-Qur’an jauh dari kesempurnaan.
  Kata jihad terkadang dikaitkan dengan peperangan. Kata ini terkadang juga diasosiasikan dengan ‘perang suci’, hanya ‘peperangan’, atau ‘perang pertahanan’ di mana kesemuanya memberikan definisi yang tidak akurat terhadap kata jihad. Saya menekankan bahwa jihad dan perang adalah dua topik yang sangat berbeda walaupun keduanya bisa saja berhubungan dalam hal tertentu. Di sini, yang akan saya bicarakan adalah ‘jihad dalam Islam’, bukan ‘perang dalam Islam.’ Ajaran Islam menekankan tanggung jawab umat Islam untuk memerangi penindasan dan penyerangan, apabila kita berbicara tentang syuhada (shahada), akan tetapi, hal-hal mengenai etika peperangan seharusnya dibedakan dari pembahasan jihad. Untuk itu, sepanjang sisa pembahasan esai ini, pembaca akan menemukan keterkaitan yang sangat sedikit antara jihad dan kekerasan.
  Dalam kitab Al-Qur’an, ketiga huruf konsonan akar dalam kata jihad atau kata yang berhubungan dengan jihad (j-h-d) terbilang sebanyak empat puluh satu kali- kebanyakan dalam bentuk kata kerja (dua puluh tujuh kali). Akar huruf konsonan ini menandakan suatu usaha tanpa kenal lelah, berjuang, berusaha, bersungguh-sungguh, berebut, berkemampuan, berkekuatan dan bertempur. Kebanyakan referensi tentang jihad dalam Al-Qur’an tidak berhubungan dengan perintah terhadap kaum Muslimin untuk melancarkan peperangan. Sejumlah ayat dalam Al-Qur’an mengandung kata jihad (beserta kata jadiannya) yang diwahyukan selama periode Mekkah di mana perang antara kaum beriman dan kaum pagan tidak terjadi. Salah satu ayat berbunyi: wa man jaahada fa innamaa yujaahidu linafsihii innallaaha la ghaniyyun ‘anil ‘aalamiin (Dan barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam (QS 29: 6)).
  Seperti pendapat sejumlah ahli tafsir Al-Qur’an, kemungkinan besar arti kata “berjuang” di sini adalah berjuang menghadapi kesulitan dan ketidaknyamanan sembari mempertahankan keyakinan, seperti yang telah ditunjukkan dalam QS 29: 2 yang menyatakan, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji?” Kaum beriman akan diuji oleh Tuhan untuk mengetahui mana yang sebenarnya beriman dan tidak beriman (QS 29: 3), serta mana yang berjuang dan tidak berjuang (QS 9: 16, 47: 31). Dalam mempertahankan keyakinan, kita banyak membutuhkan perjuangan keras dan kesabaran, khususnya jika kita menghadapi situasi seperti yang terjadi pada para pengikut Rasulullah di periode Mekkah.
  Seorang ahli tafsir Syiah modern, al-Tabataba’i dalam tafsirnya al-Mizan, secara tidak langsung menyatakan bahwa kata jihad dalam ayat tersebut berarti menjaga keyakinan dan penuh kegigihan dalam berbagai keadaan. Tidak jauh berbeda dengan al-Tabataba’i, ahli tafsir Sunni modern Ibn ‘Ashur dalam tafsirnya, al-Tahrir wa al-Tanwir, menyebutkan bahwa makna utama yang paling mungkin dari kata jihad dalam ayat tersebut adalah kesabaran dalam menghadapi berbagai kesulitan dan derita sebagai konsekuensi atas pilihan keyakinannya. Ahli tafsir modern lainnya, al-Qasimi dalam Mahasin al-Ta’wil juga memahami jihad dalam ayat tersebut sebagai bentuk perjuangan dari kesabaran dalam menghadapi cobaan dan konsistensi dalam mempertahankan kebenaran meskipun harus menghadapi semua penderitaan tersebut.
  Bukti kedekatan dan keterkaitan makna dari konsep jihad, keya- kinan (iman) dan kesabaran dalam Al-Qur’an diindikasikan dengan penyebutan berulang kata jihad dengan diiringi salah satu dari kata “iman” atau “kesabaran”. Tidak kurang dari sepuluh tempat (ayat), kata jihad didahului oleh kata “iman”, dan di tiga tempat (ayat) diikuti oleh kata “sabar”. Jihad diindikasikan sebagai salah satu sifat dari kaum beriman yang sesungguhnya (QS 49: 15, 8: 74). Konsep lain yang juga merupakan sifat kaum beriman yang sesungguhnya dan sering diasosiasikan dengan jihad adalah “hijrah”. Hijrah secara umum diartikan sebagai sebuah tindakan meninggalkan kondisi yang korup atau buruk. Kata “hijrah” dalam Al-Qur’an mendahului kata jihad di tujuh tempat (ayat). Meskipun kata jihad di sejumlah ayat Al-Qur’an dipahami sebagai “qital”(bertarung dalam peperangan atau berperang melawan ancaman), tetapi kedua kata tersebut (jihad dan qital) tidak pernah disebutkan secara bersamaan ataupun cukup berdekatan satu sama lainnya di dalam Al-Qur’an.
  Berdasarkan tradisi riwayat populer (hadis), qital yang biasanya disebut sebagai ‘jihad dengan pedang’, hanya dipahami sebagai sebuah “jihad kecil” (jihad asghar), dalam bandingannya dengan “jihad besar” (jihad akbar) yang merupakan sebuah jihad melawan nafsunya sendiri (jihad al-nafs). Versi lain dari jihad al-nafs adalah mujahadat al-‘abd hawahu, yaitu sebuah perjuangan internal untuk hidup lurus dan agamis (dalam Sufisme dikenal dengan istilah mujahada). Di dalam Al- Qur’an, sesuatu yang disebut sebagai “jihad besar” (jihad kabir) adalah jihad melawan kaum kafir dengan menggunakan Al-Qur’an itu sendiri. Dalam sebuah surat Makiah disebutkan: fa laa tuthi’il kaafiriina wa jaahid-hum bihii jihaadan kabiira (Maka janganlah engkau ikuti orang- orang kafir dan berjuanglah menghadapi mereka dengan Al-Qur’an dengan perjuangan yang besar (QS: 25:52)).
  Menurut al-Tabataba’i, berjuang melawan kaum kafir dengan Al- Qur’an berarti membacakannya untuk mereka, menjelaskan semua informasi yang terkandung di dalamnya dan menyempurnakan argumen-argumen untuk melawan mereka. Interpretasi serupa dapat ditemukan di tafsir-tafsir lain seperti Ruh al-Ma’ani oleh al-Alusi dan Fath al-Qadir oleh al-Shawkani. Al-Alusi lebih jauh menjelaskan bahwa dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa jihad terbesar adalah jihad yang dilakukan oleh para ulama dalam melawan musuh agama melalui Al-Qur’an. Oleh sebab itu, ayat tersebut mengimplikasikan bahwa jihad adalah sebuah upaya aktif penuh perjuangan dalam menghadapi kaum kafir melalui argumen rasional yang mampu membawa atau menggiring pada sebuah titik di mana kebenaran dapat diungkapkan. Konteks dari dilakukannya jihad ini, seperti yang sudah diisyaratkan di bagian awal ayat tersebut, adalah sebagai upaya dalam menghadapi para kaum kafir yang memaksa kaum beriman untuk mematuhi kehendak mereka.
  Jika ayat tersebut adalah satu-satunya ayat yang menyebutkan jihad dengan menggunakan Al-Qur’an, banyak ayat lain dalam Al-Qur’an yang menyebutkan jihad dengan menggunakan kekayaan dan nyawa (disebutkan di tujuh tempat). Hal ini menekankan bahwa makna jihad adalah sebuah upaya penuh kesungguhan dan keikhlasan, sesuatu yang menuntut kita untuk melakukan yang terbaik sampai pada suatu titik di mana kita mungkin akan kehilangan kekayaan, bahkan mungkin nyawa kita. Namun, hal ini tentu saja tidak berarti bahwa Islam adalah agama yang mengabaikan kekayaan dan kehidupan. Sebagai buktinya, sebagian dari tujuan syariah adalah pemeliharaan kekayaan (hifzh al-maal) dan kehidupan (hifzh al-nafs). Jadi, konteks manakah yang mengabsahkan kita untuk mengorbankan harta dan nyawa kita?
  Sering kali disebutkan dalam Al-Qur’an (tidak kurang dari sebelas tempat), kata jihad diikuti oleh frasa fii sabiil Allaah (di jalah Tuhan). Satu kali frasa tersebut dipendekkan menjadi fii Allaah dan satu kali dipendekkan menjadi fiinaa, yang dipahami dengan makna yang tidak berbeda. Hubungan antara jihad dan fii sabiil Allaah mungkin mengindikasikan bahwa jihad harus dilakukan menurut agama dan untuk kepentingan agama atau din-Nya. Makna dari frasa Fii sabiil Allaah tidaklah sama dengan “dalam nama Tuhan” atau “demi Tuhan”. Dalam Al-Qur’an, frasa ini juga sering kali mengikuti kata “qital” (berjuang dalam konteks perang), yang disebutkan di tigabelas tempat. Walaupun hal ini bisasaja diartikan bahwa qital sangat erat pengertiannya dengan jihad, kita tidak boleh lupa bahwa frasa fii sabiil Allaah ini juga sering mengikuti kata “infaq” (mengeluarkan uang) di tujuh tempat, dan mengikuti kata “hijrah” (berpindah dari kondisi yang buruk) di empat tempat. Kata sabiilillaah sendiri sering digunakan dalam konteks yang berkaitan dengan upaya kaum kafir untuk menjauhkan umat manusia dari jalan-Nya (sedikitnya di dua puluh tiga tempat) dan dalam konteks mereka yang tersesat dari jalan-Nya (sedikitnya di sebelas tempat). Hal ini menunjukkan bahwa kata sabiilillaah paling tepat dipahami sebagai din-Nya, yang juga sering disebut sebagai al-siraat al-mustaqiim (jalan yang lurus) meskipun terdapat perbedaan yang substansial antara kedua istilah tersebut.
  Frasa fisabiilillaah dapat juga menekankan arti jihad sebagai sebuah tanggapan keras untuk penganiayaan, penindasan, serangan dan agresi yang dilakukan oleh kaum kafir yang mengancam eksistensi keimanan kami. Semua tindakan ini bisa saja memaksa kami untuk berperang melawan mereka (qital). Dalam konteks peperangan ini, suka tidak suka seseorang harus mengerahkan semua energi baik fisik, finansial, mental atau intelektual—itulah jihad. (Di luar konteks ini, jihad mungkin diperlukan juga, seperti yang diindikasikan dalam hadis, “Jihad yang paling unggul adalah mengucapkan sepatah kata kebenaran di hadapan seorang tiran”.) Qital fisabiilillaah sebaiknya dipahami dalam sebuah konteks di mana jihad jenis ini terpaksa dilakukan dalam kondisi yang memang mengharuskan jihad ini harus dilaksanakan. Hubungan penganiayaan/penindasan, qital, dan jihad secara jelas dapat dilihat contohnya dalam QS 2: 216-218.
  Di dalam ayat-ayat tersebut, di antaranya, secara gamblang ditun- jukkan bahwa jihad adalah lebih pada masalah tentang memper- tahankan keimanan seseorang, bukan pandangan untuk memusnahkan semua yang dianggap memiliki aliran yang berbeda, baik yang seagama atau berbeda agama. Jihad itu tidak bertujuan memaksa orang lain untuk mengikuti keyakinannya, karena jika salah seorang percaya bahwa agama seseorang sempurna (kamil), tidak perlu ada paksaan pada yang lain untuk mengikuti agamanya. Paksaan mungkin terjadi ketika salah seorang secara tidak sadar percaya bahwa agama seseorang tidaklah sempurna. Seperti yang telah secara gamblang dinyatakan dalam Al- Qur’an, “tidak ada paksaan dalam beragama”. Alih-alih memaksa yang lain, jihad adalah untuk menghindarkan kita supaya tidak berbalik dari agama kita ketika kaum kafir memerangi kita. Memerangi kaum kafir dalam konteks ini berarti lebih baik daripada diam saja, seperti yang telah secara jelas disebutkan dalam QS 4: 95.
  Seperti yang disebutkan dalam ayat Al-Qur’an tersebut, salah satu alasan mengapa ‘mereka yang berjuang’ dipilih tampaknya karena keberanian yang mereka miliki, yaitu melakukan sesuatu yang mungkin mereka benci tetapi diperintahkan oleh keyakinannya, untuk berjuang tanpa lelah dengan mengorbankan harta berharga yang mereka miliki. Hal ini adalah sesuatu yang ditunjukkan di sejumlah ayat tentang jihad, misalnya dalam QS 9: 41, 44, dan 81. Dalam setting qital, keberanian ini tentu saja sangat diperlukan (seperti yang diindikasikan dalam QS 2: 216).
  Makna jihad dalam konteks qital juga melibatkan upaya berperang, namun harus dalam batas-batas yang tepat sebagaimana telah ditetap- kan dalam Al-Qur’an, contohnya dalam QS 2: 190-193. Dalam ayat- ayat tersebut, Tuhan menerangkan kepada kaum beriman bahwa mereka hanya diperbolehkan untuk berperang melawan mereka yang memeranginya dan bahwa mereka tidak boleh melanggar batas wajar dalam peperangan. Sebagai tambahan, satu-satunya target sah untuk mereka perangi adalah mereka yang lalim, dan peperangan harus dihentikan jika pihak lawan berhenti. 
 


Kontekstualisasi Jihad di Era Saat Ini



Mungkin baru dewasa ini disimpulkan bahwa konsep jihad di dalam Al-Qur’an bermakna luas, memiliki konteks yang berbeda-beda, dan melibatkan sejumlah aspek mendasar berikut ini: 

  1. )  Kerja keras yang tulus dan sungguh-sungguh dan upaya tanpa lelah.

  2. )  Usaha mempertahankan keyakinan dan kebenaran (dari gangguan dalam dan luar).

  3. )  Kesabaran dalam menghadapi berbagai hal yang menimbulkan kesulitan dan ketidaknyamanan.

  4. )  Keberanian untuk menjadikan diri dan kekayaannya dalam bahaya dalam upaya memerangi penindasan dan ketidakadilan.

  5. )  Penggunaan optimal dari semua sarana yang tersedia—intelektual, fisik, finansial, dan lain-lain.

  6. )  Niat dan tindakan yang baik berdasarkan petunjuk agama. 

Meskipun makna jihad dipersempit hanya pada konteks perang mem- pertahankan diri dan pelakunya dibatasi hanya pada para pejuang, kita pada kenyataannya dapat melaksanakan jihad kita sendiri di lingkungan dan bidang kita masing-masing selama kita benar-benar melibatkan aspek-aspek yang telah disebutkan di atas. Kita dapat melakukan jihad kita sebagai pendidik, aktivis, penulis, jurnalis, ilmuwan, profesional, dan lain-lain. Kita dapat berjihad dengan keterampilan, suara, penge- tahuan, harta benda, aktivisme, bahkan dengan pilihan suara kita. Kita dapat berjihad dalam konteks perbaikan pendidikan, aktivisme HAM, perlindungan lingkungan, pengentasan kemiskinan, penciptaan perdamaian, perjuangan kesetaraan gender, dan lainnya.
  Bagaimanapun juga, karena jihad harus dilaksanakan dengan dasar niat yang baik, apa yang lebih penting adalah untuk tidak mengklaim atau menyatakan secara terang bahwa apa yang sedang atau telah kita kerjakan adalah jihad. Sebaliknya, kita berjihad dalam hidup kita hanya didasari tujuan memperoleh rahmat dan pahala dari Tuhan semata. Seperti yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an, kita diuji oleh Tuhan untuk mengetahui apakah kita bersedia berjihad atau tidak. Oleh karena itu, Tuhan sendiri yang mengetahui dengan lebih baik siapa di antara kita yang sebenarnya sedang berjihad. Kita tidak memiliki otoritas nyata untuk menyatakan diri kita sendiri sebagai seorang mujahidin (pelaku jihad). Bagaimanapun, kita tetap harus memiliki semangat jihad. Tetapi memproklamirkan diri bahwa kita adalah seorang mujahidin secara publik adalah sebuah indikasi dari ketidaktulusan (riya’). Berdasarkan hadis (tradisi yang diriwayatkan), mereka yang ingin orang lain mengakuinya sebagai seorang mujahidin adalah termasuk golongan yang akan merugi di hari akhir kelak.
  Sebagai tambahan, kita juga harus mempertanyakan setiap upaya yang bertujuan mempersempit makna jihad hanya berarti “perang” atau sesuatu yang disebut dengan perang suci oleh mereka yang mengklaim diri sebagai mujahidin yang sedang berjihad atau mengobarkan perang suci. Kita tidak boleh lupa bahwa “jihad” dan “qital” (berperang) adalah dua kata yang berbeda, dan di dalam Al-Qur’an kata “jihad”tidak pernah secara jelas ditujukan pada istilah “perang suci”. Seperti yang sudah sering dibuktikan, konsep perang suci secara historis bukanlah berakar dari Muslim (Islam), dan pengasosiasian jihad dengan istilah “perang suci” adalah sepenuhnya kontemporer. Jihad adalah tentang pencarian di jalan Tuhan, sedangkan mengobarkan perang suci yang diproklamirkan secara pribadi merupakan bentuk dari otoritarianisme.

Bahan Bacaan


al-Alusi, al-Sayyid Mahmud. Ruh al-Ma’ani fi Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim
  wa al-Sab ‘al-Mathani. Beirut: Idarat al-Tiba’ah al-Muniriyah, n.d.
Bonney, Richard. Jihad: From the Al-Qur’an to bin Laden. New York:
  Palgrave Macmillan, 2004.
El-Fadl, Khalid M. Abou. The Great Theft:
  Wrestling Islam from the Extremists. HarperOne, 2007.
Ibn ‘Ashur, al-Tahir. Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir. Tunis:
  Dar al- Tunisiya, 1984.
al-Qaradawi, Yusuf. Fiqh al-Jihad. Maktabah Wahbah, 2009.
Rahman, Fazlur. Major Themes of the Al-Qur’an.
al-Shawkani, Muhammad. Fath al-Qadir. Beirut: Dar al-Fikr, n.d.
al-Tabataba’I, Muhammad Husayn. al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut:
  Mu’assasat al-A’lami li al-Matbu’at, 1997. 



PERSEPSI BARAT TENTANG JIHAD
DAN IJTIHAD DALAM ISLAM



Pemateri 2:


Prof. Amin Saikal
Profesor Ilmu Politik, Direktur Pusat Kajian Studi Arab dan Islam,
Australian National University

 

PERSEPSI Barat tentang Islam dewasa ini diwarnai oleh berbagai istilah dan sebutan membingungkan yang pada praktiknya lebih sering menyesatkan daripada meluruskan (memberikan klarifikasi).Makalah ini membahas beberapa dari istilah dan sebutan tersebut dalam perspektif historis, dan bertujuan untuk memberikan sebuah kerangka yang mampu membantu memberikan koherensi untuk analisis beragam fenomena yang dunia Barat coba untuk gambarkan.
  Perdebatan dan pertentangan kontemporer tentang peranan Islam dalam dunia Muslim dapat ditelusuri dari dua visi Islam yang saling bersaing, dengan berbagai variasi di setiap visinya, yang muncul dalam komunitas Islam tak lama sepeninggal Nabi Muhammad Saw..
  Pandangan yang pertama ditandai oleh keyakinan bahwa Islam tidak memberikan sebuah teori kenegaraan atau sebuah bagan spesifik yang dapat secara tepat menjadi pondasi pendirian suatu pemerintahan Islam dan menyatukan umat Islam di bawah kepemimpinan tunggal. Hal tersebut akhirnya mendasari anggapan bahwa Sang Nabi meninggalkan sebuah warisan yang sangat kaya namun rumit yang didasarkan pada satu set perintah moral dan etika dasar yang diabadikan dalam wahyu Al-Qur’an dan kumpulan hadis, yang memungkinkan umat Muslim untuk mengaplikasikan Islam baik dalam kehidupan individu maupun masyarakat sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan kata lain, hal tersebut mengacu pada penerapan Islam dalam ‘ruang waktu’, bukan ‘membeku dalam waktu’. Dengan demikian, berdasarkan penalaran manusia yang independen,para reformis menganggap bahwa hal ini sah-sah saja atau diperbolehkan jika ulama melakukan interpretasi dan penerapan Islam yang kreatif yang didedikasikan untuk pembaruan dan reformasi sebagai cara terbaik untuk membangun masyarakat Islam yang saling terhubung dan berbudi luhur. Pandangan seperti ini dapat digambarkan sebagai ijtihadi atau Islam reformis.
  Pandangan yang kedua berpendapat bahwa tidak ada perbedaan yang esensial antara agama dan politik dalam Islam, dan bahwa keduanya adalah dua sisi mata uang yang sama. Dengan demikian, pandangan kedua ini sangat mendukung pemahaman dan penerapan Islam secara literal dalam konsep agama tersebut didirikan atau diciptakan. Para pendukung pandangan ini mendalilkan bahwa cara terbaik bagi negara yang mayoritas penduduknya Muslim adalah dengan memiliki sebuah pemerintahan Islam. Walaupun menghendaki kesucian gagasan tentang penyatuan Umat Islam, beberapa dari mereka juga mengakui legitimasi entitas politik dan teritorial mandiri, terutama sejak runtuhnya Kekaisaran Ottoman pada akhir Perang Dunia I. Dengan syarat, mereka harus diatur oleh badan dan lembaga Islam. Mereka mendesak umat Muslim untuk mengikuti konsep Tauhid (keesaan Tuhan) dan Kekuasaan Tuhan, dan berpandangan bahwa Al- Qur’an, Sunnah (ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad Saw.), gaya kepemimpinan Nabi serta kejayaan komunitas masyarakat Muslim yang didirikan Nabi Muhammad Saw. sebagai model dan acuan yang jelas untuk pendirian sebuah pemerintahan Islam dan Kerajaan Allah di bumi, yaitu tinggal di Dar al-Islam di bawah Syariah atau hukum Islam.
  Beberapa dari mereka, yang pada umumnya disebut sebagai ‘Wajah Islam’, menolak legitimasi batas nasional dan mendukung kebangkitan umat Islam di bawah kepemimpinan tunggal. Golongan yang muncul dari pandangan seperti inilah yang kemudian populer dikenal sebagai jihadi atau pejuang Islam.
  Dua pandangan tersebut secara historis telah melahirkan empat kategori Muslim dengan pandangan dan sikap yang berbeda terhadap dunia non-Muslim pada umumnya, dan Barat pada khususnya. Empat golongan tersebut adalah: ijtihadi, jihadi, neofundamentalis dan golongan lokal atau akar rumput. Mari kita pelajari masing-masing dari mereka dari sudut disposisi ideologis dan perilaku praktis mereka.
  Kategori pertama terdiri dari golongan Islamis moderat-reformis yang menegakkan Islam sebagai sumber dinamika transformasi politik dan sosial, dan ideologi penuh makna sebagai oposisi bagi rezim otoriter dalam negeri. Tetapi, mereka menolak segala bentuk kekerasan sebagai cara untuk mencapai tujuan tersebut. Pengecualian terjadi jika agama, kehidupan dan kebebasan mereka baik di tingkat individu atau masyarakat secara serius terancam atau tanah air mereka dijajah. Meskipun ada banyak tipe yang berbeda dalam kategori ini, secara keseluruhan golongan moderat menganut apa yang disebut dengan ‘liberalisme Islam’ dan ‘pluralisme politik Islam’, serta mematuhi prinsip Islam sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an dan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Mereka umumnya bergerak dalam organisasi yang bersifatnya netral, kelompok-kelompok kecil informal atau personal. Beberapa kelompok dan individu terkemuka dari golongan ini adalah reformis Islam Iran yang dipimpin oleh Presiden Mohammed Khatami; organisasi Nahdatul Ulama (Kebangkitan Ulama)Indonesia di mana sebagian masuk ke dalam sebuah partai politik baru (Partai Kebangkitan Bangsa) yang sebelumnya dipimpin oleh almarhum Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid; dan Refah Partisi (Partai Kesejahteraan) di Turki yang dipimpin oleh Necmettin Erbakan pada 1990-an (telah bubar), dan partai penggantinya yang saat ini tengah berkuasa, Partai Keadilan dan Pembangunan (AK) yang dipimpin oleh Perdana Menteri Recept Tayyip Erdogan sejak tahun 2002.
  Banyak intelektual Muslim dan Muslim terdidik termasuk dalam kategori ini. Mereka menolak peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat dan tidak dapat menerima berbagai bentuk tindakan terorisme yang dilakukan atas nama Islam. Mereka juga kecewa mengetahui bahwa Osama bin Laden dan Al-Qaeda bertanggung jawab atas semua hal tersebut. Golongan dari kategori ini memisahkan Islam dari ekstremisme. Mereka merasa terkejut oleh kaum ekstremis yang bertindak atas nama Islam untuk mengambil nyawa tak berdosa baik di dalam maupun luar negeri. Bagi golongan kategori ini, kaum ekstremis telah membuat dan menempatkan semua Muslim di seluruh dunia dalam posisi dan tuduhan yang sulit. Mereka menolak pemaksaan kaum ekstremis pada umat Islam yang berada di bawah kontrol mereka seperti di Afghanistan, Pakistan atau di tempat lain. Mereka menganggap peristiwa 9/11 dan tindakan-tindakan teror susulan yang dilakukan oleh ekstremis Muslim justru memberikan sebuah insentif dan dalih berbahaya yang memungkinkan AS dan sekutunya, dan dalam hal ini beberapa kekuatan lain, untuk menjadikan hal tersebut sebagai landasan moral yang kuat dalam rangka memperluas dan memperdalam inferensi Barat dan non-Barat atas dunia Muslim yang pada akhirnya akan lebih memarginalisasikan peran politik Islam dari sebelumnya. Golongan ini berpendapat bahwa tidak peduli apa pun tujuan kaum ekstremis, seperti Bin Laden dan pengikutnya serta pemimpin sekuler Saddam Husein dengan invasi konyolnya ke Kuwait pada tahun 1990, telah memukul mundur perjuangan umat Muslim untuk mencapai reformasi domestik, kemerdekaan dari campur tangan asing dan bersuara lantang di kancah internasional. Mereka menekankan nilai-nilai perdamaian, perubahan evolusioner dan berusaha untuk berpartisipasi dan bekerja sama dalam struktur nasional maupun internasional yang ada untuk membawa reformasi struktural. Mereka terbuka pada modernisasi, percaya pada keniscayaan kemajuan, terlibat dalam dialog antaragama, dan tidak memiliki keengganan untuk memanfaatkan pengetahuan dan pencapaian Barat demi kepentingan masyarakat mereka dalam dunia global.
  Namun secara bersamaan, sangat dapat dipahami jika banyak dari golongan reformis ini kritis terhadap AS dan beberapa sekutunya untuk tidak membuat upaya-upaya pengembangan pemahaman yang lebih jauh tentang keyakinan, norma, nilai-nilai dan praktik dari kaum Muslim yang AS klaim memiliki tujuan untuk menjembatani pemahaman demi tercapainya kepentingan bersama daripada keuntungan salah satu pihak atau hubungan eksploitatif. Di sini, kaum reformis membalikkan kritik yang paling keras untuk tindakan kebijakan AS baik yang mengabaikan nasib rakyat Palestina atau selalu menyoroti perilaku beberapa kelompok ekstremis Islam untuk menodai citra umat Islam pada umumnya. Sikap para reformis terhadap AS dan sekutu Baratnya bukanlah cinta atau benci. Di satu sisi, reformis menikmati keuntungan yang diberikan oleh pendidikan, teknologi dan pasaran Barat, serta memelihara akses ke negara-negara Barat baik sebagai imigran ataupun pengunjung. Di sisi lain, mereka juga menyatakan keprihatinan yang mendalam tentang perilaku kebijakan Barat terhadap dunia Islam dan klaim arogan superioritas Barat atas wilayah Muslim. Dalam istilah Islam, kelompok Islam moderat seperti inilah yang digambarkan sebagai ijtihadi.
  Kategori kedua menggambarkan apa yang dapat disebut sebagai Islam radikal. Tetapi, kategori ini pun juga terdiri dari mereka yang memiliki disposisi ideologis dan modus operandi yang beragam. Golongan Islam radikal memiliki beberapa fitur yang sama dengan golongan reformis moderat, terutama dalam hal kepatuhan mereka kepada dasar-dasar Islam. Namun, mereka berbeda dari golongan moderat dalam hal disposisi dan preferensi puritan yang mereka anggap sebagai operasi politik dan sosial ortodoks atau tradisional. Mereka juga berbeda dari reformis karena memiliki keinginan untuk menegakkan Syariah (Hukum Islam) sebagai dasar operasi negara— sebuah program yang secara ironis modern dalam konsepsi dan implementasinya. Mereka memandang pemaksaan politik dan sosial dan penggunaan kekerasan dalam situasi tertentu sebagai cara yang sah untuk melindungi dan menegaskan interpretasi mereka tentang agama dan identitas agama-budaya, serta untuk menciptakan jenis pemerintahan yang mereka anggap “Islamis”. Mereka tidak melawan modernisasi, tetapi ingin memastikan bahwa modernitas dan semua manifestasinya diadopsi sesuai dengan pemahaman mereka tentang nilai-nilai dan praktik Islam.
  Mereka cenderung untuk bertindak radikal dalam membalas ketidakadilan sejarah dan kontemporer yang menimpa umat Islam oleh orang luar. Tetapi, mereka tidak selalu memperpanjang permasalahan ini untuk menutupi ketidakadilan serupa yang dilakukan oleh umat Islam terhadap umat Islam sendiri atau bahkan oleh Muslim terhadap non-Muslim. Mereka menentang legitimasi kekuasaan luar yang bukan Muslim atau (dalam pandangan mereka) yang tidak benar-benar Islamis. Mereka bahkan mengkritik pemerintah mereka sendiri karena tidak berada di bawah pengaruh dan kontrol Islam atau karena pemerintah gagal dalam merespons permasalahan kebijakan domestik dan asing yang terjadi di wilayah Muslim secara efektif. Mereka menganggap Barat, Amerika Serikat khususnya, bertanggung jawab atas nasib politik, sosial, dan ekonomi dan penurunan budaya yang terjadi di komunitas global Muslim, serta kerusakan dari kolonisasi Eropa dan pengaruh hegemonik Amerika pasca-1945 pada umat Islam dan wilayah Islam. Secara bersamaan, mereka juga sering bersikeras bahwa penyebab sebenarnya dari subordinasi Islam ke Barat terletak pada tindakan kaum Muslim yang meninggalkan hukum dan moralitas Islam. Oleh karena itu, hegemoni global Barat perlu digulingkan sehingga Islam yang sesungguhnya akan terpulihkan. Alih-alih memiliki kekuasaan dalam pengaturan otoriter nasional, hal tersebut justru membuat kaum radikal lebih sering berfungsi sebagai golongan oposisi.
  Banyak kelompok Muslim yang termasuk dalam golongan ini. Mereka beragam mulai dari sejumlah pengikut konservatif (dikenal sebagai kelompok garis keras) pemimpin revolusi Iran tahun 1978- 79, Ayatollah Rohullah Khomeini, di mana kelompok ini mencapai kekuatan yang lebih besar di Iran dibandingkan jika mereka beroperasi hanya dengan berdasar popularitas nama mereka sendiri; sampai pada elemen kelompok Ikhwan al-Muslimin (Persaudaraan Muslim) di Mesir, terutama di bawah kepemimpinan karismatik Sayyid Qutb yang tewas di penjara pada tahun 1966; dan Front Islamis Nasional Sudan yang dipimpin oleh Hassan Abdullah al-Turabi. Kendati tindakan apokaliptik dan kegiatan ekstremis yang mereka lakukan, banyak pemimpin Al Qaeda serta pengikutnya dan (pada batasan tertentu)elemen Hamas di Palestina dan Hezbullah di Lebanon yang tidak begitu radikal (keduanya lebih kurang merupakan produk langsung dari pendudukan Israel) termasuk dalam kategori ini. Banyak dari anggota mereka yang menganggap bahwa tindakan keras Muslim terhadap AS dan sekutunya merupakan respons yang sah atas perilaku AS. Kelompok-kelompok ini melihat AS sebagai musuh paling berbahaya, tidak hanya karena AS memberikan dukungan penuh kepada Israel sebagai penjajah tanah Palestina khususnya Yerusalem Timur, tetapi juga untuk menopang rezim korup dan diktator di banyak negara Muslim. Mereka bersikeras bahwa taktik yang dimiliki AS adalah dimaksudkan untuk membuat dunia Muslim tetap terbelakang dan untuk memastikan hegemoni AS dalam politik dunia.
  Kelompok Islam radikal menganggap bahwa banyak krisis interna- sional paska peristiwa 9/11, terutama di dunia Muslim, merupakan strategi yang disengaja oleh para realis konservatif era Perang Dingin, neo-konservatif, dan Kristen born-again (pemeluk baru Kristen) yang memiliki dominasi terutama pada kepemimpinan Presiden Bush Senior, serta oleh mereka yang berkeinginan untuk menggantikan Uni Soviet dengan Islam sebagai musuh baru. Pandangan dari Islam radikal sering ditandai dengan permusuhan terhadap orang-orang Yahudi Zionis, yang secara paradoks bersekutu dengan para neokonservatif di bawah payung kepemimpinan Presiden Bush Junior. Beberapa di antara mereka menganggap Amerika Serikat dan peradabannya merendahkan dan bertentangan dengan Islam dan cara hidup Islam. Dalam istilah Islam, kelompok radikal ini dianggap lebih jihadis (bersifat militan dan tegas) dari kelompok ijtihadi dalam pendekatan mereka terhadap rekonstruksi sosial dan kebijakan luar negeri.
  Kategori ketiga terdiri dari apa yang disebut dengan Islamis neo- fundamentalis, yang didefinisikan sebagai mereka yang mematuhi penafsiran Islam secara literal dan ketatyang mereka peroleh dari sebuah sekolah dengan sumber pemikiran dari ulama Islam tertentu. Yang paling penting bagi golongan ini adalah teks, bukan konteks. Tanpa mengabaikan keberagamannya, golongan ini secara keseluruhan cenderung jauh lebih puritan, sektarian, merasa paling benar, tidak bisa kompromi, diskriminatif, xenofobia (tidak suka terhadap orang asing atau yang dianggap asing) dan suka memaksa dalam pendekatan yang mereka gunakan dibandingkan dengan Islam radikal. Pemerintahan yang mereka inginkan adalah yang bersifat mono-organisasi dipimpin oleh pemimpin atau kelompok tunggal dengan kekuasaan absolut dan tertutup dari berbagai bentuk pluralisme baik yang berasal dari dalam negeri atau yang terinspirasi oleh asing. Golongan ini menerapkan kekerasan tidak hanya sebagai cara untuk membawa perubahan tetapi juga untuk memerintah. Dalam hal ini, mereka tidak jauh berbeda dari sejumlah kelompok totaliter Marxis-Leninis dari sejarah modern. Dikarenakan mereka pada umumnya berpendidikan rendah dan memiliki sosialisasi yang tinggi hanya dalam lingkungan agama tertentu, pemahaman mereka tentang agama pada umumnya dangkal. Golongan ini sering digambarkan sebagai ekstremis atau tradisionalis ultra- ortodoks. Namun, istilah tradisionalis ultra-ortodoks menjadi istilah yang sangat menyesatkan mengingat jarak besar yang memisahkan ideologi neofundamentalis dari pemikiran Islam klasik.
  Milisi Taliban serta persaudaraan Muslim dan kelompok-kelompok Deobandi Pakistan seperti Jamiat Ulema Islam (Perhimpunan Ulama) dan Lashkar Taiba merupakan contoh terkemuka dari kategori ini. Mengingat adanya pandangan yang tidak jauh berbeda antara neo- fundamentalis dan Islam radikal, di antara keduanya sering terdapat hubungan organik dan organisasi di mana golongan Islam radikal menjadikan golongan neo-fundamentalis sebagai sumber daya manusia mereka untuk kegiatan sosialisasi dan tujuan perlindungan termasuk operasi bersenjata atau teroris. Hubungan tersebut tepatnya meng- gambarkan hubungan antara Al Qaeda dan Taliban di mana Al Qaeda menyediakan dana dan pejuang partisan Arab, sebagai gantinya Taliban melindungi dan membantu Al Qaeda sebagai sebuah kekuatan transnasional. Kolaborasi ini merupakan kolaborasi organik langka antara dua kekuatan yang berada di bawah pimpinan Arab dan non- Arab. Aspek dari keduanya yang saling berkaitan memperkuat satu sama lain dan membantu masing-masing golongan untuk mewujudkan tujuannya.
  Kategori keempat berasal dari jaringan akar rumput di pedesaan dengan pengetahuan tentang Islam yang pada umumnya masih dasar dan diperoleh dari tingkat madrasah. Mereka pada dasarnya mengikuti Islam sebagai sebuah keyakinan, tetapi dapat bersifat apolitis atau politik terutama tergantung pada iya tidaknya mereka merasa iman dan cara hidup mereka terancam oleh kekuatan musuh. Kebanyakan dari mereka adalah prajurit potensial Islam karena golongan ini rentan terhadap manipulasi yang dilakukan oleh golongan Islam radikal dan neo-fundamentalis. Kerentanan ini berakar dari fakta bahwa komunitas ini memiliki sedikit paparan pada berita dan informasi dengan analisis yang mendalam di luar konteks dan daerah lokal mereka. Akibatnya, mereka tidak cukup dilengkapi untuk mengembangkan pendapat yang independen dan beralasan tentang isu-isu politik besar dan peristiwa yang mempengaruhi mereka. Mereka umumnya hanya mengandalkan informasi selektif yang diberikan oleh golongan Islam radikal yang memiliki eksposur lebih untuk informasi namun cenderung bias ke arah politik. Kelompok ini merupakan sebagian besar dari umat Islam biasa yang jika dibiarkan saja juga bisa tetap sibuk dengan kehidupan mereka sehari-hari, terutama di negara-negara miskin. Namun, mereka dapat dengan mudah diprovokasi dan dimobilisasi oleh golongan Islam radikal dan neo-fundamentalis contohnya mereka yang tinggal di pinggiran kota miskin atau pedesaan di Mesir dan Pakistan. Hal ini khususnya adalah contoh kasus di mana kondisi dan gaya hidup lokal dapat dilihat secara langsung atau tidak langsung telah dipengaruhi oleh kebijakan Barat atau kekuatan non-Barat melalui intervensi militer, pengaruh politik, sanksi maupun melalui ekspansi budaya dan kekuatan ekonomi. Kondisi di mana nasib kaum Muslim di tangan “orang asing” ampuh membangkitkan kelompok yang sebelumnya apolitis untuk kemudian bertindak politik.
  Taliban merekrut banyak prajurit mereka dari golongan orang- orang seperti ini, yaitu golongan orang yang terpaksa mengungsi, yatim piatu, dan miskin sebagai akibat langsung dari intervensi Soviet di Afghanistan. Pandangan kelompok ini tentang peristiwa 9/11 dan akibatnya telah terbentuk oleh apa yang ulama lokal serta golongan radikal dan neo-fundamentalis informasikan kepada mereka, di mana para pemberi informasi tersebut tidak hanya memiliki informasi, tetapi juga motivasi untuk membentuk pola pikir golongan keempat ini. Namun demikian, pandangan dari golongan ini beragam dari yang sangat membenci AS sampai pada yang bersikap tidak peduli.
  Sikap yang beragam terhadap Islam dan Muslim oleh Barat, dan antarumat Islam terhadap Barat khususnya Amerika Serikat, telah menyebabkan banyak kebingungan dan kesalahpahaman antara kedua belah pihak. Ketika hubungan antara keduanya semakin meruncing oleh peristiwa tragis 9/11, sikap antara dua pihak ini pada dasarnya telah dibentuk oleh sejumlah isu historis dan kontemporer yang memainkan perang penting dalam pembentukan hubungan tersebut. Tanpa pemahaman yang jelas tentang masalah ini (mulai dari warisan kekuasaan kolonial Eropa di wilayah Muslim sampai pada intervensi hegemonik AS di negara dan masyarakat nonliberal Muslim), per- tanyaan penting tentang bagaimana ekstremisme Muslim muncul, terutama sejak tahun 1970, akan dilewatkan dalam perdebatan dan pertanyaan sulit tentang bagaimana meningkatkan hubungan obyektif dan konstruktif antara Barat dan Islam akan tetap tak terpecahkan.
  Apa yang disebut dengan ‘War on Terror’ (Perang Melawan Terorisme), diprakarsai oleh Bush tetapi diredupkan oleh Obama, pada praktiknya tidak membantu atau memberikan kontribusi signifikan apa pun untuk memperbaiki situasi ini. Jika ada, hal tersebut justru mem- perkuat posisi kelompok Islam radikal dan neofundamentalis militan yang pada kenyataannya hanya terbentuk dari sebagian kecil dari jumlah total Muslim di dunia, dan citra buruk golongan kecil ini meneng- gelamkan suara faksi moderat atau ijtihadi. Sudah saatnya bagi Barat dan negara-negara besar lainnya untuk berhenti memberikan penilaian pada mayoritas Muslim untuk tindakan-tindakan yang dilakukan oleh sebagian kecil kelompok ekstremis tersebut, dan mulai terlibat dalam tindakan kebijakan yang dapat membantu memberdayakan kaum Islam ijtihadi yang sikap keagamaannya mewakili posisi sebagian besar orang Muslim, yaitu untuk memainkan peran yang lebih besar dalam mereformasi masyarakat mereka dan mempromosikan hubungan yang lebih baik dengan Barat. Sebagai gantinya, golongan ijtihadi berkewajiban untuk melakukan upaya tegas dalam menghadapi rekan- rekan jihadis melalui dialog dan pemahaman yang lebih baik, seperti apa yang telah dilakukan oleh almarhum mantan Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid dari pihak Sunni dan mantan Presiden Iran Mohammad Khatami dari pihak Syiah. Kedua ulama dan tokoh politik tersebut berpendapat bahwa Islam kompatibel dengan demokrasi dan Deklarasi Internasional Hak Asasi Manusia, dengan pengecualian hukuman mati.






AGAMA DAN KEKERASAN




Makalah disampaikan oleh



Dr. Ghomali Khoshroo

Penasihat Khusus Mantan Presiden Khatami, Iran

 

DI dunia yang saling bergantung dan saling berhubungan, di mana ancaman global tersebar luas, keamanan telah berubah menjadi perhatian paling penting bagi setiap individu. Di dunia ini tidak ada negara atau benua yang terbebas dari bahaya kekerasan, terorisme, dan gangguan keamanan. Peperangan, aliansi politik dan agresi militer tidak mampu membawa perdamaian dan kemakmuran di atas bumi. Kita justru membuat dunia semakin tidak aman dengan pengeluaran yang begitu banyak dalam mempersenjatai aparat keamanan. Sejarah manusia telah menjadi saksi begitu banyak peperangan yang diakibatkan oleh rasa takut dan ancaman.
  Oleh karena itu, kita harus mengadopsi perspektif baru. Konstitusi UNESCO menetapkan, “Perang dimulai di dalam pikiran manusia, di dalam pikiran manusia pula lah pertahanan perdamaian harus dibangun”. Hanya dengan mengandalkan pengaturan politik dan ekonomi pemerintah tidak cukup untuk membawa pada perdamaian abadi, “perdamaian, oleh karena itu, harus dibangun atas dasar solidaritas intelektual dan moral umat manusia”.
  Tren global saat ini membawa peluang yang mencakup tidak hanya peluang positif seperti pertumbuhan ilmu pengetahuan, akses teknologi informasi, akses ke pasar dunia yang mendorong pertumbuhan ekonomi,tetapi juga peluang negatif seperti perusakan identitas budaya, pengabaian pembangunan berkelanjutan, pelebaran kesenjangan antara miskin dan kaya, dan penciptaan massal alat kekerasan. Penciptaan alat tersebut mulai dari proliferasi senjata pemusnah massal sampai pada penciptaan jaringan teror dan pengawasan sistematis serta intimidasi rahasia terhadap manusia. Struktur politik global gagal mengatasi tantangan ekstremisme dan kekerasan, serta peperangan dan unilateralisme hegemonik.
  Kekerasan di era globalisasi merupakan fenomena multifaset dan memiliki konotasi dan aplikasi yang berbeda. Kita dapat mengidentifikasi tiga aspek dan aplikasi kekerasan yang saling terkait di zaman modern ini. 

 

  1. Kekerasan fisik mengacu pada pengerahan kekuatan fisik untuk melukai atau menyiksa. Dalam hal ini memaksakan bahaya dan tekanan terhadap orang lain secara pribadi atau publik. Di tingkat nasional maupun global di mana kekerasan terjadi, tantangan keamanan serta konflik politik dan sosial diselesaikan dengan penggunaan kekuatan. 

  2. Kekerasan struktural muncul dari ketimpangan sosial-ekonomi pada skala global. Hal ini mengacu pada pembebanan dan kerugian kelembagaan yang tidak diprediksi maupun dicegah. Keke- rasan struktural meliputi kemiskinan yang telah menyebabkan penderitaan dengan peningkatan ketidaksetaraan dan marginalisasi sistematik masyarakat secara dramatis, baik di tingkat global dan nasional. 

  3. Kekerasan sebagai lawan kebebasan, dalam pengertian ini kekerasan terjadi karena mencegah individu untuk dapat menciptakan kekuatan dengan cara bersaing dan membentuk kelompok baru. Tirani Hanna Arendt adalah contoh bentuk pemerintahan yang paling lemah sekaligus paling kejam. Tirani memaksa individu dan mengurangi kemampuan mereka untuk membentuk kekuatan. 


  Untuk masing-masing konsepsi yang disebutkan di atas, kita harus mencari alternatif dan perbaikan yang mendukung perdamaian. Dalam pandangan saya, dialog, keadilan, dan kebebasan adalah tiga alternatif untuk membebaskan dunia dari kekerasan. 



1. Dialog
  Keamanan dan perdamaian tidak bisa diraih tanpa adanya keterlibatan yang berarti dalam dialog, dan dialog tidak akan berhasil tanpa komitmen yang kuat pada standar moral dan spiritual. Tanpa komitmen, dialog hanya akan mengarah pada kepentingan egois dan picik. Hari ini, tren dan proses politik dan budaya di Timur Tengah dan dunia jelas menunjukkan bahwa dialog antarbudaya dan agama bukan hanya sebagai suatu rekomendasi moral, tetapi suatu keharusan.
  “Dialog” itu serupa dengan penggunaan kebijaksanaan dan pan- dangan jauh ke depan untuk memahami makna, menemukan realitas melalui bahasa, logika dan empati. Selama “dialog”, menemukan alasan umum dan saling berbagi gagasan memiliki tingkat signifikansi yang sama sebagai bentuk perhatian dari perbedaan yang ada. Dalam dunia yang jamak seperti sekarang ini, melalui penerimaan identitas budaya yang beragamlah keberadaan budaya lain dapat diakui. Identitas kita tumbuh dari rasa kepemilikan kita terhadap agama dan budaya kita; identitas ini harus terbuka terhadap pemahaman budaya dan agama yang lainnya untuk memperkaya kehidupan manusia. Kehidupan manusia merupakan perpaduan dari perbedaan dan variasi. Tidak ada yang mampu menjalani hidup sehat dan sukses di dunia ini sendirian. Kebahagiaan semua orang, pada kenyataannya, tergantung pada kebahagiaan orang lain.

2. Keadilan
  Keadilan secara universal adalah sebuah kebutuhan bersama dan aspirasi yang digaungkan di seluruh dunia. Pencarian keadilan adalah inti dari kesadaran global kolektif kita. Keberatan terhadap ketimpangan sosial-ekonomi, meningkatnya ketidakmampuan berbagai sistem politik termasuk ketidakmampuan demokrasi Barat dalam menanggapi frustrasi global secara memadai telah menggarisbawahi urgensi universal dalam menanggapi ketidakpuasan global secara kolektif. Tanggapan kolektif ini membutuhkan kebijaksanaan kolektif, dengan demikian dibutuhkan kontribusi dari berbagai tradisi, budaya, dan modalitas politik untuk sampai pada definisi umum dan persyaratan keadilan tanpa membatasi keragaman kondisi dan wilayah perbaikan tersebut berasal. Tidak ada monopoli dan tidak ada satu rumusan universal yang bisa berlaku dan cocok untuk semua.
  Selain kesejahteraan ekonomi, manusia perlu budaya, spiritualitas dan etika. Ekonomi tanpa batas etika akan menyebabkan rusaknya lingkungan yang sehat dan harmonis bagi manusia. Alih-alih mening- katkan kepuasan, hal tersebut justru mengantarkan manusia pada kerakusan konsumerisme dan perusakan sumber daya antargenerasi.

3. Agama dan Demokrasi
  Di era globalisasi, solidaritas dan sentimen agama mengisi ruang yang disebabkan oleh pudarnya ikatan tradisional dan menurunnya fungsi lembaga-lembaga sosial yang dapat memelihara solidaritas sosial. Agama memerankan fungsi yang sangat nyata dan menonjol dalam hal menciptakan makna dan masyarakat. Agama memiliki dua aspek penting: mempercayai dan memiliki. Percaya kepada Allah, Yang Maha Penyayang, membantu menyatukan manusia menjadi lebih dekat satu sama lain.
  Dalam beberapa dekade terakhir, kebangkitan Islam, sebagai salah satu faktor politik yang sangat berpengaruh, memainkan peran yang lebih besar dalam kaitannya dengan hubungan antara Islam dan Barat.Gerakan luas berbasis sosial sebagai tren global dirasa menjadi sangat sensitif bagi perkembangan sosial-politik dunia. Untuk mencapai dialog yang konstruktif antara Islam dan Barat, tidak dianjurkan untuk mengharapkan umat Islam menjadi sekuler agar menjadi rekan yang baik dalam dialog karena pendekatan seperti ini bersifat kontra- produktif dan hanya akan memperlebar kesenjangan dan memperdalam ketidakpercayaan. Oleh karena itu, cara yang lebih praktis dan tepat adalah untuk mempromosikan prinsip-prinsip demokrasi yang bermartabat, dan menghormati tren moderat di dunia Islam.
  Pada saat yang sama, dengan kekecewaan besar, kita menyaksikan bahwa kelompok fanatik dan Takfiri di dunia Islam mengklaim akses eksklusif untuk kebenaran dan mempraktikkan pemahaman mereka yang sempit dan dangkal dari ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka menganggap kelompok lain baik Muslim atau non-Muslim sebagai golongan kafir; sembari menjanjikan surga, mereka mengubah kehidupan manusia seperti neraka. Konflik dan perselisihan terhadap pengikut agama tertentu atau kekerasan sektarian, dan pembunuhan dalam agama adalah konsekuensi mengerikan dari mentalitas seperti ini.
  Dalam ajaran Imam Ali (Iman pertama Syiah), semua orang dapat diidentifikasi dalam dua kelompok, baik saudara kita dalam agama atau seperti kita dalam penciptaan. Pembacaan teks Kitab Suci harus dengan kasih sayang dan kemurahan Allah dengan cara yang baik dan benar diiringi dengan pemahaman konteks dan ilmu pengetahuan. Nabi- nabi ilahi serta para filsuf besar dan pencetus nilai-nilai moral telah berusaha sepanjang sejarah manusia untuk memberantas keegoisan, agresi dan tirani. Terlepas segala upaya mereka, rasa haus manusia untuk kekuasaan dan kenikmatan jangka pendek telah menyebabkan kehancuran dan peperangan dalam sejarah manusia.
  Kita harus melampaui dikotomi fundamentalisme-sekularisme dan mempromosikan demokrasi agamis di dunia Islam. Kebijakan yang berdasarkan penahanan revivalisme Islam dan pendekatan untuk menggunakan kelompok-kelompok radikal untuk mencapai tujuan politik hanya akan mengobarkan kekerasan dan ekstremisme.Tren ini membahayakan keamanan dan stabilitas serta melemahkan dasar moral masyarakat. Nabi-nabi ilahi serta para filsuf besar dan pencetus nilai-nilai moral telah berusaha sepanjang sejarah manusia untuk memberantas keegoisan, agresi dan tirani. Terlepas segala upaya mereka, rasa haus manusia untuk kekuasaan dan kenikmatan jangka pendek telah menyebabkan kehancuran dan peperangan dalam sejarah manusia.



4. Dunia Melawan Kekerasan dan Ekstremisme
  Mengingat tren berbahaya ini, Majelis Umum PBB mengadopsi konsensus resolusi berdasarkan proposal yang ditawarkan oleh Presiden Iran, Rouhani, yang menyerukan Dunia Melawan Kekerasan dan Ekstremisme (WAVE). Resolusi ini mengutuk semua tindakan yang berasal dari budaya tirani, kediktatoran dan ekstremisme seperti penggunaan atau ancaman kekerasan terhadap integritas teritorial dan kemerdekaan politik suatu negara; dan lebih jauh mengutuk setiap agitasi terhadap kebencian suatu etnis, ras dan agama.

  Kesimpulannya, jalan menuju dunia yang bebas dari kekerasan adalah melalui dialog, etika, keadilan, pembangunan dan kebebasan. Setiap negara harus menikmati kesempatan yang sama dalam pem- bangunan ekonomi dan sosial. Diperlukan sebuah masyarakat internasional yang damai di mana setiap individu dapat memperoleh manfaat dari kebebasan ekonomi dan hak untuk menentukan nasib politik mereka. Sungguh, bentuk apa pun dari sanksi ekonomi atau ancaman militer tidak akan menciptakan perdamaian dan keamanan, justru hanya akan menciptakan krisis kemanusiaan dan memperburuk konflik dan perbedaan yang ada.
  Oleh karena itu, untuk menghilangkan kecurigaan dan ketidakper- cayaan serta mempromosikan rasa saling menghormati dan dialog konstruktif dalam basis yang setara, diperlukan penciptaan perdamaian dan ketenangan. Pemikir spiritualis dan para tokoh agama memiliki kewajiban suci untuk mengajak manusia untuk berdialog dan saling membantu, demi persahabatan dan perdamaian, serta keadilan dan kebebasan.

Diskusi
Dr. Habash: Saya ingin menambahkan referensi Dr. Abdul Mu’ti, ber- kenaan dengan penyebutan Jihad dalam Al-Qur’an. Kami menemukan 17 tingkatan tentang bagaimana memperlakukan orang lain. Ini sama seperti yang disebutkan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan kearifan lainnya. Dalam Al-Qur’an, Anda memiliki “Engkau harus memaafkan orang-orang kafir, engkau harus mencintai mereka”, seperti dalam Perjanjian Baru ketika Yesus berkata untuk mengasihi musuh Anda. Tingkat kedua adalah “Ampunilah mereka, berbuat baiklah kepada mereka, jangan menyerang orang-orang kafir. Kau memiliki agamamu dan aku memiliki agamaku”. Setelah itu Anda memiliki “Jika seseorang menyerangmu, kau dapat menyerangnya”. Setelah itu Anda memiliki izin untuk membela diri dengan melawan musuh Anda. Setelah itu Anda harus menyerang orang-orang kafir jika mereka menyerang Anda. Setelah itu Anda memiliki “Kita harus melawan orang-orang kafir sepenuhnya”. Apakah maksud dari perbedaan ini, dari level pertama sampai ke tingkat terakhir?
  Kita dapat menemukan di sebagian besar teks-teks suci terdapat ayat-ayat tentang perang, ayat-ayat yang mendesak umat beriman untuk melawan para penyerang. Banyak dalam Perjanjian Lama, Tuhan meminta Musa untuk menyerang dan membakar kota ini dan itu. Bahkan dalam Perjanjian Baru disebutkan, “Aku tidak datang untuk perdamaian, aku datang dengan pedang”. Kita harus memahami apa yang menjadi target utama dari ayat ini. Kami memiliki dua cara untuk menjelaskan ayat ini. Interpretasi perang salib, ketika mereka memutuskan untuk menyerang semua dunia Islam, karena mentalitas Jihad dan interpretasi lainnya. Tapi, izinkan saya berkata jujur. Semua pemimpin Islam meyakini bahwa ayat-ayat tentang Jihad tersebut akan hanya diaplikasikan selama perang dan hanya ketika Anda menemukan diri Anda dalam bahaya. Jika Anda mendapati banyak orang di sekitar Anda yang ingin membunuh Anda, Anda memiliki hak untuk membela diri.


Perdana Menteri van Agt: Anda membuat perbedaan yang tajam antara rezim, cara hidup, dan cara bagaimana berperilaku di masa damai sebagai kebalikan masa dalam peperangan. Pertanyaan: bahkan di masa perang, kita mempunyai suatu perangkat yang disebut Konvensi Palang Merah, perjanjian yang sering disebut sebagai Hukum Humaniter Internasional. Sederhananya, undang-undang ini mengatur tentang bagaimana berperang, bagaimana harus bersikap di masa perang, dan bagaimana harus bersikap jika Anda menduduki negara lain. Tidak semuanya diperbolehkan selama perang, bahkan ketika musuh anda melanggar, anda tetap harus mematuhi peraturan.

Dr. Habash: Saya menentang semua peperangan. Saya bahkan tidak percaya pada perang yang adil. Semua perang adalah bentuk ketidakadilan. Hukum perang dan metode perang dalam Islam sama dengan metode perang yang tercantum dalam hukum internasional. Pemenggalan, menggorok tenggorokan dan membakar desa-desa tidak diajarkan oleh agama apa pun. Setiap tindakan seperti itu dianggap ilegal menurut semua hukum Islam. Ketika Muhammad mengirim tentara ke Madinah, ia berkata, “Jangan membunuh wanita, anak-anak, dan pendeta. Kau hanya memiliki hak untuk menyerang prajurit yang menyerangmu”.

Dr. Al Salem: Semua orang tahu bahwa Kristen dan Islam pernah terlibat dalam perang suci, dan orang-orang Kristen melakukan pepe- rangan berdarah yang jauh lebih banyak dibandingkan Muslim dalam sejarah. Namun sejak orang-orang Kristen memisahkan gereja dari pemerintahan, mereka mulai berubah dan menggunakan agama sebagai sebuah cara berperang atau untuk melawan dengan nama Yesus. Kami umat Islam memiliki urutan yang sangat jelas dalam Al-Qur’an untuk melawan semua non-Muslim. Yaitu pada tingkatan terakhir dari 17 tingkatan yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Islam memiliki tiga fase: di Madinah, tidak ada pertempuran; di Mekah berjuang untuk membela diri;tetapi setelah itu ia memerintahkan untuk bertarung dengan siapa pun yang menyerang. Jadi, hal ini sangat jelas bagi setiap Muslim bahwa urutan terakhir menghapus semua perintah sebelumnya. Kita harus bicara jujur, jika kita ingin memecahkan masalah, hal ini tidak cukup untuk menutupi masalah kita yang semua orang sudah mengetahuinya.

Prof. Saikal: Saya sepenuhnya setuju dengan Dr. Al Salem. Islam, seperti teologi mana pun, terbuka untuk berbagai interpretasi, tergantung pada perspektif seperti apa Anda diajarkan. Jangan melupakan fakta bahwa Al-Qur’an membahas mentalitas orang-orang di abad ke-7. Kondisi telah berubah. Teks itu penting, tapi kita harus melihat teks dan menerapkannya dalam konteks waktu dan kondisi yang berubah. Itulah bagaimana Islam masih bertahan sampai saat ini sebagai agama yang sangat dinamis. Pendekatan yang mengadopsi interpretasi dan penerapan Islam secara sangat sempit dan dangkal telah menjadi salah satu sumber utama dari terjadinya ketegangan dan konflik, tidak hanya antara dunia Muslim dan Barat dan sisanya, tetapi juga antara umat Islam sendiri. Itu adalah sesuatu yang benar-benar harus kita hindari dan hilangkan.

Presiden Obasanjo: Beberapa dari kita tidak bisa hanya menjadi penonton, karena kita juga mendapatkan imbasnya. Saya berasal dari sebuah negara yang hampir separuh penduduknya Kristen dan separuh Muslim. Penting sekali bagi kita untuk menyelesaikan permasalahan ini karena hal tersebut mempengaruhi negara saya dan negara-negara lain, di mana terdapat orang Kristen dalam jumlah besar di masyarakat yang mayoritasnya Muslim, dan sebaliknya.Ini benar-benar penting bagi kedua belah pihak untuk bisa datang dan saling berdialog. Anda mengatakan bahwa apa yang dikatakan Al-Qur’an adalah “Kau harus melawan orang-orang kafir”, saya, sebagai seorang Kristen, adalah seorang kafir dalam pandangan Muslim. Dan saya katakan kemarin bahwa ada dua saudara kandung. Satunya adalah seorang Kristen, dan satunya lagi adalah seorang Muslim. Pemahaman yang saya peroleh dari penjelasan saudara Muslim adalah bahwa saudara didasarkan pada agama, bukan pada darah. Dan bahwa saudara Muslim saya dapat mengobarkan Jihad atas diri saya. Jadi, ini harus diselesaikan, karena akan terus menjadi masalah, terutama di banyak negara Afrika.


Dr. Mettanando: Saya ingin mengajukan pertanyaan kepada Dr. Mu‘ti dan Profesor Saikal untuk mempertimbangkan hubungan antara minoritas dan mayoritas. Saya ingin mengarahkan pada ihwal di Tibet ketika biksu dan biksuni berjuang untuk memperoleh keadilan dari Cina, mereka memilih cara membakar diri. Mereka membahayakan diri mereka sendiri. Ini adalah ketika umat Buddha minoritas berperang melawan kekuatan mayoritas yang tak terbendung, yaitu kekuatan Cina. Namun di sisi lain, ketika umat Buddha menjadi mayoritas di Burma, mereka mengutuk dan menjadi agresif dan bahkan membunuh Muslim. Mengapa? Apakah agama yang berbeda memiliki nilai-nilai yang berbeda? 



Dr. Koshroo: Di era globalisasi ini, agama telah kembali ke masyarakat untuk memberikan solidaritas sosial. Agama berfungsi untuk men- ciptakan makna bagi masyarakat. Dari dua konsep mempercayai dan memiliki,“percaya” kepada Tuhan akan menyatukan manusia, sedangkan konsep “memiliki” Tuhan dapat menimbulkan masalah. Ini adalah apa yang sedang kita hadapi. Antara Barat dan Islam terdapat masalah, dan interaksi yang konstruktif antara Islam dan Barat adalah bukan dengan meminta masyarakat Muslim untuk menjadi sekuler. Ini akan menjadi kontra-produktif, cara yang lebih praktis dan tepat adalah dengan mempromosikan prinsip-prinsip demokrasi di dunia Islam. 
  Mengenai pandangan Jihadi, kami kecewa dengan kelompok fanatik yang memperlakukan orang lain sebagai kafir. Mereka menutup pintu bagi kaum Islam reformis dan mempraktikkan pemahaman mereka yang sempit dan dangkal dari ayat-ayat Al-Qur’an tanpa memperhatikan konteks kondisi dan waktu. Hal ini tidak hanya mengenai penafsiran teks. Mereka juga menganggap kelompok lain baik Muslim atau non- Muslim sebagai golongan kafir; sembari menjanjikan surga, mereka mengubah kehidupan manusia seperti neraka. Kekerasan sektarian dan pembunuhan merupakan konsekuensi mengerikan dari mentalitas seperti ini. Dan mentalitas seperti ini ada di wilayah kami. Banyak, banyak orang yang membunuh karena sekte atau agama. Itu sangat berbahaya.
  Pembacaan teks Kitab Suci harus dengan kasih sayang dan kemurahan Allah dengan cara yang baik dan benar diiringi dengan pemahaman konteks dan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, agama telah disalahgunakan untuk kepentingan politik, namun agama juga dapat memainkan peran yang konstruktif bagi perdamaian dan dialog baik antaragama dan antaraliran dari agama yang sama. Dialog ini adalah untuk mempromosikan persahabatan dan rasa saling menghormati. Jalan keluar bagi permasalahan ekstremisme dan kekerasan bukanlah dengan penolakan terhadap agama itu sendiri, tetapi komitmen publik terhadap prinsip-prinsip demokrasi.

Rabbi Dr. Rosen: Pagi ini terasa instruktif sekali bagi saya untuk mendengarkan perdebatan tentang apa yang dimaksud dengan Jihad dan konsep keseluruhannya. Bagi saya, satu-satunya orang Yahudi di sini dan kalah jauh dalam hal jumlah, hal ini mengingatkan saya pada sebuah prinsip yang sangat penting tentang analisis diri, perjuangan untuk jujur pada diri sendiri, dan perjuangan untuk menemukan kebenaran. Setiap agama memiliki pendekatan yang berbeda. Dalam agama Kristen, ada gagasan misi. Misi adalah gagasan bahwa saya harus menerima pesan dan saya harus menyampaikannya ke agama lain, kelompok lain dari umat manusia. Tetapi menyeimbangkan gagasan misi tersebut merupakan gagasan kesaksian di mana saya bertindak dengan cara yang penuh kasih, manusiawi dan cara seperti Tuhan; dan itulah cara untuk mempengaruhi orang.
  Jadi, Anda memiliki model yang berbeda. Anda selalu memiliki model yang berbeda, seperti Anda memiliki pendekatan mistis dan pendekatan rasional. Dan Anda tentu saja juga memiliki pendekatan politik,tentunya politik memiliki peran. Selama mendengarkan dari berbagai sudut pandang yang berbeda, satu hal yang mengejutkan saya adalah bahwa satu-satunya cara untuk benar-benar mengejar Jihad dalam artian analisis diri adalah dengan mencoba untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain.
  Bahkan, kemarin, Yang Mulia Niphon mengatakan “Di mana kon- sep kasih dalam semua ini?” Kami mempunyai gagasan dalam Alkitab “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”. Dan gagasan ini telah ditambahkan ke dalam Perjanjian Baru sebagai “Kasihilah musuhmu”. Memerintah untuk mengasihi adalah tidak mungkin. Anda tidak dapat memerintah seseorang untuk mengasihi tetapi anda dapat mendorong mereka untuk mengasihi. Dan saya berharap bahwa mereka akan mengasihi. Pada kenyataannya, bahasa Ibrani asli tidak mengatakan “Kasihi tetanggamu seperti dirimu sendiri”. Dikatakan “Tunjukkan kasih kepada tetanggamu, karena ia adalah manusia seperti dirimu sendiri”. Kita semua adalah anak dari satu sumber yang sama. Apa yang saya dapati dalam perdebatan ini adalah tidak adanya analisis diri yang orisinal tentang luas dan beragamnya dunia tempat kita tinggal ini. Tetapi kita hanya memasukkan dunia Islam,ini seperti sebuah ketidakmampuan kita untuk melihat dari sudut pandang lain.
  Sebagai contoh, saya akan menjadi kontroversial ketika saya mengatakan bahwa secara pribadi saya merasa sangat sedih dan terpukul atas konflik yang terjadi di Timur Tengah serta konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina. Sangat terluka, saya berada di salah satu pihak, saya di pihak konsesi dan perdamaian. Tetapi kenyataannya adalah tidak ada cerita hitam dan putih. Tidak ada cerita hanya satu sisi. Timur Tengah bukan hanya produk dari Holocaust. Timur Tengah adalah produk dari “Siapa yang ada di sana bahkan sebelum Islam? Bagaimana karakteristik Timur Tengah waktu itu? Dan apa perkem- bangan yang terjadi di sana?” Dan oleh karena itu, sederhananya “Saya harus melindungi diri dari penjajah?” Mungkin, penjajah itu bukanlah penjajah yang datang pertama kali.
  Kita nampaknya memang ditakdirkan untuk saling berperang dan membunuh. Tapi kita harus berperang melawan kecenderungan untuk melihat hal-hal secara hitam dan putih. Dan cara untuk melakukan ini adalah dengan menunjukkan kasih, dengan menunjukkan kepri- hatinan. Jujur saja bahwa tak seorang pun dalam majelis ini yang tidak saya cintai, walaupun kita sebelumnya belum pernah berjumpa atau sempat berbincang-bincang. Ya, cinta, karena saya sungguh merasa bahwa mereka di sini sedang berjuang untuk menemukan cara yang tepat, dan untuk mencari solusi. Jika kita ingin mencapai hal ini, cara untuk melakukannya adalah, seperti yang dikatakan oleh Metropolitan Niphon, melalui kasih. Tunjukkanlah kasih. Dan dalam melakukan hal ini artinya kita harus melihat narasi lain dan mengakui adanya narasi lain. Kita harus menemukan cara lain untuk melihat suatu hal agar kita mampu mendekatkan diri kepada yang lain.

Perdana Menteri Chrétien: Saya hanya ingin mengangkat sebuah masalah. Selama mendengarkan perdebatan ini, tidak ada yang membicarakan tentang perlunya memisahkan agama dari politik, yang merupakan bagian dari masyarakat. Saya berasal dari masyarakat di mana agama mendominasi politik 100 tahun yang lalu. Sekarang, pemisahan gereja dan negara adalah mutlak di negara saya. Saya mendengarkan Anda dan memiliki kesan bahwa agama adalah masyarakat. Agama memiliki pengaruh dominan pada proses politik. Dalam pandangan saya, hal tersebut mengarah pada penyalahgunaan. Karena dalam pandangan saya spiritualitas individu itu sifatnya sangat pribadi, yaitu keyakinan pribadi anda langsung dengan Sang Pencipta. Itu penting. Tetapi membawa keyakinan ke dalam arena politik menyebabkan banyak konflik dan pagi ini saya tidak mendengar kebutuhan untuk pemisahan agama dari urusan negara. Dan ketika Anda tidak memiliki pemisahan seperti itu di negara manapun, ini akan sangat sulit. Itu adalah masalah yang dihadapi oleh Presiden Nigeria, ketika permasalahan politik didominasi oleh masalah agama. Mengapa keyakinan tidak diarahkan untuk membawa pada prinsip bahwa menjalankan sebuah negara harus dipisahkan dari urusan keyakinan?


Prof. Chang: Saya pikir itu adalah titik mendasar dalam upaya kita untuk menemukan etika dunia yang independen dari keyakinan agama. Tapi saya pikir diskusi kita pagi ini tampaknya fokus pada kepingan sejarah, atau kita mengambil potret dari apa yang terjadi di dunia saat ini, dan kemudian kita memberikan interpretasi yang berbeda? Hal ini memang berguna untuk sedikit menilik sejarah untuk mengetahui bagaimana kondisi di dunia saat ini bisa terjadi. Dan konteks seperti itu dapat berguna bagi kita untuk melihat sejumlah isu seperti Jihad, Mujahidin, dan lain-lain. serta bagaimana mereka ditafsirkan, digunakan dan disalahgunakan.

  Di Wina tahun 1530, pasukan Ottoman meninggalkan Wina setelah dikalahkan. Namun pada saat itu, sultan-sultan Ottoman tidak menggunakan kata Jihad, tetapi menggunakan sistem Gadjis. Gadjis adalah mereka yang berjuang untuk memperluas daerah perbatasan Islam. Dalam definisi Anda, saya tidak berpikir tujuannya adalah untuk benar-benar memperluas batas wilayah kekuasaan Islam pada waktu itu. Tapi Gadjis adalah alat yang berguna bagi para sultan. Xinjiang sebagai contohnya. Xinjiang ter-Islamisasi karena sekelompok orang memimpin Jihad di abad ke-11. Orang-orang yang berasal dari wilayah yang saat ini bernama Uzbekistan dan Turkistan menyerang wilayah Timur. Orang yang sama dari daerah tersebut sisanya menganut Buddhisme, Manichaenisme dan Kristen. Tapi Jihad dari abad ke-11 sampai ke-15 telah membuat Xinjiang menjadi daerah dengan mayoritas Muslim. Jadi kita bisa melihat bahwa sejarah dan keyakinan agama menentukan bagaimana negara dijalankan.

Presiden Obasanjo: Saya percaya bahwa apa yang agama lakukan tidak hanya meresepkan bagaimana untuk hidup antarumat manusia yang melingkupi urusan politik, agama dan sosial, tetapi agama juga memberikan sanksi sebagai cara dalam membuat Anda menuruti aturan-aturan tersebut. Saya pikir Kristen, Islam dan Yahudi mem- percayai adanya kehidupan setelah kematian dan akan adanya hari penghakiman, tergantung pada bagaimana perbuatan Anda di kehidupan dunia ini.Saya percaya untuk agama lain seperti Hindu dan Shinto, tergantung pada bagaimana Anda menjalani hidup ini,Anda akan dikembalikan dalam keadaan tinggi atau rendah. Hal tersebut sekali lagi sebagai cara untuk memastikan bahwa Anda akan mengikuti peraturan yang telah agama berikan. Jika anda tidak mematuhinya, makan akan ada hukuman karena telah melanggarnya. Saya merasa baik-baik saja dengan peraturan ini, dan saya pun yakin anda juga.
  Tapi ketika Anda datang dan mengatakan bahwa agama Anda memandang saya sebagai seorang kafir, dan kemudian Anda harus melawan saya karena mematuhi instruksi terakhir untuk memerangi kaum kafir sampai akhir. Sekarang, hal itu membuat saya khawatir kepada negara, tempat, saya berasal. Dan tentu saja saya juga memiliki kekhawatiran untuk skala global. Dan itu adalah permasalahannya. Saya percaya entah ini interpretasi liberal atau atas dasar pemikiran bersama yang membuat situasi yang berlaku pada masa Nabi Muhammad Saw. sehingga beliau menetapkan hal-hal tersebut, namun situasi telah berubah. Tanpa maksud menyinggung,saya yakin bahwa jika Nabi Muhammad Saw. masih hidup dan berada di dunia saat ini, keputusannya sepertinya akan agak berbeda.
  Seperti yang saya katakan kepada saudara Kristen saya, bahwa jika Kristus masih hidup hari ini, dia tidak akan pergi ke Yerusalem menunggangi keledai. Dia mungkin akan terbang dengan helikopter. Itu adalah perubahan harus kita sadari. Kekhawatiran saya adalah bahwa akan seperti apa kehidupan di sebagian besar negara Afrika, terutama di Afrika Barat, jika perintah Jihad dalam ayat Al-Qur’an tersebut dilancarkan pada mereka yang non-Muslim. Selanjutnya, tidak akan pernah ada perdamaian. Dan jangan sampai kita mengira bahwa orang-orang seperti saya, tidak memiliki peran untuk mengiring kedua belah pihak dalam pembicaraan yang serius. Saya berpikir bahwa Anda semua di sini dapat membantu kami.



Dr. Al Salem: Pertama, pemahaman moderat Al-Qur’an dan Sunah sebenarnya menggerakkan para pemimpin agama dari Abad Pertengah- an ke zaman kita, dan mereka akan memahami Al-Qur’an dan Sunah dengan cara modern. Jika ada pemahaman baru, mengapa kita perlu pemimpin agama? Ada kehidupan baru, semuanya baru, dan para ekonom atau insinyur dapat memahaminya dengan lebih baik daripada para pemimpin agama. Masalah kesalahpahaman terjadi karena kami tidak memiliki referensi seperti gereja atau pendeta yang setiap orang bisa ikuti. Dalam Islam, semua orang bisa menjadi pemimpin agama. Itulah masalah kami. Kami memiliki sejarah selama 1400 tahun, dan dalam kurun waktu tersebut terjadi proses perubahan. Jika mereka memulai pemahaman pada konteks, semua orang akan menjadikan agama sesuai dengan apa yang dia inginkan. Setiap individu akan berjuang sesuai dengan pemahamannya terhadap konteks. Selanjutnya, tidak akan ada aturan. Jadi, kita harus kembali ke teks.

Prof. Saikal: Apakah Anda mencoba untuk mengatakan bahwa setiap orang harus mengikuti teks seperti yang tertulis di abad ke-7, sesuai dengan kondisi abad ke-7? Atau kita harus mengambil konteks sebagai pertimbangan, dalam hal penerapan Islam sesuai dengan waktu dan kondisi yang berubah? Nabi meninggalkan penerapan Islam pada pengikut Islam sesuai dengan waktu dan kondisi berubah, bukan dalam“waktu yang beku”.



MENGGALI NORMA-NORMA UTAMA
AGAMA DAN PERENCANAANNYA
DALAM PENGAMBILAN
KEBIJAKAN



Sesi dipimpin oleh


Y.M. George Vassilliou
Mantan Presiden Siprus 

GAGASAN etika global adalah hal yang wajar bagi agama-agama mayoritas, namun gagasan tersebut dianggap radikal pada tahun 1987. Dewasa ini, konsep tersebut secara umum sudah dapat diterima
setelah dipromosikan oleh Dewan InterAction. Kendalanya adalah mempraktikkannya dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi.
  Pembicara pertama, Prof. Kirk Hanson, menggambarkan kesulitan kompleks tentang bagaimana etika umum dapat memandu peng- ambilan keputusan politik dan ekonomi. Dalam bisnis, persaingan antara perolehan laba dan etika tidak pernah berakhir. Permasalahan utama yang menghambat perusahaan untuk menerapkan standar etika meliputi masalah persaingan bisnis, tekanan dari pasar keuangan, dan keputusan yang dapat mendukung kesejahteraan manusia (yang pada umumnya tidak cukup memiliki otoritas legal). Dalam pemerintahan, pergolakan tiga kepentingan(kemanusiaan, nasional dan kepentingan pribadi dari pemimpin) selalu akan ada. Prof. Hanson sempat merasa khawatir bahwa bisa saja terdapat jawaban yang pasti tentang bagaimana menerapkan etika global dalam politik dan ekonomi. 
  Dr. Mano Mettanando, memperkenalkan konsep persemakmuran moralitas melalui penggambaran Marigalasutta, sebuah konsep kuno dari Good Omen (Pertanda Baik)yang dipraktikkan oleh Theravada Buddha (penganut Buddha di wilayah selatan). Masyarakat Thailand aktif terlibat dalam pembangunan sosial melalui konsep ini dan menciptakan sebuah persepsi masyarakat yang dinamis. Saudara Mettanando mengusulkan kepada pemerintah Thailand untuk memasukkan konsep ini ke dalam KTP warga (yang diberikan kepada setiap orang yang berusia di atas 7 tahun). Konsep ini bisa dilakukan melalui sistem kredit secara elektronik pada kegiatan-kegiatan sukarela yang dilakukan oleh anak-anak dan pemuda sebagai imbalan bagi pendidikan tinggi dan pelatihan profesional mereka nantinya.
  Y.M. Sheikh A. Al-Quraisy memberikan pandangannya tentang etika keuangan. Krisis keuangan global belakangan ini merupakan akibat dari keruntuhan total perilaku etis di kalangan industri keuangan dan kurangnya tanggung jawab fidusia kepada klien utama. Keserakahan mengajarkan kita untuk memperlakukan orang lain sebagai objek untuk dieksploitasi, bukan sebagai manusia yang tujuannya harus dihargai. Agama-agama mayoritas seharusnya mampu membantu perbaikan etika sektor keuangan. Etika sangat penting dan prinsip- prinsip etika dasar harus diajarkan di rumah dan sekolah, karena aturan dan peraturan bukanlah pengganti integritas pribadi. H.E. Sheikh A. Al-Quraisy menekankan bahwa menegakkan nilai-nilai moral adalah satu-satunya solusi bagi masyarakat yang sedang mengalami degradasi dan anarki budaya.
  Dr. Hamzah Al Salem mengusulkan pembebasan etika Islam dan menggabungkannya dalam proses pengambilan keputusan oleh para pemimpin pemerintahan Islam. Dia berargumen bahwa etika Islam berada di bawah pembatasan dan kungkungan khusus dan tidak selaras dengan etika manusia pada umumnya dalam hal peniadaan kekerasan dan pertumpahan darah. Membebaskan etika Islam dari pembatasan ini bisa dilakukan dengan menghapus apa yang para ahli hukum telah perkenalkan dan masukkan ke dalam agama Islam selama berabad-abad. Ini akan menghapus struktur dari agama Islam yang telah memotivasi ekstremis. Dia berargumen bahwa panggilan Wahabi adalah pilihan terbaik untuk memperbaiki kecacatan yang sedang berlangsung di dunia Muslim.

  Dalam diskusi berikutnya, perbedaan yang kentara antara keinginan untuk menjadi etis dan praktiknya telah diusung oleh banyak pemimpin politik. Mereka berpendapat bahwa etika saja tidak cukup dan pasti membutuhkan dukungan dari aturan dan peraturan, karena manusia tetaplah manusia dengan godaan yang konstan. Politisi selalu berada di bawah tekanan. Kasus suap dibahas panjang lebar, tetapi oknum bisnis yang melakukan penyuapan untuk pengurangan tanggungan pajak mereka tidak dihukum. Sejumlah pemerintah tidak akan pernah menyetujui untuk mengatur industri keuangan karena, misalnya, takut merugikan sektor ekonomi terkemuka mereka. Mereka mempertimbangkan apakah dan bagaimana tekanan dapat diterapkan sehingga para pemimpin bisa berperilaku lebih etis. Seorang teladan yang jujur dan berhasil sangatlah penting, karena baginya pendidikan sangatlah penting. Selain itu, etika sangat diperlukan di berbagai bidang seperti media, badan legislatif dan ilmu pengetahuan sehingga perusahaan dan politisi akan berada di bawah pengawasan publik. Pentingnya transparansi juga harus ditekankan.
  Untuk pandangan yang umumnya pesimis, optimisme telah disuarakan di mana pembaharuan besar telah dilakukan baik oleh individu tunggal maupun lembaga-lembaga kecil yang mewujudkan komitmennya sampai pada tujuan utama agenda, yang tersaring tahap demi tahap sampai akhirnya mampu membawa pengaruh pada agenda politik. Ini adalah proses pembangunan kesadaran. Dengan demikian, penting sekali untuk terus meningkatkan suara kelompok terkaitisu dan masalah etika.




DARI ETIKA GLOBAL MENUJU
KEPUTUSAN ETIS DALAM
PEMERINTAHAN DAN BISNIS


Pemateri 1:


Profesor Kirk Hanson
Direktur Eksekutif, Pusat Etika Terapan Markkula,
Santa Clara University, California., U.S.A. 


Pengantar
  Makalah ini, satu dari dua makalah yang ditujukan untuk sesi pengantar dan berfokus pada pengambilan keputusan etis, mengacu pada latar belakang saya sebagai seorang profesor etika bisnis dan organisasi dan penganut Katolik Roma. Pada halaman selanjutnya, saya menggambarkan sulitnya memutuskan etika global yang dapat diterima secara umum dan memasukkannya ke dalam penggunaan praktis praktik pengambilan keputusan politik dan ekonomi.
  Kepemimpinan Dewan InterAction dalam mempromosikan etika global telah terbukti sangat berpengaruh. Tidak hanya dalam pembahasan Dewan, tetapi juga dalam pembahasan PBB dan organisasi lainnya, ada pemahaman bahwa tidak ada agenda yang lebih penting selain merumuskan dan mendukung agenda moral umum yang tujukan untuk semua agama, dan tentunya seluruh umat manusia. Gagasan tentang agenda moral umum mungkin dianggap gagasan yang radikal pada tahun 1987 ketika Dewan mulai mempromosikannya, namun gagasan tersebut kini telah memperoleh penerimaan dan dukungan secara luas.
  Menjalankan tugas pertama dari gagasan ini tidaklah mudah. Setiap agama dan kebudayaan nasional memiliki formulasi tradisionalnya sendiri untuk merumuskan kode moral mereka. Dan sejumlah agama, termasuk Katolik Roma saya sendiri, kadang kala membuat pembedaan yang patut disayangkan antara hak dan nilai dari perbedaan kelas manusia, baik itu budak atau penganut agama lain. Untungnya, Katolik Roma, dan Kristen secara umum, telah mengambil bagian yang signifikan di abad terakhir dalam menuju resolusi etis dan etika universal dan kebebasan beragama untuk SEMUA orang.
  Dewasa ini, ada banyak kegiatan yang patut diteladani dan diapresiasi, seperti di mana para teolog dari berbagai latar belakang agama berdialog untuk memahami perbedaan dan kesamaan dalam keyakinan teologis dan etis mereka. Dalam atmosfer seperti ini, dokumen Dewan “Deklarasi Tanggung Jawab Manusia” dirancang dan diperjuangkan oleh penasihat Dewan Hans Küng, dan tetap menjadi simbol dari apa yang dapat dicapai oleh orang-orang yang berkehendak baik. Pertemuan ini, mempertemukan para pemimpin dari berbagai agama telah menunjukkan kekuatan dari visi ini.

PermasalahanUmum dari Pemindahan Prinsip-Prinsip Etis ke Keputusan Etis
  Berpindah dari etika global umum ke pemahaman umum tentang bagaimana etika seharusnya memandu pengambilan keputusan politik dan ekonomi merupakan hal yang lebih kompleks. Pilihan etis dalam situasi politik dan ekonomi tergantung pada konteks, sumber daya yang tersedia, dan pada kematangan struktur politik atau ekonomi di mana mereka dibuat. Sederhananya, kode etis untuk tindakan dan pengambilan keputusan politik atau ekonomi itu jika tidak sulit, maka mustahil untuk dicapai.
  Permasalahan yang paling menantang adalah konteks. Pilihan moral tergantung pada seberapa ukuran “yang baik” tersebut dapat dicapai dalam situasi tertentu yang kompleks ini. Menanggapi pelanggaran hak asasi manusia di suatu negara oleh pada warga negaranya sendiri, misalnya, akan tergantung pada jenis intervensi yang benar-benar akan membuat segala sesuatunya lebih baik. Dalam satu keadaan, intervensi “etis”dapat berupa intervensi yang didukung oleh koalisi sejumlah negara, sebaliknya bentuk intervensi etis tersebut dapat berupa pengenaan sanksi atau bahkan tidak lebih dari bentuk ekspresi penghinaan. Sama halnya, tanggapan oleh bisnis terhadap penurunan ekonomi mungkin adalah dengan PHK, pelatihan ulang pekerja di tempat lain, atau pemberian cuti sementara. Dalam beberapa kasus,krisis mungkin bersifat jangka pendek; namun, di sisi lain mungkin tidak ada harapan bagi para pekerja untuk dipekerjakan kembali oleh industri atau perusahaan tertentu.
  Masalah menantang kedua adalah kemampuan dan sumber dari sang pemeran. Intervensi militer di sisi lain dunia, atau dalam beberapa konflik simultan, mungkin mustahil. Sebuah bisnis mungkin mendapati tidak adanya kemampuan finansial untuk mempertahankan dan melatih semua pekerjanya saat terjadi penurunan ekonomi. 
  Tantangan ketiga adalah tahap pembangunan itu sendiri. Sebuah masyarakat yang cukup mapan memberikan dukungan keuangan dan pelatihan ulang bagi para pekerja karena kemungkinan mereka memiliki kewajiban moral yang lebih besar untuk melakukannya daripada masyarakat yang masih berada pada tahap perkembangan. Beberapa perusahaan berpendapat bahwa prinsip yang sama berlaku bagi mereka, yaitu bahwa pembuatan keputusan etis yang baik dan perhatian yang lebih besar kepada para pemegang saham adalah sesuatu yang wajib mereka lakukan hanya ketika perusahaan sudah matang dan cukup stabil untuk menyokongnya. Dalam menanggapi tantangan ini diperlukan pengembangan norma-norma dan standar moral yang mengikat pemerintah dan aktivitas bisnis pada tahap perkembangan manapun. Tetapi, beberapa standar lain memang hanya diperuntukkan untuk mengikat pada tahap matang pembangunan. 

Upaya Katolik Roma untuk Mengatasi Pengambilan Keputusan Etika Praktis
  Dalam Katolik Roma, Paus dan badan-badan nasional keuskupan serta pemimpin gereja lainnya telah berusaha untuk merumuskan aplikasi yang tepat dari tradisi moral yang ditujukan untuk pembuatan kebijakan politik dan ekonomi dalam serangkaian Ensiklik Sosial Kepausan dan pernyataan pastoral nasional. Ensiklik Rerum Novarum tahun 1891 oleh Paus Leo XIII dianggap sebagai ensiklik sosial modern yang pertama. Sedangkan Ensiklik Caritas in Veritate tahun 2009 oleh Paus Benediktus XVI adalah yang terbaru. Paus Francis I pada tanggal 24 November 2013 mengeluarkan “Evangelii Gaudium”, sebuah Nasihat Apostolik yang ditujukan untuk politik, kebijakan, dan permasalahan ekonomi. Dalam tradisi moral Katolik Roma, sebuah nasihat tidak memiliki tingkat yang sama dengan kewenangan yang termaktub dalam ensiklik. Di Amerika Serikat, organisasi uskup Katolik nasional mengeluarkan dua surat pastoral penting pada tahun 1980anterkait topik yang sedang kita bahas saat ini—satu membahas proliferasi nuklir dan perdamaian, dan yang satunya lagi membahas tentang keadilan ekonomi. Namun, dalam perdebatan yang bergeser pada sentralisasi dan desentralisasi Gereja Katolik Roma, Vatikan lebih jauh menekankan pernyataan seperti yang telah dikeluarkan oleh organisasi uskup Amerika Serikat dan konferensi uskup nasional lainnya.
  Rangkaian Ensiklik Sosial Kepausan telah menetapkan beberapa tema kunci, di antaranya: kehidupan dan martabat setiap pribadi manusia; pentingnya keluarga; masyarakat dan partisipasi semua pihak; hak dan tanggung jawab manusia; kewajiban khusus untuk orang miskin dan rentan; martabat pekerjaan dan hak-hak pekerja; solidaritas umat manusia di dunia global; serta kepedulian dan penghormatan terhadap lingkungan fisik. Sebuah prinsip yang mendasari dalam dokumen ini disebut “subsidiaritas”, dan berpendapat bahwa keputusan dan pelaksanaan keputusan harus berlangsung di tingkat lokal yang paling efektif. 
Dalam ensiklik sosial terbaru, Caritas in Veritate, Paus Benediktus XVI mencatat, di antara banyak tema lain, bahwa pasar itu ada bukan semata-mata “untuk dirinya sendiri” dan bahwa pasar harus dioperasikan untuk melayani seluruh umat manusia. Mengungkapkan keprihatinan khususnya untuk kesenjangan antara golongan kaya dan miskin, Benediktus mendesak para pemimpin bisnis untuk membuat keputusan yang melayani semua “pemegang kepentingan” yang dipengaruhi oleh pekerjaan mereka dengan mengadopsi prinsip “amal” di mana struktur ekonomi ada untuk melayani seluruh umat manusia. Dalam nasihatnya di tahun 2013, Paus Francis I mengembangkan lebih lanjut kebutuhan untuk menggabungkan kepentingan orang miskin ke dalam pengambilan keputusan, meratapi “pengucilan ekonomi dan penyembahan berhala baru terhadap uang “.

Beberapa Permasalahan Spesifik dalam Penerapan Prinsip-Prinsip Etis dalam Keputusan Ekonomi
  Sebagai pakar etika bisnis, saya telah menghabiskan hidup saya sendiri menangani tugas perumusan dan aplikasi prinsip-prinsip etis untuk pengambilan keputusan dalam bisnis. Banyak yang telah menulis tentang tensi inheren antara logika dan keunggulan kapitalis yang diberikan untuk maksimalisasi keuntungan dan nilai-nilai etika. Ketegangan ini nyata dan saat ini tengah mengekspresikan dirinya dengan jelas kendati usaha mulia untuk mendamaikan keduanya telah diupayakan.
  Upaya yang paling menonjol untuk mendamaikan etika dan kapitalisme adalah berbagai “kode global” yang diadopsi oleh LSM dan bisnis yang ditujukan untuk menangani perilaku komersial tertentu. Di antaranya adalah standar rantai pasokan untuk memperlakukan karyawan dan pemeliharaan lingkungan, standar lingkungan global mengenai penggunaan air dan polusi, perdagangan di “mineral konflik”, dan komitmen untuk memerangi korupsi. Harapannya adalah kode global tersebut serta standar lain yang sejenis akan mampu memecahkan tiga masalah mendasar yang dihadapi oleh bisnis global.

  Yang pertama adalah kelemahan kompetitif. Hanya dengan adopsi koperatif dan tersebar luas dari praktik bisnis yang etis dan benar, bisnis akan mampu bertindak secara bertanggung jawab dan tidak menempatkan diri pada posisi yang kurang kompetitif. Kenyataannya adalah bahwa tidak ada kode global “diskresioner” yang akan pernah benar-benar mampu memecahkan masalah ini. Akan selalu ada bisnis yang siap untuk mengabaikan standar kode etik dalam rangka untuk menghemat uang; akan selalu ada sebuah negara di mana standar hukumnya lebih longgar dan sejumlah perusahaan dapat beroperasi dengan biaya yang lebih murah.
  Permasalahan kedua adalah tekanan kuat dari pasar keuangan yang semakin menuntut profitabilitas bisnis konstan, bahkan setiap tiga bulan. Banyak pemimpin bisnis, yang percaya bahwa pengambilan keputusan etis yang baik biasanya mampu membawa pada profitabilitas jangka panjang. Mereka merasa dibatasi untuk menghindari keputusan yang mengharuskan mereka untuk melayani kemanusiaan supaya dianggap lebih “etis”, sedangkan mereka harus memberikan performa tingkat tinggi demi tuntutan profitablitas konstan dalam waktu yang pendek. Hal ini, tentu saja, tidak baik bagi para pemegang kepentingan karena kepentingannya diabaikan, dan tentunya bagi perekonomian itu sendiri.
  Permasalahan ketiga adalah kurangnya otoritas hukum di beberapa negara bagi manajer profesional untuk membuat keputusan yang dapat mendukung kesejahteraan manusia secara lebih luas. Piagam korporasi, di Amerika Serikat dan banyak negara lain, khususnya mewajibkan dewan direksi dan manajer untuk melayani kepentingan pemilik modal, dan bukan orang lain. Jika ada beberapa ruang untuk pertimbangan bisnis atau keputusan etis, hal tersebut harus diusulkan dalam kaitannya dengan kepentingan jangka panjang dari para pemegang kepentingan.
  Masalah keempat yang banyak dikutip dalam bisnis adalah bahwa tidak terdapat etika global atau konsensus etika global, dan bahwa perusahaan menghadapi ekspektasi etis yang bertentangan dengan budaya nasional yang berbeda. Sejumlah pebisnis melepaskan semua tanggung jawab dikarenakan hal ini dan mengatakan mereka akan menjumpai ekspektasi legal di setiap yurisdiksi di mana mereka ber- operasi. Tentu saja, “filsafat kepatuhan” seperti itu telah menjadi praktik kerja dominan bagi kebanyakan, atau sebagian besar, perusahaan global. 


Bagaimana Kemajuan Dapat Dibuat untuk Tujuan Pengambilan Keputusan Etis Global
  Sebelumnya dalam esai ini, saya mencatat perkembangan puluhan dan bahkan ratusan kode etik diskresioner untuk kegiatan komersial. Kode-kode ini “menyamaratakan lapangan bermain” dan memberikan manajer sejumlah legitimasi untuk berargumen bahwa kesesuaian dengan kode diskresioner tersebut merupakan bagian dari upaya untuk melindungi dan memajukan kepentingan jangka panjang dari para pemegang saham.
  Tidak ada satu kekuatan pun yang akan mampu menerjemahkan konsensus yang tumbuh seputar etika global dalam pembuatan keputusan etis global, baik dalam politik maupun urusan ekonomi. Tetapi kode diskresioner ini dan beberapa perkembangan spesifik lainnya akan memberikan kontribusi untuk perwujudan tersebut.
  Ada gerakan global yang terjadi bersamaan untuk merasionalisasi hukum dan peraturan di daerah terpilih untuk mengimplementasikan norma-norma global mengenai hak asasi manusia, pencemaran lingkungan, korupsi, dan bahkan hak-hak konsumen. Kampanye ini didukung oleh PBB, OECD, dan asosiasi ekonomi regional. Di antara upaya-upaya kode diskresioner ini, yang paling signifikan adalah United Nations Global Compact. Sekarang, setelah lebih dari sepuluh tahun, United Nations Global Compact telah memperjuangkan 10 prinsip-prinsip mengenai perilaku korporasi dan telah menarik ribuan perusahaan dan asosiasi sebagai penandatangan. Di beberapa area spesifik perilaku korporasi tersebut, gerakan ini telah berkembang cukup jauh, misalnya dengan mengamankan adopsi undang-undang antikorupsi di sebagian besar negara industri. Seperti bisa diduga, terjemahan hukum menjadi standar yang ditegakkan membutuhkan waktu yang lebih lama dan bersifat kurang konsisten.

  Menyadari bahwa bahkan kepatuhan hukum pada undang-undang dan peraturan yang ada oleh pelaku bisnis akan membawa pada perilaku yang lebih baik dan lebih sedikit kerusakan bagi kesejahteraan manusia, sebuah gerakan yang signifikan untuk “kepatuhan perusahaan” telah dikembangkan di Amerika Serikat dan negara-negara lain (ini kadang- kadang disebut sebagai “Gerakan Etika Perusahaan”, tetapi sebutan ini memberikan gagasan atau kesan yang salah). Praktik terbaik untuk kepatuhan perusahaan (adopsi kode etik perusahaan, upaya pendidikan, prosedur eksploratif dan disipliner) secara luas dibahas dan diimplementasikan oleh sebagian besar perusahaan-perusahaan besar. Meskipun demikian, kendati upaya kepatuhan tersebut, beberapa pihak berpendapat bahwa “kesalahan” perusahaan telah menjadi hal biasa dalam beberapa tahun terakhir.
  Di Amerika Serikat dan di tempat lain, kendala hukum pada kemampuan dewan direksi dan manajer profesional telah memicu gerakan baru untuk membangun hukum pemerintah alternatif, otorisasi “Korporasi B” telah mengatur dan memberikan hak khususnya untuk kepentingan sosial. Hampir separuh dari 50 negara bagian Amerika Serikat telah mengadopsi undang-undang “Korporasi B”, tetapi jumlah dan ukuran bisnis yang diselenggarakan di bawah undang-undang ini tetap sangat kecil.
  Akhirnya, organisasi keagamaan telah meningkatkan upaya mereka untuk mengatasi dunia praktis pengambilan keputusan politik dan ekonomi. Dalam tradisi Katolik Roma, ada pertumbuhan kesadaran bahwa Gereja harus mengatasi pengambilan keputusan praktis serta Gereja harus merekrut orang awam baik dari Katolik Roma sendiri maupun dari keyakinan lain dalam misi tersebut. Sejumlah pemimpin gereja memiliki pengalaman dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi, oleh karena itu mereka memiliki keahlian untuk berbicara secara otoritatif pada hal-hal tersebut. Pada era kebangkitan Paus Benediktus, ada banyak komentar tentang pengambilan keputusan ekonomi yang tercantum di dalam Caritas in Veritate. Vatikan dan badan Katolik Roma lainnya mensponsori pertemuan para praktisi untuk memperluas visi Benediktus tentang bisnis yang bertanggungjawab. Salah satu dari upaya tersebut menghasilkan pengajaran yang berjudul “Panggilan dari Pemimpin Bisnis”, yang diterbitkan oleh Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian. Dokumen ini telah ada jauh mendahului diadakannya dialog ini dan telah membahas tentang bagaimana menerjemahkan etika global ke dalam pengambilan keputusan ekonomi yang etis.

  Tugas yang diuraikan dalam tulisan ini memiliki dua dimensi. Pertama, kita harus mengaplikasikan pemahaman umum etika global pada dunia politik dan perniagaan yang kompleks (mencapai keputusan yang benar-benar didasarkan pada etika umum).Kedua, kita harus menemukan cara untuk menerapkan komitmen untuk membuat keputusan etis dalam organisasi yang besar dengan birokrasi dan resistansi. Kedua tugas tersebut berat dan tak berujung. Konteks politik/ekonomi terus berubah, tidak hanya membutuhkan penegasan dan perdebatan atas bagaimana etika global berlaku saat ini, tetapi juga penegasan lebih bagaimana hal itu akan berlaku besok dalam konteks yang berbeda. Sifat organisasi kita juga terus berubah, memerlukan pemikiran ulang terus-menerus tentang bagaimana menggunakan struktur dan insentif dalam organisasi-organisasi untuk memotivasi pilihan etis yang konsisten.
  Kenyataan ini menunjukkan bahwa tidak akan pernah ada jawaban yang pasti dan abadi bagaimana menerapkan etika global dalam dunia politik dan ekonomi. Akan ada kebutuhan kearifan yang berkelanjutan oleh berbagai jenis dan tingkat organisasi, dan keterbukaan dari pihak pemimpin politik dan bisnis pada proses yang berkelanjutan ini.
  Esai ini berfokus pada pembuatan keputusan etis dalam organisasi ekonomi. Sebuah proses paralel penegasan berkelanjutan yang terjadi di organisasi didedikasikan untuk formulasi kebijakan dan politik. Sebagai contohnya,tidak ada prinsip tunggal yang seterusnya akan mampu untuk menentukan kapan intervensi kemanusiaan harus dilakukan. Pengambilan keputusan penuh tanggung jawab yang menghormati hak- hak semua pihak yang terpengaruh dan mencakup tanggung jawab yang masing-masing pihak pikul, akan melanjutkan dialog dan penegasan untuk menanggapi rincian spesifik dari kasus individual dan konteks yang berkembang. Seperti dalam bisnis di mana pergulatan antara laba dan etika tidak pernah berakhir,demikian juga dalam pemerintahan di mana tiga kepentingan yaitu kepentingan kemanusiaan, kepentingan nasional, dan kepentingan pribadi dari pemimpin akan selalu berada dalam ketegangan.




MORALITAS INDIVIDU SEBAGAI
KEKAYAAN SOSIAL
TAFSIR SISTEMATIS MARIGALASUTTA
SUTRA DALAM AJARAN BUDDHA


Pemateri 2:
Dr. Mano Mettanando Laohavanich
Dosen, Chulabhorn International College of Medicine,
Universitas Thammasat Anggota Senat Thailand,
Sub-Komite Agama dan Etika 

MESKIPUN Buddhisme memiliki banyak ajaran tentang sumber kedamaian batin dan pengembangan diri, Sang Buddha tidak pernah menyebutkan tentang sistem administrasi yang ideal atau konsep utopis. Buddha sendiri meninggalkan kehidupannya sebagai seorang pangeran untuk pencarian spiritual. Tak satu pun interpretasi era Milenium yang menunjukkan Buddhisme terlibat dalam isu-isu sosial dan global. Penganut Buddha Theravada cenderung tidak tertarik pada masalah sosial dan konflik nonreligius.
  Namun, saya percaya salah satu sutra Buddha paling awal yang disebut Marigalasutta, atau aphorisme dari Good Omens (Pertanda Baik), secara umum dapat diterapkan sebagai cara lain untuk menafsir- kan agama Buddha. Saya juga percaya bahwa itu bisa langsung ber-hubungan dengan pembangunan masyarakat yang damai dan adil. Secara tradisional, sutra telah populer di kalangan umat Buddha sebagai bagian dari nyanyian Paritta, yang dibacakan oleh biksu dan bikuni pada perayaan dan perhelatan acara untuk pertanda baik. 
  Sutra adalah dialog mitologi antara Buddha dan dewa-dewa yang datang untuk menanyakan tentang sifat dari Pertanda Baik, yang pernah menjadi isu perdebatan di langit dan bumi untuk waktu yang lama. Sang Buddha dikatakan telah menguraikan 38 Pertanda Baik yang menawarkan pendekatan holistik untuk membantu kita memahami etika sosial kaum Buddha, yang merupakan dasar dari masyarakat sipil.

The Marigalasutta
  Istilah “Marigala” adalah kata Sanskerta dan berbagi makna dengan Pali. Marigala secara langsung mengacu pada kepercayaan di masyarakat tradisional bahwa sebelum kejadian signifikan terjadi, maka akan ada pertanda yang meramalkan kejadian tersebut. Kepercayaan seperti ini sudah umum bahkan dalam kehidupan modern para penganut agama Buddha. Setiap tradisi memiliki cara sendiri untuk menafsirkan “Marigala”. Misalnya, sejumlah masyarakat menekankan pada warna pakaian yang seseorang kenakan, karakter dari bagian- bagian tubuh, atau lokasi dan penampakan rumah mempengaruhi masa depan si pemilik.
  Ada 12 ayat dalam Marigalasutta, dimulai dengan “Jangan bergaul dengan orang bodoh”, “bergaullah dengan orang bijak” dan “sembahlah mereka yang layak disembah”. Setiap ayat, kecuali yang terakhir, berakhir dengan frase, “Ini adalah Pertanda Baik yang tertinggi”. Marigalasutta mungkin satu-satunya penafsiran sistematis Buddhisme yang menunjukkan koherensi ajaran dan praktiknya bagi penganut Buddha untuk pengembangan spiritual. Marigalasutta menunjukkan bahwa Buddha menjalani hidupnya sesuai dengan sutra ini, dan mem- praktikkan apa yang diajarkannya.
  Dua belas ayat Marigalasutta menawarkan pendekatan holistik untuk Buddhisme. Marigala atau Pertanda Baik tidak diatur sekenanya; mereka secara sistematis terkait satu sama lain. Dimulai dengan yang paling eksternal dan fisik, secara bertahap memperkenalkan kita ke berbagai prinsip dan pedoman etika untuk menjalani hidup sebagai orang yang baik, sampai pada kualitas paling tinggi dari pikiran (pikiran yang bebas dari kesedihan dan kotoran batin, serta pikiran yang aman dan tenang). Konsep Marigala secara langsung berkaitan dengan kesejahteraan di masa datang. Salah satu interpretasi mengusulkan bahwa aphorisme Marigala tersebut merupakan sebuah versi yang dietiskan dari takhayul India yang berkembang saat komunitas awal biksu dan biksuni secara aktif terlibat dalam budaya lokal.
  Sutra juga menunjukkan hubungan praktis antara satu prinsip Buddha ke yang lain, yang memungkinkan seseorang untuk melihat proses keseluruhan dari pengembangan spiritual. Setiap kali tahap Marigala dipraktikkan,maka hal tersebut dapat membawa seseorang ke tahap yang lebih tinggi. Marigala juga terhubung dengan etika sosial seperti tanggung jawab kepada orang tua, anak-anak, pasangan, teman dan kerabat. Oleh karena itu, keterhubungan dari setiap anggota masyarakat juga terlihat.
  Sejak Marigala (Pertanda Baik)menjadi pertanda yang berhubungan dengan masa depan, Marigala menciptakan persepsi masyarakat sebagai sesuatu yang dinamis. Kemajuan atau kegagalannya tergantung pada kebaikan dari setiap anggota masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat adalah Persemakmuran dari Moralitas Individu. Kebajikan yang telah dicapai seorang individu dapat mempertahankan dan memobilisasi masyarakat ke arah yang baik. Melalui kanta sutra ini, kebiasaan buruk atau perbuatan jahat dalam masyarakat merupakan pertanda buruk. Hal tersebut akan merusak masyarakat dan menyebabkan menyebarnya kerusakan. Ini adalah tanggung jawab setiap anggota masyarakat untuk mengambil tindakan dan membalikkan pertanda buruk.
  Interpretasi tersebut juga didasarkan pada model Originasi Pendulus (Paticcasamuppada). Hidup kita dikondisikan oleh orang lain dan keberhasilan atau kegagalan kita berasal dari kondisi yang berhubungan dengan tindakan moral kita. Sekali satu tahap marigala dipraktikkan, maka marigala yang lain akan tercipta. Dan ketika semua marigala dipraktikkan, kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidup terjamin. Oleh karena itu, pepatah tersebut adalah ajaran sistematis etika sosial dalam Buddhisme, dan memberikan dimensi sosial di mana kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidup tergantung pada moralitas individu. Perbuatan baik dari setiap individu dalam masyarakat akan menjamin terciptanya kebahagiaan dan keberhasilan bersama.

Sang Buddha dalam Kanta (Mata) Marigalasutta: Seorang Agen Transformasi Dunia
  Melalui kanta Marigalasutta, Sang Buddha dapat dilihat sebagai seseorang yang ideal. Ia menyempurnakan semua Marigala selama hidupnya, dan beliau tentu saja merupakan Pertanda Baik yang pertama di dunia. Dalam legenda Buddha, Sang Buddha dulunya adalah Bodhisattva yang telah melakukan banyak kebaikan dalam kehidupan masa lalunya, sehingga ia mendapatkan Pencerahan Agung di marigala kelima dalam aphorisme tersebut.

  Keputusan moral Buddha untuk meninggalkan kehidupannya sebagai pangeran yang berlimpah berkah, memungkinkan dia untuk memenuhi pencarian spiritualnya. Kisah hidup Buddha mengungkapkan kepada kita semua 38 pertanda baik yang dilakukan oleh Buddha pada kesempatan yang berbeda. Setiap keputusan moral yang dibuat oleh Buddha mendukung dan membawa kepada berkat yang lainnya. Bersama-sama, masyarakat Buddha mendukung perubahan dalam masyarakat.
  Komunitas Buddha didirikan dan berkomitmen untuk menyebar- kan ajaran Buddha untuk mendorong peradaban spiritual umat manusia. Pengasingan diri Pangeran Siddharta dalam mengejar Pen- cerahan dipandang sebagai berkah lain, meskipun beberapa mungkin mengkritiknya karena tidak menjadi suami atau ayah yang baik. Namun Sang Buddha tidak pernah benar-benar meninggalkan tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan ayah. Dia kembali ke keluarganya setelah ia menyelesaikan tujuannya. Dalam hal ini, dia telah melengkapi semua berkat wahyu saat ia mengungkapkan mereka dalam aphorisme dan norma-norma Pali yang lainnya. Melalui ajaran Marigalasutta, Buddha mempraktikkan apa yang ia ajarkan dan tidak berperilaku sebaliknya. Dia adalah seorang guru spiritual yang tulus dan hidupnya adalah perwujudan dari ajaran-ajarannya.


Marigalasutta dan Pengembangan Demokrasi

  Meskipun tidak ada dalam ajaran Buddha di mana Sang Buddha memberikan definisi dari masyarakat atau seperti apa masyarakat yang ideal itu, namun hal ini jelas ketika anggota masyarakat mempraktikkan Marigala, mereka secara aktif terlibat dalam pembangunan sosial. Ajaran-ajaran Buddha tidak hanya untuk tujuan mencapai Nirwana. Mereka juga kondusif untuk kebaikan kolektif semua orang di dunia ketika anggota masyarakat meningkatkan berusaha untuk memperbaiki diri dan mengurangi penderitaan.
  Selain itu, 38 Marigala yang tertera di dalam sutra tidak bersifat spesifik kepada gender atau status sosial tertentu. Mereka dapat diterapkan secara kolektif di setiap bagian dari masyarakat. Marigala bagi orang awam juga baik untuk ditahbiskan; Marigala untuk pria juga baik untuk wanita, dan sebaliknya.
  Melalui kanta Marigalasutta, masyarakat bukan hanya merupakan perkumpulan individu yang terpisah dan terisolasi; semua orang saling terhubung satu sama lain dan juga terhubung dengan lingkungan. Oleh karena itu, sebuah masyarakat sipil adalah sebuah masyarakat yang menghormati hukum dan ketertiban, di mana anggotanya adalah teman baik bagi satu sama lain dan secara aktif terlibat dalam berbagai macam kegiatan akademik, seni, ilmu pengetahuan, sastra, filsafat, agama, dan lain-lain. Mereka juga bertanggung jawab untuk satu sama lain, serta untuk lingkungan dan kesejahteraan sosial.
  Bagi umat Buddha, sutra yang terdapat dalam Good Omen (Pertanda Baik) memberikan interpretasi holistik dan sistematis dari ajaran Buddhisme, di mana kehidupan spiritual tidak dapat hidup sendiri, tetapi tergantung pada satu sama lain. Aphorisme tersebut juga mendukung dialog antaragama yang tidak dilihat sebagai opsional untuk pengembangan spiritual umat Buddha, tetapi penting untuk praktik sebenarnya dari Buddhisme, yaitu dengan mengetahui agama lain Anda tahu lebih banyak tentang agama Anda sendiri. Saya percaya sudah saatnya bagi dunia Buddha untuk menemukan kembali ajaran kunonya.
  Menurut pesan dari Marigalasutta, pemimpin agama harus bekerja sama untuk menawarkan pesan terkuat dalam mendukung martabat manusia. Sudah bukan saatnya lagi untuk berdebat tentang agama atau keyakinan siapa yang terbaik. Kita perlu menyadari bahwa yang terkuat adalah yang berada dalam posisi terbaik untuk melakukan hal terbaik bagi kemanusiaan. Dan semua agama dan lembaga keagamaan harus mengakui bahwa dengan asumsi peran masing-masing, mereka dapat memainkan peran mereka dalam tujuan bersama untuk mencapai dunia yang damai dan adil.

Pedoman Praktis yang Disarankan untuk Rencana Strategis
  Dengan berkat internet dan teknologi komputer, sangat masuk akal untuk menerapkan teknologi untuk mobilisasi sosial dan pengembangan sumber daya manusia. Berdasarkan karya-karya Abraham Maslow yang merupakan seseorang dengan otoritas dalam inspirasi psikologi, Marigalasutta dapat diterapkan bersama-sama dengan kerangka hirarki kebutuhan seperti yang dijelaskan oleh Maslow.
  Di Thailand di mana KTP warga terhubung dengan jaringan komputer pemerintah, kartu identitas tersebut dapat terhubung dengan sistem penilaian nasional untuk pencapaian setiap warga negara terdaftar. Kartu pintar (smart card) didistribusikan secara bebas untuk setiap warga Thailand dimulai dari usia 7 tahun. Jaringan tersebut sudah memiliki data profil dari semua warga negara Thailand. Namun, database hanya dapat diakses oleh pejabat pemerintah, tidak oleh warga negara; undang-undang juga melindungi hak-hak setiap warga negara.

  Profil tambahan untuk kredit sosial dapat dibuat secara online dan terbuka untuk umum. Orang yang terdaftar dapat membuka profil mereka sendiri untuk mengisi kredit bagi kontribusi sosial mereka terkait dengan proyek-proyek publik berdasarkan filosofi Marigalasutta dalam Buddhisme, setiap tindakan kebaikan dan masyarakat adalah Persemakmuran Moralitas. Menurut prinsip ini, setiap orang bertang- gung jawab untuk setiap perbuatan baik dan buruk yang dilakukan oleh anggota masyarakat lainnya.
  Berakar dalam buku sejarah, sistem kredit sosial dapat diterima oleh masyarakat Thailand dan negara-negara Buddhis Theravada lainnya sebagai cara untuk mempromosikan moralitas dan pengembangan sumber daya manusia. Namun, sistem ini tidak dapat bekerja tanpa pengakuan dan dukungan publik serta pelatihan yang cocok yang dapat menjadi jalan pembuka bagi pengembangan setiap warga negara.
  Sistem ini dapat membuka area baru bagi kegiatan sukarelawan dan pengembangan sumber daya manusia. Misalnya, untuk masuk sekolah kedokteran calon mahasiswa tidak hanya dinilai dari skor ujian masuk, tetapi pengalaman pelayanan sebagai relawan di rumah sakit atau pusat kesehatan masyarakat dapat dipertimbangkan sebagai nilai dari sistem kredit sosial mereka. Dengan cara seperti ini, pemerintah dapat menginspirasi, membangun harapan dan mimpi untuk masa depan yang lebih baik bagi generasi muda, serta meningkatkan pembangunan sumber daya manusia. Akan ada lebih banyak orang yang akan berpartisipasi dalam kegiatan politik, agama, dan kemanusiaan, dan lingkungan.
  Dalam masalah publik tertentu yang bersifat mendesak seperti konflik iman di antara umat beragama, pemerintah dapat membuat insentif bagi kelompok pemuda untuk bergabung dengan program pelatihan khusus yang mempromosikan dialog perdamaian antaragama. 
  Aplikasi gabungan dari Buddhisme dan hirarki kebutuhan Maslow dapat dikombinasikan untuk pengembangan sumber daya manusia dan berbagai kegiatan relawan sosial dengan bantuan IT dan smart card di bawah rubrik “Sistem Kredit Sosial”.

Kesimpulan
  Pemerintah Thailand harus memfasilitasi teknologi sosial baru yang dapat diterapkan untuk menggembleng pembangunan berkelanjutan dengan cara menginspirasi warga negara sendiri untuk terlibat dalam kegiatan sukarelawan. Salah satu pilihan adalah melalui penggunaan internet dan diterapkan menggunakan KTP smart card warga yang dapat menghubungkan kegiatan relawan dengan sistem penilaian yang dapat diakses dan dilacak oleh publik. Karena kartu diberikan untuk setiap warga Thailand dimulai dari usia tujuh tahun, program promosi moral yang dapat dimulai dengan sistem penilaian untuk setiap anak dari usia tujuh dan seterusnya.

  Area partisipasi anak-anak dapat mencakup semua kegiatan nonakademis seperti penanaman pohon, pelayanan publik, dan semua kegiatan relawan masyarakat. Internet dapat memberikan hasil langsung terkait dengan kegiatan yang dilakukan. Tentu saja, program ini harus memiliki sistem pengecekan untuk mendukung kegiatan yang telah dilakukan secara online. Sistem kredit sosial dapat menjadi sebuah pembangkit untuk pengembangan demokrasi, hak asasi manusia, martabat manusia, dan keharmonisan kelompok antaragama. Hal ini juga memberikan model untuk pengembangan kesehatan masyarakat yang mengadvokasi partisipasi aktif dari setiap anggota masyarakat untuk saling menjaga, merawat dan memelihara satu sama lain. Sistem ini tidak akan merugikan pemerintah, sebaliknya sangat berpotensi meningkatkan kualitas rasa perhatian untuk sesama dari semua anggota masyarakat setempat.



ETIKA DALAM BERBISNIS


Makalah dipresentasikan oleh

Y.M. Sheikh Abdulaziz Al-Quraisy
Mantan Gubernur Otoritas Moneter Saudi Arabia dan
Anggota Dewan InterAction

PADA kesempatan Dialog Lintas Agama ini dan sebagai anggota Dewan nonpolitik dengan karier yang cukup lama dalam pelayanan sipil dan bisnis, saya memilih untuk berbagi pandangan saya dengan Anda tentang masalah etika dalam bisnis secara singkat, khususnya di bidang keuangan. Kurangnya nilai-nilai etika merupakan faktor utama penyebab financial bubble tahun 2007 yang menyebabkan krisis di mana dunia hingga saat ini masih mencoba untuk bangkit dan pulih dari imbasnya. Di luar bidang keuangan, nilai-nilai etika bukanlah merupakan inti karena bisnis menghasilkan barang dan jasa yang pelanggan dapat teliti atau periksa dengan cermat. Sebagai contohnya, jika Anda berencana untuk membeli mobil, Anda dapat melakukan tes uji coba (test drive) pada sejumlah mobil dan Anda bisa menilai mobil mana yang paling sesuai dengan kebutuhan Anda. Perusahaan yang memproduksi mobil buruk tentu saja tidak akan bertahan di pasar. Tetapi keuangan berbeda karena bergantung pada kepercayaan.


Etika keuangan

  Bankir selalu mengerti bahwa reputasi etis mereka adalah bagian penting dari menjaga bisnis mereka. Lalu bagaimana bisnis, terutama etika keuangan, dapat runtuh total? Singkatnya, saya pikir, itu adalah karena “kejangkapendekan” dan budaya bonus. Apa yang bisa kita lakukan untuk mengembalikan standar etika dalam bisnis dan keuang- an? Mari saya mulai dengan membuat dua poin yang jelas:

  • (1)  Perbedaan antara kejujuran positif dan kejujuran pasif, dan
  • (2)  Pentingnya kepemimpinan 

Kejujuran pasif adalah keadaan di mana orang menjauhkan diri dari melakukan tindakan yang tidak jujur. Ini adalah kebenaran yang menyedihkan karena mayoritas orang jujur secara pasif tetapi tidak jujur secara positif (kejujuran positif melibatkan tindakan positif untuk menjaga etika). Kejujuran pasif dapat ditegakkan oleh polisi dan hukum, dan dalam bisnis oleh petugas kepatuhan. Tapi kejujuran positif datang dari dalam diri individu dan didasarkan pada nilai- nilai yang telah ia pelajari. Kejujuran positif dipelajari dari role model Anda: dalam masyarakat ada orang tua, guru, atau orang yang Anda kagumi, sedangkan dalam bisnis ada bos Anda, terutama bos pertama Anda ketika Anda memulai kerja. Kita tidak bisa mengiring kembali ke praktik bisnis etis hanya dengan melalui hukum dan peraturan: standar ini harus datang dari dalam diri juga.
  Krisis keuangan global baru-baru ini pada dasarnya merupakan hasil dari erosi modal sosial dan etika di kalangan bankir. Meskipun krisis itu terkait dengan pengendalian risiko yang buruk yaitu leverage massal dan ketidakpedulian terhadap pasaran perumahan yang mengalami kondisi financial bubble, akar permasalahannya sebenarnya terletak pada keruntuhan total perilaku etis di kalangan industri keuangan dan tidak adanya rasa tanggung jawab fidusia untuk klien utama. Misalnya, dalam krisis pinjaman subpokok baru-baru ini di mana insentif lebih terkait kepada volume bisnis daripada kualitas bisnis,agen hipotek merasa terdorong untuk memasang hipotek sebanyak mungkin yang mereka bisa tanpa mempertimbangkan kualitas si peminjam. Bank menyetujui hipotek, memberikan pinjaman kepada klien dan menjual pinjaman hipotek ke mortgage pool yang pada akhirnya pinjaman tersebut dijual kepada investor. Underwriting standards menurun (contohnya menjual pinjaman hipotek untuk orang-orang yang tidak mampu membelinya). Akibatnya, investor terakhir menjadi korban dari praktik tipuan bank dalam permainan kotor dan serakah ini.

  Selain itu, peran lembaga rating dipenuhi dengan konflik kepen- tingan sampai pada titik di mana “hubungan simbiosis” antara sejumlah lembaga dan bank dicurigai. Rating yang tinggi pada produk-produk terstruktur kompleks oleh lembaga rating membuat produk-produk tersebut terlihat seperti sebuah risiko yang lebih menguntungkan dengan hasil pengembalian yang lebih tinggi. Dengan demikian, ada ketergantungan yang berlebihan dan kesalahpahaman pada rating.
  Kesimpulan dari krisis kredit subpokok tersebut adalah bahwa etika bisnis dan nilai-nilai korporasi sedang menghadapi tantangan keserakahan dunia. Hal ini berkaitan dengan kelemahan struktural dalam hal pengawasan terhadap bank dan cara bank beroperasi. Regulasi ulang industri perbankan perlu dilakukan untuk melawan praktik yang tidak etis. Etika perbankan menjadi topik hangat saat ini, dan yang perlu digarisbawahi adalah bahwa integritas dan etika harus datang dari dalam diri, secara internal dan sukarela. Nilai-nilai moral harus dipelihara oleh industri perbankan melalui pelatihan staf.

Hubungan antara Iman dan Etika
  Dalam hal hubungan antara etika dan iman, semua agama meng- ajarkan moralitas dan etika. Agama-agama mayoritas dapat menawar- kan kita bantuan dalam hal ini. Misalnya, Islam tidak hanya memberikan perlindungan hukum, tetapi juga sistem moral yang sangat efektif. Ini adalah fakta yang secara umum diamini bahwa masyarakat dengan komitmen agama yang kuat memiliki tingkat kejahatan yang lebih rendah. Hal ini karena agama mengajarkan kita untuk melihat orang lain sebagai kita dan berperilaku baik terhadap mereka. Nilai-nilai moral tentunya sangat penting untuk kesejahteraan seluruh umat. Secara garis besar, ada lima prinsip dasar etika umum untuk semua agama:
 


  1. Jangan merugikan orang lain

  2. Ciptakan hal-hal yang lebih baik

  3. Hormati orang lain

  4. Adil

  5. Jadilah penuh kasih 

Nilai-nilai tersebut bersifat lintas budaya dan harus diajarkan di rumah dan di sekolah untuk mencapai masyarakat yang lebih baik.
  Seperti kita ketahui, etika dan moral sering dikaitkan dengan agama, tetapi sekolah juga dapat memberikan pelajaran penting dalam hal pemikiran dan tindakan etis. Ada ruang di sekolah dan perguruan tinggi untuk mengajari generasi muda tentang kode etik, yang kita tahu bahwa hal tersebut akan efektif. Saat ini, apa yang dapat mereka pelajari dari budaya konsumen adalah bahwa “keserakahan itu baik”. Tetapi keserakahan sebenarnya adalah panduan yang sangat buruk bagi kehidupan. Keserakahan dapat membuat kita mengorbankan semua kebaikan yang ada saat ini untuk keuntungan masa datang yang masih merupakan ilusi, seperti halnya ketika seorang manusia biasa kehilangan simpanan atau tabungannya dalam aset financial bubble. Atau, keserakahan dapat membuat kita membuang keamanan masa depan untuk kesenangan kecil saat ini. Keserakahan mengajarkan kita untuk memperlakukan orang lain sebagai objek untuk dieksploitasi, bukan sebagai makhluk seperti kita sendiri yang tujuannya juga harus dihargai.
  Islam sebagai pedoman hidup yang komprehensif mencakup sistem moral yang lengkap, yang berasal dari keyakinan utama yaitu keyakinan pada satu Tuhan sebagai Pencipta dan Pemelihara Alam Semesta.

Tata kelola perusahaan di kawasan MENA
  Tata kelola perusahaan merupakan konsep yang relatif baru di kawasan MENA. Meskipun kehadirannya yang masih baru di kawasan tersebut, tata kelola perusahaan telah membuat kemajuan yang signifikan. Daerah ini telah berada di jalur yang tepat, tetapi tantangan tetap saja ada. Di Arab Saudi, dasar-dasar tata kelola perusahaan (transparansi, pelaporan rutin dan audit independen) dilakukan dengan ketat. Bahkan, tata kelola perusahaan yang sesungguhnya menjadi tujuan kebijakan publik yang penting. Pemerintahan yang baik mengurangi kerentanan pasar terhadap krisis keuangan, dan peme- rintahan yang lemah mengurangi kepercayaan investor. Penerapan tata kelola perusahaan memberikan beban pada setiap orang (regulator, pemimpin bisnis dan reformis) untuk dapat melaksanakannya dengan lancar tanpa hambatan.

Kesimpulan
  Kesimpulannya, kode etik bukanlah obat mujarab jika sengaja diabaikan. Aturan dan peraturan bukanlah pengganti integritas pribadi; mereka hanya bisa menegakkan kejujuran pasif. Kejujuran positif harus berasal dari kode etik yang kita pelajari ketika kita masih anak-anak dan ketika kita memulai pekerjaan pertama kita. Perubahan harus datang dari dalam diri kita dan dunia usaha harus memiliki pemimpin dengan moral yang kuat. Para pemimpin bisnis dan politisi harus menunjukkan dalam hidup mereka sendiri bahwa mereka adalah orang-orang yang etis. Dengan kata lain, kepemimpinan harus ditunjukkan dalam tindakan, bukan hanya posisi atau jabatan. Keserakahan bukanlah panduan yang baik untuk meraih kehidupan yang berharga dan bermakna, juga bukan merupakan panduan yang baik untuk menjalankan bisnis demi kesuksesan. 
  Intinya adalah mengajarkan etika di sekolah-sekolah memberikan pendekatan yang menyegarkan bagi pendidikan moral. Ini menunjukkan bagaimana model berbasis etika dapat mempengaruhi kebiasaan pikir-an dan mendorong siswa untuk berpikir untuk dirinya sendiri dan mengembangkan penilaian moral yang baik. Dunia liberal mungkin menyebutnya sebagai langkah reaksioner, namun pada kenyataannya hal tersebut nampak sebagai sebuah pendekatan yang tepat. Menjunjung tinggi nilai-nilai moral adalah satu-satunya solusi untuk degradasi moral dan anarki budaya dalam masyarakat modern. Selain itu, para pemegang kepentingan (stakeholder) dapat memainkan peran penting dalam memegang akuntabel komunitas perusahaan dari pelanggaran etika melalui anjak piutang etika bisnis perusahaan ke dalam keputusan pembelian dan investasi mereka.






LIBERALISASI DAN AKTIVASI
NORMA-NORMA ISLAM DALAM
PENGAMBILAN KEBIJAKAN POLITIK




Makalah oleh



Dr. Hamzah Mohammed Al Salem

Profesor Ekonomi, Prince Sultan University
Kolumnis Al Jazeera, Arab Saudi


DASAR rasional dalam mencapai kode etik umum bertumpu pada asumsi bahwa dunia berbagi satu kehidupan tunggal serta semua telah menyadari dan menyetujui dasar etika alami dari kehidupan manusia. Walaupun etika tersebut merupakan esensi dari berbagai agama, orang-orang saling ribut dan tidak setuju melawan satu sama lain di bawah slogan mereka sendiri. Bukti untuk hal ini adalah sabda Nabi Islam, Muhammad (Saw), di mana ia mewujudkan agama secara keseluruhan dalam etika. Dia bersabda, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.
  Kontribusi saya akan didedikasikan untuk Islam Sunni. Para pengikut setiap agama memiliki pertimbangan sendiri. Kami, Muslim, sangat unik dalam hal ini. Kami masih tidak memisahkan agama dari kehidupan dan politik. Agama merupakan faktor dominan dalam membentuk budaya atau mengidentifikasi metode berpikir kami, sehingga agama menjadi faktor yang efektif bagi kami dalam membuat keputusan dan menentukan pilihan. Saya akan fokus pada solusi yang dapat mengakhiri meningkatnya kesenjangan antara Islam dan Barat.
  Ada peningkatan risiko atas pembagian fundamentil antara Barat dan Islam saat ini. Oleh karena itu, penyebaran etika umum tersebut tampaknya sungguh penting dan mendesak. Pertanyaan yang saya akan bahas adalah “Bagaimana kita bisa membebaskan etika Islam sehingga etika tersebut akan menjadi bagian dari pertimbangan para pemimpin negara-negara Islam?”
  Pertanyaan ini mengasumsikan adanya etika Islam yang di- tahan dan dibatasi. Ketika etika Islam dibebaskan, hal ini akan membentuk anggapan bahwa etika tersebut akan dimasukkan ke dalam pertimbangan oleh para pemimpin politik dari negara-negara Islam. Setiap kali kata “etika” disebutkan, yang kita maksud adalah hanya sebagian yang menguntungkan, yang oleh berbagai agama dapat adopsi ketika berhubungan dengan agama dan doktrin lainnya, meskipun terdapat perbedaan-perbedaan di antara agama-agama tersebut. Sebagai contohnya, saya menjadi tidak adil dan patuh karena agama atau doktrin saya memerintah ini dan itu, tetapi keadilan dan kepatuhan tetap harus menjadi karakter saya tanpa memandang agama dan doktrin yang saya anut. Jadi, jawaban yang saya akan coba untuk sajikan harus mencakup apa yang dimaksud dengan pengekangan etika Islam. Inti dari argumen saya akan menjadi metode pembebasan etika Islam dan menggabungkan mereka ke dalam etika manusia secara umum. Pada akhirnya, hasil dari pembebasan etika Islam akan memandu para pemimpin negara Islam untuk mengadopsi etika ini dan memasukkannya dalam proses pengambilan keputusan.
  Pertama, pertanyaan berasumsi bahwa etika Islam melarang keke- rasan dan pertempuran, tetapi etika ini dikekang. Ini perlu untuk ditanyakan “Apakah agama, termasuk Islam, menyeru untuk meng- hindari perang dan pertumpahan darah?” Tidak seperti agama-agama lain, Kristen dan Islam khususnya, mengadopsi panggilan Jihad suci untuk menyebarkan agama. Dalam praktiknya, agama secara umum menjadi alasan terjadinya perang, atau menjadi alasan untuk melegi- timasi perang ekonomi dan politik, baik intraagama maupun antar- agama. Dengan demikian, etika dalam agama-agama yang didakwahkan ini tidak selaras dengan panduan umum etika manusia kecuali dalam batasan dan pelarangan tertentu. Namun pada kenyataannya, etika dibatasi oleh pembatasan dan pelarangan ini.

  Teori Islam dan Kristen menyerukan kasih sayang antarmanusia dan akhlak yang baik dalam berhubungan dengan negara-negara yang lain. Sementara itu, keduanya juga menyeru untuk melawan negara- negara lain dengan dalih perang suci, termasuk perang doktrinal, sektarian dan politik. Konsep yang diajukan oleh dua agama, seperti solidaritas, perdamaian, dan akhlak dibatasi oleh fakta bahwa supremasi, penghargaan, dan aturan hanya dinikmati oleh orang-orang Kristen dan Muslim. Para pengikut agama-agama lain adalah golongan kelas kedua yang dikenakan pajak, biaya dan upeti; kemudian solidaritas, kasih sayang dan akhlak ditunjukkan dengan tidak menyerang kehormatan, properti dan darah dari golongan kelas kedua.
  Pengekangan ini mencegah etika Islam yang penuh kasih untuk menjadi bagian dari panduan umum etika manusia dalam penghapusan kekerasan dan pertumpahan darah. Hal ini dapat diatasi dengan membahas bagaimana supaya etika Islam dapat terbebaskan dari unsur- unsur yang menghalanginya dari ketidaksesuaian dengan etika manusia untuk mencapai apa yang Nabi Muhammad Saw. sabdakan, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Ini merupakan konsep solidaritas dan etika dalam memperlakukan agama lain oleh umat Islam.
  Bisakah kita membuat sejarah Islam yang terkadang superior ke dalam praktik dengan cara membuat etika Islam memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan oleh seorang politisi Islam? Atau kita harus merumuskan ulang pertanyaannya menjadi: “Mengapa umat Islam sering memperlakukan non-Muslim dengan kasih sayang lebih dibandingkan dengan sesama Muslim dengan doktrin yang berbeda?” Apakah alasannya karena adanya perintah yang kuat dan eksplisit untuk mengasihi non-Muslim dalam Al-Qur’an namun tidak ada perintah yang sama yang ditujukan untuk mengasihi sesama Muslim dengan ajaran atau doktrin yang berbeda? Atau apakah karena perlakuan baik terhadap non-Muslim berpotensi memungkinkan seseorang untuk menjadi pemimpin Muslim dalam politik? Tidak diragukan lagi, asumsi kedua benar. Beberapa sahabat senior Nabi Muhammad Saw. berperang melawan satu sama lain dalam pertempuran, yang ditandai dengan kekerasan dan kekejaman. Perintah perlakuan yang baik terhadap non- Muslim muncul sebagai konteks etika umum dalam teks Al-Qur’an yang penuh rahmat dan kebaikan. Saya tidak percaya bahwa etika Islam merupakan alasan untuk perlakuan baik ini, tetapi merupakan dalih untuk mencapai kepentingan lainnya.
  Perlakuan Muslim yang baik dan penuh penghormatan bagi kaum non-Muslim pada masa lampau memiliki alasan sosial, ekonomi dan politik. Alasan sosialnya adalah bahwa umat Islam tidak membenci ras lain. Bangsa Arab, pembawa Islam beserta sumber peraturan dan dominionnya, merupakan bangsa minoritas dan bangsa lain adalah mayoritas. Keberadaan kaum non-Muslim tidak menciptakan gangguan politik dan masalah rasial seperti xenofobia dan kebencian kepada orang-orang yang ingkar terhadap agama atau tradisi, sebuah alienasi alami eksis dalam lingkungan masyarakat yang homogen. Masyarakat Muslim tidaklah homogen secara ras dikarenakan dominasi Bangsa Arab.
  Alasan politiknya adalah pentingnya upeti yang non-Muslim bayar dan pengalaman yang mereka berikan kepada umat Islam. Alasan lainnya adalah ketidakmungkinan perjuangan non-Muslim untuk memerintah negara-negara Islam karena perbedaan agama. Dengan demikian, para pemimpin politik mendapati bahwa etika yang Islam bawa akan digunakan untuk kepentingan publik dan mengadopsinya. Etika ini juga berfungsi sebagai publisitas yang baik dengan perlakuan yang baik dari non-Muslim seperti yang diputuskan dalam Syariat Islam, diiringi dengan ketiadaan keengganan rasial dari pihak Muslim. Perlu digarisbawahi bahwa etika membuat pemimpin-pemimpin Muslim akan mengadopsinya hanya jika etika tersebut berguna dan efektif.
  Pertanyaan berikutnya adalah “mengapa sebagian Muslim berdiri sendiri melanjutkan metode sebelumnya yang diwakili oleh pemikiran perang suci?” Di era modern, peran agama menjadi terbatas pada aspek spiritual dan kehidupan akhirat. Dewasa ini, kebanyakan Muslim tidak lagi menggunakan agama mereka sebagai sebab nyata pernyataan perang atau sebagai kendaraan pemicu kebencian mendarah daging, kecuali jika terjadi hal sebaliknya. Kebencian menimbulkan kebencian dan kekerasan menciptakan kekerasan. Peran agama dalam perang kontemporer hanyalah untuk menyebarkan kesabaran dan rasa belasungkawa antarprajurit dan penderitaan dan kesedihan yang mendalam dari kematian dan pemakaman.
  Alasan untuk hal ini adalah bahwa umat Islam masih menyangkal dan tidak menerima kenyataan keterbelakangan mereka dalam ilmu pengetahuan dan ekonomi. Ketika mereka tidak mendapati apa-apa untuk dibanggakan di antara bangsa-bangsa lainnya, mereka menggunakan Islam untuk bersaing dalam hal kemuliaan dengan bangsa-bangsa lain. Islam menjadi satu-satunya prestise dan kehormatan yang dengannya orang Islam mampu menghadapi negara-negara lain. Karena hal ini, umat Islam tidak akan menerima konsep apa pun yang menempatkan agama pada pijakan yang sama. Jika mereka melakukannya, Muslim secara psikologis percaya bahwa mereka akan kehilangan apa yang membedakan mereka dari negara-negara terbelakang dan mengangkat mereka ke level dunia yang beradab. Jadi setiap solusi yang mengandung konsep kesetaraan agama tidak akan berhasil kecuali itu berasal dari konsep Islam.
  Ini adalah fakta yang terlihat jelas bahwa ekstremisme adalah fenomena manusia alami yang ditemukan dalam masyarakat. Bahkan bisa dikatakan bahwa ekstremisme merupakan bagian dari distribusi normal pemikiran sosial di semua tempat. Hal seperti ini ditemukan di semua agama, budaya dan masyarakat, tetapi terkadang menghilang di depan umum. Ekstremisme sangat mungkin muncul sebagai faktor aktif dalam dua kasus berikut:


  1. Ketika struktur intelektual masyarakat memotivasi dan membantu munculnya terorisme, seperti komunitas Islam.

  2. Ketika ekstremisme timbul sebagai reaksi yang sama atau reaksi balasan dari ekstremisme yang berasal dari agama yang bermusuhan; misalnya, munculnya ekstremisme dalam komunitas non-Muslim merupakan reaksi terhadap ekstremisme Islam. 

Kebanggaan seorang Muslim secara langsung atau tidak langsung berpusat pada Jihad dan berperang. Melalui Jihad, Muslim keluar dari kebodohan dan kemiskinan Semenanjung Arab dan mencapai kekuasaan monarki. Melalui Jihad, mereka membuktikan rahmat umat Muslim bagi negara-negara lain dan mendirikan sebuah kerajaan yang menghasilkan ilmu pengetahuan dan peradaban perkotaan. Keyakinan bahwa Islam adalah alternatif peradaban modern diiringi dengan mimpi membangun kekhalifahan Islam dan kebanggaan Jihad telah membuat Islam menjadi sebuah kendaraan mudah dipakai oleh para oportunis dan ekstremis. Muslim biasanya menyambut dan mendorong setiap gerakan Islam baru atau partai politik.
  Dalam konteks ini, terbentuknya ekstremisme akan menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi golongan kaum Muslim sendiri daripada terhadap negara-negara lain. Hal ini karena umat Islam, tidak seperti orang lain, pada umumnya hidup untuk mimpi ini dalam kehidupan mereka saat ini. Selain itu, tidak seperti non-Muslim yang tidak tahu tentang isi agama mereka, Muslim membaca Al-Qur’an siang dan malam dan mendengarkan ayat-ayat tentang Jihad dan barang rampasan.
  Praktik penggunaan agama sebagai sumber kebencian, atau meng- gunakannya sebagai kendaraan untuk mencapai target dan kepentingan politik publik dan pribadi, juga terdapat di agama-agama lain seperti yang terjadi di Balkan. Saat ini, dapat sering dijumpai bahwa kebencian timbul sebagai reaksi balasan dari kebencian yang timbul karena agama. Hal ini terwujud dalam sengketa etika di negara-negara terbelakang. Hal ini juga ditemukan dalam reaksi di Amerika dan Eropa setelah serangan 11 September. Jika umat Islam ekstremis menyebabkan provokasi kebencian agama, pihak lain tidak akan memiliki alasan atas reaksi mereka. 
  Setiap orang berpendidikan mengetahui bahwa utopia manusia yang disebut-sebut oleh berbagai agama, termasuk Islam, tidak pernah terwujud di tingkat masyarakat untuk setiap periode waktu. Bukti yang tidak dinyatakan adalah bahwa Islam saat ini dan selama berabad-abad lamanya hanya dipraktikkan dari aspek spiritual dan formalitas ibadah. Pentingnya bagian relijius ini secara bulat disepakati dikarenakan signifikansi dan dampaknya dalam mereformasi masyarakat.
  Ketika sampai pada aspek aplikasi, apa yang sebagian besar diterapkan saat ini tidak ada hubungannya dengan Islam. Perlakuan dan hubungan antarindividu dalam masyarakat Muslim di bawah pemerintahan Islam hanyalah sebuah yurisprudensi manusia yang tidak berhubungan dengan agama. Yurisprudensi tersebut telah terakumulasi selama berabad-abad di mana kepentingan pribadi bercampur dengan kepentingan politik dengan tindakan pengekangan, kekerasan, penguasaan dan pemborosan. Hal ini karena semua motif dan argumen ekstremisme, dan asal mula pembatasan etika Islam, didasarkan pada hukum manusia seperti itu. Cara untuk mengatasi yurisprudensi manusia ini dalam Islam Sunni berbeda dari cara mengatasi yurisprudensi dalam agama-agama atau doktrin lainnya. Otoritas keagamaan adalah sarana untuk menyelesaikan masalah keagamaan di semua agama dan doktrin, kecuali Islam Sunni.
  Otoritas agama adalah alat bagi pelegalan perang dan pertempuran bagi para politisi dan mereka yang memiliki kontrol kekuasaan. Namun, agama juga menjadi metode yang efisien untuk menyebarkan etika kemanusiaan setelah etika tersebut dipisahkan dari politik. Peran agama telah terbatasi pada sektor spiritual. Peraturan Islam Sunni tidak mengenal otoritas terpadu, dan dalam dunia Sunni otoritas seperti itu mustahil untuk dibangun. Tidak adanya otoritas terpadu adalah perbedaan utama antara Muslim Sunni dan doktrin Islam lainnya.
  Sebagai akibat dari politik dan agama yang saling berlomba sejak abad-abad awal Islam, perdagangan industri hukum Islam (Fiqh) dan industri ahli hukum berkembang. Politisi menggunakan para ahli hukum untuk melayani kepentingan mereka. Masyarakat membutuhkan ahli hukum yang mampu memahami perasaan dan keinginan mereka; kebutuhan fisik juga menghasilkan ahli hukum; begitu pula dengan para pengikut doktrin dan kaum revolusioner menghasilkan ahli hukum mereka sendiri (Foqaha’a). Akibatnya, banyak sekali ahli hukum yang terbentuk dan perintah dalam Islam dalam kehidupan masyarakat telah bercampur. Dan setiap ahli hukum menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan konsistensi kariernya. Dengan demikian, etika digunakan untuk pembunuhan dan penghancuran lawan serta untuk melayani kepentingan ekonomi dan politik dalam sejumlah kasus tertentu.
  Ahli hukum begitu antusias dalam memenuhi permintaan untuk memproduksi lebih banyak yurisprudensi; sehingga, mereka akhirnya turut campurtangan dalam hal masalah terkecil kehidupan umat Islam dan membuat agama sebagai sebuah kekuatan yang terlibat dalam permasalahan yang sebelumnya tidak melibatkan unsur agama di dalamnya. Meskipun desentralisasi ini, pendekatan hukum yang mudah dimengerti dan yang nampaknya mengikuti ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunah ini secara tidak diragukan lagi merupakan pendekatan yang paling berpengaruh dan diterima di kalangan masyarakat Muslim. Pendekatan ini sulit, tidak fleksibel dan memberikan tekanan bagi kebebasan manusia.
  Jadi, solusi praktis dari ketiadaan otoritas terpadu bagi Muslim Sunni adalah mereka harus kembali pada para ulama sipil tentang sumber dan realitas Islam dengan mengikuti dan memahami teks Al- Qur’an dan Sunah yang sebenarnya berdasarkan petunjuk yang benar dari para khalifah dan sahabat dekat Nabi Muhammad Saw.. Hal ini dapat dicapai dengan cara menghapus apa yang para ahli hukum telah perkenalkan dan masukkan ke dalam agama selama berabad-abad. Jika hal ini tercapai, struktur agama yang memotivasi para ekstremis akan hilang. Dasar perintah wajib atau larangan yang dikenakan pada umat Islam berasal dari pendapat para ahli hukum selama 14 abad lamanya. Pendapat tersebut sungguh tak berdasar atau secara tidak tepat diambil dari teks.
  Dasar dan struktur Islam sangat jelas dalam teks-teks Al-Al-Qur’an dan Sunah. Islam adalah agama yang mudah yang membahas naluri manusia; Islam bukanlah agama kekerasan atau larangan. Sejumlah larangan dan perintah dalam Islam dalam teks Syariah merujuk pada perbuatan dan tindakan Nabi Muhammad Saw. dan sahabat seniornya. Semua larangan dan perintah tersebut ditujukan untuk pemenuhan akhlak seperti larangan membunuh, berzina, penyerangan, dan lain- lain. Larangan-larangan lainnya ditahbiskan untuk sejumlah tindakan yang dapat melanggar larangan. Sebuah perintah atau kewajiban dapat dibatalkan jika tidak memiliki sebab atau alasan yang mendasarinya. Seseorang yang memutuskan hilangnya sebab dan pembatalan perintah adalah orang yang bertanggung jawab atau orang yang mengambil tindakan, bukan ahli hukum atau pemimpin agama. Ini mengakhiri penahanan agama atas masyarakat dan individu. Dan penahanan adalah motif yang paling penting dari ekstremisme. Hal ini juga mengakhiri argumen Jihadi ekstremis intelektual.
  Contoh tepat dari hal ini adalah perintah pendistribusian rampasan perang oleh Nabi Muhammad Saw. dan Khalifah Abu Bakar. Umar, khalifah kedua, datang dan membatalkan prosedur ini dikarenakan ketiadaan alasan yang mendasarinya. Distribusi rampasan perang merupakan sarana Jihad yang membawa kita kepada sebuah tujuan yaitu perlindungan masyarakat dan penyebaran Islam. Karena distribusi rampasan perang telah menjadi kendala bagi Jihad, Umar membatalkan distribusi tersebut. Bukti-bukti dan keterangan tentang hal tersebut banyak sekali dan secara bulat ditetapkan oleh Muslim Sunni. Mayoritas cara ini tidak ada ataupun digunakan saat ini.
  Contoh lain adalah Jihad yang digunakan oleh para ekstremis sebagai sebuah dalih. Jihad adalah salah satu isu yang dibatalkan dikarenakan ketiadaan sebabnya. Saat ini, alasan-alasan untuk dilaksanakannya Jihad sudah tidak ada karena adanya masyarakat sipil, dialog dan komunikasi. Jihad adalah sebuah sarana, bukan tujuan. Jihad adalah sebuah sarana untuk menyatakan panggilan untuk Islam dan perlindungan umat Muslim dari musuh-musuhnya. Namun, baik alasan untuk menyerang dan pertahanan tidak ada saat ini. Jika Umar dapat dihidupkan kembali, ia akan membatalkan Jihad seperti yang ia lakukan terhadap rampasan perang dan hal-hal lain.
  Idealnya adalah ibadah dan perilaku seorang Muslim sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw.. Hal ini diwujudkan dalam sabda Nabi: “Salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku salat”; “Beribadahlah seperti aku”. Hal yang termudah yang dapat dilakukan oleh seorang Muslim adalah ketika ia melakukan sesuatu yang ia mampu; jika ia tidak mampu, maka tidak rugi atau salahnya, persis seperti dikatakan oleh Nabi Muhammad Saw.: “Lakukan (sekarang) dan tidak ada ruginya”. Allah juga berfirman: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”. Individu Muslim sendiri yang memutuskan tingkatan ibadahnya sendiri kepada Allah seperti yang telah secara jelas dinyatakan dalam ayat Al-Qur’an. Masyarakat tidak boleh dipaksakan pilihannya dalam beribadah.
  Hal ini dapat ditemui di berbagai masyarakat Muslim. Contohnya dalam dunia modern ada cukup banyak. Wilayah di bawah kepemim- pinan Taliban mencoba untuk melakukan hal ini dengan kesempurnaan maksimal. Para pemimpinya membuat kekeliruan ketika mereka berusaha untuk memaksakan kesempurnaan tersebut pada seluruh masyarakat. Hal ini tidak mungkin. Masyarakat tidak seperti para nabi dalam hal etika dan kesabarannya. Jadi, mereka gagal setelah mereka berjuang secara mental dan merasakan kebingungan yang luar biasa.
  Di sisi lain, kita mendapati Turki, mencoba untuk memaksakan upaya terendah kepada masyarakatnya. Masyarakat Turki membenci sekularisme pemerintahannya. Saat ini, Turki dan Malaysia memberikan pilihan bagi individu dalam masyarakat. Mereka telah menjadi dua contoh yang ideal bagi umat Islam dan negara-negara lain. Muslim saat ini lebih memiliki rasa kebanggaan dan afiliasi ke Turki dan Malaysia. Masalah mereka adalah bahwa mereka tidak memiliki struktur yang benar-benar Syar’i dalam model yang mereka terapkan. Hal tersebut juga merupakan hambatan bagi negara-negara Muslim lainnya dalam menerapkan model Turki dan Malaysia. Namun, model mereka juga menggunakan unsur-unsur agama di bidang ekonomi dan politik.
  Panggilan untuk Islam oleh Sekolah Wahabi diperlakukan sama seperti mayoritas agama lainnya. Mereka terkadang difitnah dan para pe- mimpinnya terkadang juga keliru. Hal ini disertai dengan pertumpahan darah yang didikte oleh kebutuhan dan budaya yang ada pada saat itu. Hal tersebut telah didukung secara agama, ilmiah, politik serta material dan memiliki kerangka acuan rencana untuk mengembalikan Islam sesuai asalnya yang datang bersama Nabi Muhammad Saw.. Asal mula ini dibatasi antara kesempurnaan maksimal yang tercantum jelas dalam sabda Nabi, “Salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku salat”dan upaya terendah yang secara jelas dimanifestasikan dalam perkataan Nabi: “Lakukan (sekarang) dan tidak ada ruginya”, dan firman Allah: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”.
  Saya ingin membuktikan bahwa Panggilan Wahabi Salafi adalah hal yang paling tepat untuk memperbaiki kebobrokan di dunia Muslim. Panggilan ini menegaskan pentingnya ritual dan memberi mereka prioritas atas akhlak. Panggilan ini juga menegaskan tidak adanya mediator antara Muslim dan Tuhannya. Dalam beribadah dan berperilaku, seorang Muslim tidak memperhatikan pendapat dari ahli hukum atau manusia setiap kali pendapat tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an atau Sunnah. Jika hal ini belum diterapkan dalam akhlak, maka itu adalah saatnya untuk menerapkan panggilan tersebut. Panggilan Wahabi memilih menghindari konsep mediator, Panggilan tersebut mengadopsi pendekatan Nabi Muhammad Saw. dalam memanggil orang ke dalam Islam.
  Hal ini dimulai dengan memurnikan hati. Hati harus difokuskan untuk monoteisme murni (Tauhid) kepada Allah semata dalam beribadah. Pada tahap kedua, Panggilan Wahabi memberikan perhatian pada pemurnian akhlak seperti yang Nabi Muhammad Saw. lakukan dalam melakukan panggilan di Mekah dan Madinah. Sayangnya, Negara Saudi Pertama runtuh pada awal abad ke-19. Hal ini berarti bahwa Panggilan Wahabi tidak mampu memenuhi tahap kedua untuk memurnikan hati serta membuat mereka jelas dan murni hanya untuk Allah dan sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunah tanpa penyesuaian dengan pendapat para ahli hukum dan buku.
  Sekarang adalah saatnya untuk melaksanakan tahap kedua Panggilan Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Kondisi saat ini cocok untuk aspek politik, sosial dan agama; kondisinya juga mendesak dan perlu. Dengan perluasan panggilan Wahabi untuk memasukkan akhlak, konsep penerapan putusan pada sarana dan tujuan akan diefektifkan. Kemudian keterbatasan pada penerapan etika Islam akan berkurang dan kita bisa keluar dari penjara pengekangan. Ada sejumlah alasan logis bagi umat Islam untuk menerima solusi ini.Secara politis, para pemimpin negara Islam sedang menghadapi bahaya Jihad Islam dan panggilan untuk Politik Islam. Mereka akan menyambut gerakan korektif baru ini yang dapat mencegah bahaya tersebut dan mengumpulkan dukungan politik. Karena Panggilan Wahabi adalah pendekatan Islam yang diikuti di Arab Saudi, bisa diduga bahwa para pemimpin Arab akan sangat tertarik dalam memberikan dukungan politik dan ekonomi.
  Ekstremis terkadang ujur; ia tidak menerima pemalsuan dalam menafsirkan teks-teks Syariah (teks Al-Qur’an dan Sunah). Kesung- guhannya memaksa dia untuk mematuhi teks-teks absolut jika mereka ditafsirkan dengan benar. Ekstremis mematuhi teks dan menerapkannya dengan sungguh-sungguh walaupun keliru dalam dalam penalaran logisnya (aturan hukum).Sekolah Wahabi, walaupun secara radikal dan substansial berbeda dari pemikiran ekstremis, bersifat serupa dalam hal komitmen dan pemahaman mereka terhadap teks Syariah (teks Al-Qur’an dan Sunah). Jadi, Sekolah Wahabi ini adalah sekolah Islam terbaik untuk mengakomodasi cara berpikir mereka. Jika Sekolah Wahabi melengkapi bagian praktis dalam memulihkan penalaran ilmu hukum dengan menggunakan penalaran hukum yang benar (logika), ini akan menjadi perluasan dari pendekatan hukum dalam ibadah dan pemahaman iman.
  Panggilan intelektual biasanya dinyatakan dalam pemahaman ulang Al-Qur’an yang didasari oleh keinginan dan kepentingan mereka sendiri. Kepentingan pribadi adalah dalih dari semua konstitusi, pemerintahan, pergerakan dan ekstremisme. Banyak gerakan intelektual atau doktrin, yang mencoba untuk menjauhkan Islam dari eksploitasi politik dan komersial, berusaha untuk membuat Islam terwujud sebagai mana aslinya. Namun, tak seorang pun berusaha untuk membebaskan Islam dari industri yurisprudensi yang telah berlangsung selama berabad- abad. Jika Panggilan Wahabi Salafi melebarkan sayap untuk mencakup area akhlak dan etika, hal tersebut dapat melindungi Islam dari politik dan ekonomi serta dari eksploitasi ekstrem di bawah dalih Al-Qur’an dan Sunah. Dengan menerapkan wahyu murni yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., tidak ada yang bisa memanfaatkan Islam secara politik atau untuk kepentingan mereka sendiri. Hal ini juga akan berarti bahwa umat Muslim dapat terus berbangga dengan agamanya dan meraih impian mereka untuk mengaplikasikan Islam di negaranya serta menjauhkannya dari kekerasan.
  Salafisme Wahabi dapat membantu mengurangi dukungan intelektual dan jihadi yang ekstremis peroleh dari masyarakat Islam. Jika kita berhasil mencapai hal ini, umat Islam akan dimasukkan dalam sasaran majelis kemanusiaan atas dasar akhlak yang baik. 

Diskusi
Ketua Vassilliou: Sebetulnya, semua yang ada di sini tahu apa itu aturan perilaku etis. Mungkin ada beberapa perbedaan, tapi pertanyaannya sederhana sekali. Apakah kita mengharapkan orang untuk bertindak atas niat baik mereka sendiri, atau mereka harus mendengarkan rabi, pengkhotbah, dan biksu tentang apa yang harus mereka lakukan? Atau apakah Anda ingin membuat kondisi dalam masyarakat kita, yang akan memberikan tekanan pada bisnis dan para pemimpin politik untuk berperilaku dalam cara yang lebih etis? Menurut pendapat saya, jika kita mengharapkan orang-orang berbuat hal tersebut atas dasar kehendak mereka sendiri, kemungkinan terjadinya hal ini sangatlah jauh. Beberapa dari mereka, seperti Gandhi dan Mandela, berperilaku seperti itu dan mereka mengubah dunia. Tapi hal itu tidaklah cukup. Itulah sebab saya ingin diskusi ini bergerak untuk melihat apakah masyarakat kita dapat meningkatkan tekanan pada para pemimpin untuk bersikap lebih etis.
  Saya ingin tahu apakah para pemegang saham akan mengeluh jika mereka diberi tahu bahwa perusahaan tidak akan memperoleh keuntungan karena mereka etis, atau apakah mereka akan bertepuk tangan ketika mereka mendengar bahwa nilai saham meningkat, dan seterusnya sampai anda tidak akan mengajukan pertanyaan. Meskipun saya sepenuhnya setuju dengan Anda mengenai kebutuhan untuk pendidikan, untuk pembangunan, dan sebagainya, saya masih percaya bahwa kita semua sayangnya adalah manusia, kita memiliki kelemahan kita, dan kita perlu memiliki kontrol lebih.

Kanselir Vranitzky: Setidaknya di negara-negara industri, kami telah mencapai banyak kemajuan dalam 200-300 tahun terakhir, pencapaian ini didasarkan pada prinsip-prinsip etika dan prinsip “semua orang adalah sama”. Jadi, kami telah mengembangkan solidaritas di negara- negara kita. Kami membangun sistem jaminan sosial, sebuah model yang baik dari negara yang mapan. Kita hidup di dunia kekuasaan dari divisi Montesquieu. Tapi mengatakan hal tersebut dan setelah mendengarkan begitu banyak kontribusi menarik dan berharga, saya ingat seseorang dalam majelis ini mengatakan “Etika dan prinsip adalah satu sisi koin yang sama, tetapi implikasinya dalam kehidupan adalah sisi lain yang berbeda dari koin tersebut”. Sekarang, karena sekalian dibahas hari ini, haruskah ada tekanan pada politisi dan pengambil keputusan? Mungkin “Ya”. Tetapi bagaimanakah seharusnya tekanan ini diatur?
  Dan ini membawa saya pada sejumlah pertanyaan dasar tentang sistem demokrasi dan masyarakat demokratis. Misalnya, di Eropa dan juga di Amerika Utara, kita melihat banyak ketidakpuasan, tidak hanya dari para demonstran tetapi juga dari organisasi-organisasi politik terhadap pengambil keputusan. Di Eropa, ini mengarah ke pertanyaan “Tidakkah seharusnya kita memiliki demokrasi langsung sebagai lawan dari model demokrasi perwakilan kita?” Demokrasi perwakilan, sekali lagi, berarti mereka yang mewakili berbagai parlemen, mereka sekarang merupakan target tekanan atau tidak?Kami mendengarkan teman- teman berbicara tentang “tuntutan etika”. Di hampir semua parlemen Barat, mereka memiliki komite etik, memeriksa dan memonitor perilaku politisi. Sekarang, ini adalah di salah satu sisi.
  Di sisi yang lainnya, dengan pencapaian yang begitu banyak, kami tidak bisa mengatakan bahwa kami berhasil memproduksi kesetaraan manusia, tidak ada kesetaraan gender. Di banyak negara, tidak ada kesetaraan bagi orang-orang yang tinggal di negara-negara ini untuk waktu yang lama; mereka tidak lahir di negara-negara ini, yang datang dari berbagai belahan dunia, yang kebetulan memiliki perbedaan ras, dan lain-lain.
  Jadi, pertanyaan saya sebenarnya adalah saat “Etika dalam Peng- ambilan Keputusan” merupakan subjek yang menarik dan me- nantang, bagaimana kita melihat implikasi dari hal ini sehubungan dengan pemikiran ulang demokrasi kita? Dari sistem demokrasi dan masyarakat? Di Amerika Serikat, Gerakan Tea Party adalah contoh yang sangat mencolok dari ketidakpuasan terhadap apa yang terjadi di Gedung Putih dan Kongres. Di Eropa, ada banyak gerakan dan organisasi yang pada akhirnya tidak menyembunyikan pendapat mereka bahwa metode langsung (metode demokrasi langsung) adalah kehendak rakyat. Di bagian Eropa yang lebih Timur, kita benar-benar dapat melihat perdebatan dan diskusi ini terjadi di jalanan. Bagaimana kita menangani hal ini? Perbedaan yang terlihat antara keinginan dan etika, serta kondisi atau keadaan nyata di mana tekanan diperlukan untuk 
  para pembicara pagi ini yang mungkin bisa memberikan solusi atau petunjuk yang bisa kita pelajari dari pertemuan ini, tidak hanya menyepakati bahwa harus ada landasan etika yang bagus dalam pengambilan keputusan.

Presiden Obasanjo:
Para politikus saat ini berada di bawah tekanan. Sebagian besar dari mereka mengalami tekanan yang sangat berat berat dari para pemilih dan konstituensinya. Jika kita ingin memberikan kesempatan dan semangat agar para politikus tersebut memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip etika maka harus ada insentif untuk itu. Saya tidak tahu bagaimana insentif tersebut akan diberikan, tetapi hukuman juga diperlukan untuk menekankan pentingnya untuk menjaga standar etika dan prinsip etika. Hal tersebut adalah sesuatu yang internal. Saya juga mengamati bahwa ada hal yang bersifat eksternal. Ketika disebutkan bahwa hal-hal di Eropa dan beberapa masyarakat yang sudah mapan mengalami peningkatan, saya akan mengatakan “ya” tetapi tidak cukup.
  Beberapa tahun yang lalu, Peter Eigen dan saya mulai mengerjakan sesuatu yang sekarang dikenal sebagai “transparansi Internasional”. Perusahaan-perusahaan OECD mendapatkan pengurangan pajak dengan penyuapan di negara lain, bukan di negara mereka sendiri. Itu adalah salah satu hal yang harus kita atasi. Da tentunya, perusahaan OECD tersebut mempunya konvensi dan hal- hal lain mengenai hal tersebut. Namun, masih ada beberapa negara yang mendorong badan perusahaan mereka untuk melakukan hal ini sehingga mendorong terjadinya korupsi di luar negara mereka sendiri. Bagaimana kita memastikan bahwa prinsip etika dan standar etika bisa dilaksanakan agar hal seperti ini bisa sepenuhnya berhenti?

Ketua Vassilliou:
Saya hanya ingin menyampaikan bahwa di Cyprus, mereka sepakat untuk memberlakukan aturan yang menghukum para pemberi suap. Siapa yang akan disalahkan? Di Yunani, kami mempunyai Menteri Pertahanan dan beberapa yang lainnya di penjara karena mereka mendapatkan banyak uang ketika membeli kapal-kapal dan beberapa hal dari Jerman dan beberapa perusahaan. Mereka memang dihukum di penjara, tetapi mereka yang memberikan insentif tetap mendapat keuntungan. Jadi, kalau kita ingin membuat dunia ini menjadi lebih baik, maka kita harus memikirkan bahwa hukuman seharusnya tidak hanya untuk mereka yang korup, tetapi juga untuk yang menjadikan orang lain menjadi korup.

Presiden Obasanjo: Korupsi memang terjadi dua arah. Jika anda hanya hanya menghukum satu dari dua tersebut, maka anda tidak akan menghentikan korupsi.

Perdana Menteri Chretien:
Di Kanada kita mempunyai hukum yang menyatakan bahwa kita bisa dituntut kalau kita memberi suap. Bukan karena menerima suap, tetapi jika kita memberi suap. Hal ini terjadi tidak hanya di Kanada, tetapi juga di negara lain. Jadi, anda benar, Tuan Obasanjo, bahwa di Eropa selama waktu yang lama, suap diperlukan untuk memulai bisnis dan hal tersebut bisa mengurangi pajak. Ketika saya menyadari itu, saya sangat terkejut. Mereka akan mengubahnya, atau sudah mengubahnya. Tetapi di Kanada saat ini kami mempunyai beberapa masalah karena beberapa perusahaan dituntut telah membayar suap di Nigeria dan negara lain, dan ini adalah sesuatu yang serius. Anda menyebutkan bahwa aturan bisa membebani bisnis, tetapi hal itu bisa menjadi solusi yang praktis. Saya telah berkecimpung di dunia politik selama 40 tahun dan 10 tahun sebagai pengamatnya.
  Ketika Sheik Al Quraishi menyebutkan masalah kehancuran di 2008, salah satu hal yang terjadi adalah bahwa aturan tertinggi, khususnya di Amerika Serikat, di mana ketika dulu anda adalah bankir, maka anda bergelut dalam bidang tersebut. Ketika anda adalah perusahaan asuransi, maka anda mengerjakannya. Anda adalah pialang, maka anda berkecimpung di dalamnya, dan ada juga yang sekaligus menjadi pedagang. Mereka dulu terpisah satu sama lain. Sekarang permasalahannya adalah semua sekarang bercampur, karena bankir sekarang bisa menjual asuransi juga. Dulu di negara saya, mereka tidak bisa melakukan hal in, namun sekarang mereka mulai melakukannya. Saya menentang hal ini tetapi pengganti saya mengizinkannya. Jadi yang terjadi ketika anda pergi ke bankir dan berkata “ Saya ingin meminjam uang dari anda”. Kemudian mereka berkata “iya, tetapi anda harus membeli asuransi jiwa untuk mendapatkan pinjaman tersebut”. Atau, bankir tersebut akan berkata “saya tidak akan meminjamkan uang, tetapi saya akan menawarkan pembagian keuntungan”. Itu karena mereka lebih menghasilkan uang dari pembagian keuntungan tersebut, daripada dari bunga pinjaman.
  Jadi kami biasa menyebutnya sebagai empat pilar, yang terpisah satu sama yang lain. Atas nama kebebasan, kita membiarkan ini. Namun dalam pandangan saya, hal ini menyebabkan konflik kepentingan yang konstan. Dan berbicara mengenai pengalaman kita sendiri, sekarang orang-orang mengklaim bahwa bankir Kanada tidak bagus. Ketika saya menjabat sebagai Perdana Menteri, saya menolak untuk mengizinkan bank untuk bergabung. Aturan yang berlaku di Kanada menyebutkan bahwa anda tidak bisa mendapatkan 80% dari penggadaian. Namun yang terjadi di Amerika Serikat adalah mereka meminjamkan 150% nilai dari bangunan karena mereka berpikir bahwa dalam waktu 10 atau 20 tahun mereka akan mendapatkan peningkatan nilai.
  Semua orang berada dalam permainan yang sama, mereka pialang sekaligus pegawai asuransi, dan mereka akan mempunyai konflik kepentingan yang berkelanjutan. Mereka melakukannya dalam jangka waktu yang pendek. Ketika seseorang menjadi presiden dari sebuah bank selama lima tahun, dia harus membuat nilai keuntungan meningkat dengan cepat. Jadi itulah yang akan dia lakukan selama lima tahun, kemudian pergi ke Florida dan membeli rumah yang besar. Jadi saya pikir, etika membutuhkan bantuan. Presiden sebuah bank dinilai berdasarkan keuntungan yang bisa dia hasilkan. Jadi, para stakeholders tidak begitu peduli dengan bagaimana dia melakukannya, selama dia membayarkan dividennya.
  Tetapi kami membuat kemajuan dalam mengatur bagaimana melaksanakan bisnis. Mungkin untuk banyak negara di dunia, mereka akan menghukum mereka yang melakukan suap. Dua puluh tahun lalu, hal ini belum pernah ada. Dua puluh tahun yang lalu hal tersebut bisa menjadi pengurangan pajak. Dan ketika anda menyuap, maka anda akan sama bersalahnya dengan mereka yang menerima uang tersebut. Itu adalah pendapat saya, karena dunia menganggap bahwa etika membutuhkan aturan. Manusia hanyalah manusia, dan saya pikir, godaan akan selalu ada. 

Kanselir Vranitzky: Saya takut seandainya kita berada dalam putaran lingkaran. Selama krisis Ekonomi dunia pada era 1930an, Kongres Amerika mengesahkan sebuah aturan bernama Glass-Steagal yang memisahkan perbankan investasi dan perbankan komersial. Hal ini adalah keputusan yang sangat tepat. Beberapa dekade kemudian, para bankir Amerika mendekati Presiden Clinton dan berkata” Bapak Presiden, dengan terpisahnya sistem perbankan komersial dari perbankan investasi, maka kita tidak cukup kompetitif dalam sistem globalisasi”. Lalu, lambat laun, mereka mulai meninggalkan pemisahan tersebut. Hal ini membuat perkembangan di mana sebagian besar bank besar di Amerika tidak hanya bertahan di New York, tetapi juga di London, Tokyo, Singapura dan negara-negara lain.
  Pada waktu yang sama, Inggris kehilangan posisi pertamanya sebagai negara industrialis dikarenakan penurunan dalam bidang infrastruktur, produksi automobile dan pembuatan mesin. Sehingga tempat terpenting untuk menghasilkan keuntungan adalah London sebagai pusat finansial, bukan sebagai pusat produksi. Dan ini adalah alasan kenapa saya sepenuhnya di pihak anda ketika kita membahas tentang regulasi. Sebagai contoh, pemerintah Inggris tidak akan pernah menerapkan aturan apa pun karena setiap aturan akan mengganggu London sebagai pusat finansial internasional. Ini adalah yang pertama. 
  Yang kedua, revolusi digital telah membawa kita kepada situasi di mana pasar finansial menjadi lebih efisien, cepat, dan lebih dari yang kita dulu bisa dapatkan. Jadi, sembari kita duduk di sini, salah satu dari mantan kolega saya di perbankan bergabung di dunia para pialang dan beberapa kemudian dari mereka menjadi bangkrut. Selama kita masih duduk di sini mendebatkan etika, mereka menekan tombol dan mengirimkan beberapa miliar dolar, euro, dari Vienna ke Frankfurt, ke Singapura, ke Tokyo, dan mungkin kembali lagi ke Vienna dalam satu hela nafas.

Ms. Bandion-Ortner: Saya hanya ingin menyampaikan sebagai mantan hakim kasus kriminal dengan spesialisasi kriminal Ekonomi, jika ada lebih banyak etika dan moral di bisnis kita, maka krisis dunia tidak akan tercipta. Masalahnya kemudian adalah, tidak semua ketidakbenaran bisa menjadi tindakan kriminal yang bisa dihukum. Kadang, ini hanya masalah moral, dan moral kadang tidak mempunyai konsekuensi. Inilah masalahnya, orang-orang dan media kadang tidak bisa memahami ini. Saya ingin mengonfirmasi apa yang disampaikan oleh Dr. Vranizky bahwa itulah masalah yang sesungguhnya.

Kanselir Vranitzky: Tetapi selama karier anda sebagai hakim, anda hanya berhadapan dengan para pelaku kriminal, bukan dengan orang- orang yang baik.

Sri Sri Ravi Shankar: Pada tahun 2010 di India kami memulai peperangan melawan korupsi karena orang orang sudah terjebak dalam korupsi yang amat parah. Untuk mendapatkan sertifikat kematian saja, orang harus menyuap. Begitu juga untuk mendapatkan sertifikat kelahiran. Jadi, kami memulai gerakan “India melawan korupsi”, di mana kami menekan pemerintah untuk memberlakukan aturan yang telah mengalami penundaan selama 15 tahun. Sebenarnya ada aturan di India yang memberikan hukuman yang berat untuk mereka yang melakukan tindakan tidak etis. Namun, tidak ada implementasinya.
  Anda harus mendidik orang-orang untuk berkomitmen dan memberikan teladan untuk mereka. Anda juga harus melihat kesadaran anda sendiri. Pembangunan karakter, mendidik orang-orang untuk mengikuti aturan mengikuti etika adalah hal yang paling penting. Kalau tidak, hukum ada ketika terjadi tindakan kriminal, lalu yang terjadi kemudian anda akan menghukum mereka. Untuk mencegah hal ini, maka etika positif dan kejujuran yang positif sangat diperlukan, bukan sebatas kejujuran yang palsu. Jadi kami melakukan sesuatu. Di sebuah pertemuan besar yang diadakan di seluruh India, kami mengundang para pegawai untuk berikrar tidak akan memberi ataupun menerima suap. Sebenarnya hal ini berhasil.
  Hidup dengan cara sederhana seperti yang dicontohkan oleh Mahatma Gandhi telah lenyap di negara ini. Kita perlu menggalakkan lagi hal ini, menciptakan teladan untuk orang-orang. Ini masuk akal, tetapi memori masyarakat sangat terbatas. Setelah berbagai skandal di Amerika Serikat dan India di sektor keuangan, kita perlu mengingatkan pada masyarakat bahwa uang yang didapatkan dengan cepat bisa membawa mereka ke penjara. Menciptakan teladan yang jujur dan sukses adalah penting. Sayangnya, para enterpreneur muda berpikir bahwa untuk mendapatkan banyak uang, maka jalan tidak etislah yang harus ditempuh. Konsep seperti ini harus dihilangkan dengan teladan- teladan yang bagus. Sehingga, untuk etika dalam bisnis, menciptakan teladan itu sangat penting. Perusahaan yang telah melakukan bisnis dengan sangat baik dan menghasilkan keuntungan yang bagus juga perlu untuk memamerkan kesuksesan mereka agar menjadi teladan yang menginspirasi masyarakat.

Ketua Vassilliou: Pendidikan memang bagus, tetapi tidaklah cukup. Di India, anda bisa menghimbau orang untuk tidak memerkosa, tetapi anda juga membutuhkan manajemen untuk itu.

Sri Sri Ravi Shankar: Benar, anda membutuhkan keduanya: hukum dan pendidikan.

Dr Habash: Saya ingin menambahkan poin yang disampaikan oleh Syeikh Al-Quraisyi ketika beliau menyarankan untuk mengajarkan etika di sekolah. Memang sangat penting untuk melakukan sesuatu di dunia pendidikan. Tetapi kita tidak bisa melakukannya tanpa dasar umum mengenai etika. Kita sedang berbicara mengenai etika tetapi siapa yang akhirnya akan membedakan “ ini tidak etis, etis, bermoral, dan tidak bermoral”. Kita sedang mencari referensi lebih lanjut, dan saya percaya untuk mencapai titik ini kita harus bekerja keras. Kita harus mengadakan pertemuan khusus. Mungkin dalam pertemuan ini kita tidak akan mencapai kesimpulan akhir mengenai bagaimana menggunakan etika global dalam pengambilan keputusan.
  Kita sedang mencari beberapa pakar untuk bersama mendiskusikan dengan cermat bagaimana menciptakan pemahaman umum, pemahaman global yang baru mengenai etika untuk diajarkan di sekolah-sekolah kita. Mudah untuk membahas ini di bidang agama. Saya telah menyiapkan draf dan memberikannya kepada rekan-rekan kita, kepada mereka yang beragama Kristen, Buddha dan Hindu, dan juga Yahudi. Saya yakin bahwa kita harus bekerja keras untuk menyatukan pandangan untuk kemanusiaan. Setiap bangsa, negara dan agama mempunyai pendapat akhir. Tanpa tindakan serius mengenai ini, kita bisa berbicara mengenai etika seperti para penceramah ataupun para filosof di dunia, tetapi kita tidak bisa membedakan apakah ini masalah moral ataupun immoral. Semua manusia adalah anak Tuhan, dan kita mencari keluarga di bawah Tuhan. Dan kita percaya bahwa semua keluarga mempunyai ayah yang sama. Tetapi kita perlu untuk bekerja keras.

Ketua Vassilliou: Kita akan bekerja keras, tetapi tidak akan selesai sepanjang umur kita, bahkan sampai anak cucu kita.

Perdana Menteri Majali: Kita telah mendengar banyak tentang “etika dalam pengambilan keputusan” khususnya dalam perbankan dan bisnis. Masyarakat yang paling berpengaruh dunia sekarang adalah media. Dan etika di media sayangnya juga sangat saling mempengaruhi pengambil keputusan dalam proses pengambilan keputusan. Sehingga, apa pun yang akan kita katakan mengenai etika, tidak hanya untuk para pengambil keputusan, tetapi juga media. Poin kedua adalah legislatif. Para parlemen membuat aturan. Dan jika mereka membuat aturan dengan etika, saya pikir mereka bisa mempengaruhi di area ini. Poin ketiga adalah ilmu pengetahuan. Sayangnya sampai saat ini belum ada kontrol etika dalam ilmu pengetahuan. Penemuan hal-hal tertentu bisa mempengaruhi kehidupan masyarakat. Maka, saya pikir kita harus menyebutkan hal yang berhubungan dengan etika dalam ilmu pengetahuan.


Dr Schlensog: Mendengar diskusi ini, saya ingin mengingatkan bahwa kita tidak boleh pesimis. Karena kalau kita lihat ke belakang, pada 40- 50 tahun terakhir ada beberapa pertanyaan besar apakah kita telah melakukan perkembangan yang besar. Sebagai contoh, dalam Ekologi, dan mengenai peran wanita dalam masyarakat di dunia barat. Contoh selanjutnya seperti di dunia pertahanan. Kenapa kita berhasil di area ini apa 40-50 tahun terakhir? Karena itu dimulai oleh orang per orang, atau satu institusi kecil yang membawa topik ini ke agenda yang paling penting. Kemudian, langkah demi langkah mulai dikenal di agenda politik, diskusi publik, dan para politikus menggunakannya sebagai agenda politik. Inilah yang kita sebut sebagai pembangunan kesadaran. Langkah demi langkah. Ini saya pikir sama dengan etika bisnis. Dua puluh tahun lalu, tidak ada yang berbicara mengenai etika bisnis. Tetapi hal ini penting dalam diskusi di universitas dan perusahaan. Jadi, pandangan saya adalah, kita harus meningkatkan suara kita mengenai etika dan pertanyaan mengenai etika, dan Dewan InterAction adalah satu organisasi yang melakukan hal ini.
  Pandangan kedua saya adalah, Presiden Obasanjo bertanya “Insentif apa yang bisa kita berikan untuk para politikus? Insentif mana yang sesuai dengan etika?” Salah satu insentif yang sangat penting adalah opini publik. Ketika skandal ada di media, ketika masalah etika didiskusikan di media, ketika dimensi etika didiskusikan di media, maka kita mempunyai kesempatan untuk mendiskusikannya pula di publik, dan membentuk opini publik. Penerimaan publik mengenai perilaku sangat penting untuk para politikus dan perusahaan. Jadi saya sangat yakin bahwa kita harus tetap mendiskusikan topik tersebut, khususnya di media.
  Sebagai poin ketiga, di Universitas Tubingen kami mempunyai institusi untuk etika bisnis, dan dasar kita ada di universitas tersebut. Dalam etika bisnis, kami telah mendiskusikan sesuatu seperti perubahan paradigma di etika bisnis. Kita mempunyai model yang lama dan yang baru. Model yang lama adalah model yang terbatas oleh peraturan dan regulasi, seperti tanggung jawab perusahaan, kepatuhan manajemen, dan lain-lain. Itu benar-benar berfungsi Beberapa perusahaan berusaha menghindari penyalahgunaan di area yang berbeda. Hal tersebut menjadi poin yang sangat penting dalam etika bisnis. 
  Namun diskusi yang terakhir menyatakan bahwa “ini tidak cukup”. Kalau kita tetap mendidik profesional muda kita dalam bisnis dan politik, dan lain-lain, manusia sebagai homo-economics berarti bahwa mereka ingin memaksimalkan keuntungan. Jika kita mendidik mereka dengan konsep manusia tersebut, kita tidak akan mengubah masalah ini. Tetapi jika kita membantu mereka untuk mempunyai pandangan yang baru di fungsi bisnis, sebagai contoh, atau fungsi politik beserta peran dan tanggung jawabnya, maka kita mempunyai kesempatan untuk mengubah sistem. Namun, kita hanya mempunya kesempatan untuk mengubah sistem jika kita berubah pandangan dalam system tersebut, dan di sinilah pentingnya pendidikan. Kita harus memulai dari pendidikan di sekolah bisnis dan universitas. Jalan kita masih panjang, tetapi kita harus melewati jalan ini, karena kita tidak mempunyai alternatif lain.

Ketua Vassilliou: Pendidikan itu vital, kita sepakat dengan hal itu. Tetapi itu tidak cukup, kita harus melakukan lebih dari itu. Tetapi kita tidak boleh pesimis. Kalau anda pesimis, kita tidak akan berdiskusi seperti ini. Kita tahu bahwa ada banyak kemajuan telah terjadi, tetapi itu tidak cukup.

Perdana Menteri Badawi: Kita berbicara mengenai etika karena memang itu adalah masalah yang penting. Di pemerintahan negara saya, hal itu akan selalu ada tidak hanya untuk para pegawai negeri, tetapi juga untuk para guru, polisi dan siapa pun. Kita menekankan pentingnya etika dan apa yang mereka harus lakukan untuk bertanggung jawab dalam pekerjaannya. Ini penting, tetapi ketika anda berbicara mengenai etika, hanya ada hubungan kecil dengan isu kemiskinan. Ini juga sangat penting.
  Orang-orang selalu mengeluh tentang kemiskinan, dan ketika kita membicarakan masalah kemiskinan, mereka menyalahkan bank, pelaku bisnis, dan hartawan. Mereka menuntut banyak hal dari pemerintah, karena mereka tidak puas. Inilah masalahnya. Perubahan sangat diperlukan, mengubah bank juga diperlukan. Apa yang benar-benar dibutuhkan sekarang adalah perubahan dan agar kita semua melihat lagi sehingga kita bisa mendapatkan solusi yang membahagiakan masyarakat. Kemiskinan harus diberantas.

Tuan Muammar: Saya pikir globalisasi adalah masalahnya. Seluruh dunia mempunyai beberapa aturan, di mana ketika kita mempunyai ide mengenai revolusi dalam sel batang maka kita harus melihat segi ilmiahnya juga. Sayangnya, komunikasi kita masih tertinggal dalam berbagai hal. Kita tidak menyentuh isu lingkungan, contohnya. Hal lain yang kita hadapi adalah sosial media. Sangat penting bagi kita untuk benar-benar memikirkannya, karena hal tersebut lebih kuat daripada pendidikan.
  Jadi, bagaimana kita memutuskan inti perubahan bagi masyarakat? Saya rasa sekolah, keluarga, tempat ibadah, media, dan lain-lain adalah tempatnya . Jadi bagaimana kita akan menciptakan aturan umum yang bisa berlaku di seluruh dunia? Ini lebih dari sekedar hubungan di dunia yang dipengaruhi oleh motif ekonomi, di mana kita tahu bahwa ekonomilah yang mendasari hampir semua hal. Dapatkah kita melakukan sesuatu mengenai ini? Kita mempunyai jalan yang panjang, tetapi saya pikir itu harus dimulai dari anda sendiri.

Dr. Mettando: Di Thailand, kami cukup sering mendiskusikan mengenai masalah pendidikan moral. Ketika bekerja di Senat subkomite moral dan etika, kami membuat istilah “masyarakat yang bertanggung jawab” saat menggunakan internet, dan di program tersebut kami menggunakan paradigma hierarki masyarakat, promosi produk dan ini juga menjadi komunitas yang memberikan penghargaan kepada masing-masing siswa yang bekerja untuk pelayanan masyarakat. Kita mempunyai kontribusi di sektor bisnis, yang men-support aplikasi di telepon seluler untuk memberikan kehormatan dalam setiap aktivitas yang orang berikan kepada masyarakat. Ini dilaporkan melalui website jadi masyarakat mengetahui siapa melayani masyarakat. inilah yang disebut “sistem kredit sosial”. Inilah yang sedang terjadi di Thailand, dan kita berharap agar menjadi masyarakat yang lebih baik dalam penggunaan IT dan sosial media.


Ketua Vassilliou: Ide yang bagus. Kita mempunyai saran-saran yang cukup bagus, tetapi satu hal yang bisa dilakukan setiap orang adalah transparansi, untuk semakin menekankan pentingnya transparansi. Juga betapa pentingnya agar orang-orang yang ada di dunia politik dan bisnis untuk melaporkan bagaimana mereka mendapatkan uang. Karena, di banyak negara di dunia, tiba-tiba kita melihat banyak jutawan yang sebelumnya sangat miskin. Tetapi mereka juga didukung pemerintahnya. Seandainya mereka mempunyai sistem pelaporan setiap tahun yang melaporkan dari mana mereka mendapatkan uang, hal ini akan sangat memperbaiki dunia.

Prof Hanson: ada jawaban yang akan memberikan solusi bagaimana ini akan dijalankan. Jawabannya adalah kita harus melakukannya di saat yang sama. Maka ada bagian untuk dasar pengelolaan perusahaan, laporan publik, transparansi, dan sebagainya. Ada juga aksi sukarela dari tekanan publik dan kerja sama korporasi dalam mengembangkan solusi tersebut. Ada juga ruang untuk peraturan baru bahwa gerakan anti korupsi di seluruh OECD dan negara lainnya menjadi hasil dari konsensus yang dibutuhkan, seperti yang sudah disampaikan oleh beberapa tokoh. Masih ada langkah yang harus diambil untuk mendisiplinkan korupsi walaupun sudah ada perubahan yang berarti.
  Bahkan dengan hal tersebut, tetap diperlukan perilaku yang bermoral dan kreatif dalam diri para eksekutif yang memulai bisnis dengan jalan yang lebih bermoral tanpa mempengaruhi biaya penting bagi para stakeholder-nya dan memberikan keuntungan yang layak untuk stakeholder lain. Ini yang mendasari “kapitalisme kreatif ”, “kapitalisme yang sepenuhnya” dan lain-lain. Ada banyak pilihan di banyak perusahaan. Itu adalah tanda keoptimisan, tetapi itu juga bukan jawaban yang lengkap. Kita masih dituntut untuk pemikiran moral yang maju. Jawabannya adalah kita harus melakukan semua ini secara berkelanjutan.
  Saya menghabiskan hidup saya mendidik para pebisnis untuk lebih bertanggung jawab dalam bisnis mereka. Saya tidak yakin apakah saya mampu mendokumentasikan pengaruh saya selama waktu tersebut. Saya kadang bercanda bahwa murid saya mempunyai 47% lebih sedikit celaan- tentunya saya tidak mempunyai data tersebut. Namun ada harapan bahwa melalui pendidikan, masyarakat mampu menyadari pentingnya kehidupan profesi tertentu dan potensinya untuk bermoral.
  Sebagai komentar terakhir, saya sependapat dengan Dr Majali yang menyebutkan perlu adanya etika profesi di bidang lain. Saya pikir kita memerlukan etika berkelanjutan untuk pemerintah, media dan NGOs. Di setiap bidang ini ada tantangan serupa untuk mengimplementasikan kode global dalam semua institusi penting di masyarakat modern.



AGENDA MASA DEPAN


Sesi yang dipimpin oleh

Y.M. Yasuo Fukuda
Mantan Perdana Menteri Jepang 



BAGAIMANA kearifan manusia yang berdasar etika membawa kita ke dunia yang lebih damai dan adil dengan 9 miliar populasi nanti? Bagaimana kita bisa menjaga kemakmuran? Ini adalah pertanyaan penting yang harus dipikirkan di sesi terakhir. Mereka, pastinya mengetahui benar bahwa jawaban yang disepakati tidak bisa dihasilkan dari satu sesi yang membahas masalah pelik seperti ledakan populasi, energi, makanan, air, dan keberagaman teknologi. Namun, arahan dan petunjuk tentang bagaimana kita bekerja ke arah masa depan yang lebih baik untuk kemanusiaan sangatlah penting. 
  Pembuka acara, yang terhormat Koshin Ohtani menekankan kebutuhan untuk lebih menyadari dan berempati kepada orang lain dan juga memperdalam kesadaran kita bahwa apa yang terjadi sekarang berpengaruh dengan masa depan. Nafsu kapitalisme global telah menurunkan kualitas sumber daya alam yang seharusnya digunakan untuk generasi masa depan. Untuk menekan keinginan masyarakat global, kesadaran pribadi sangatlah penting, karena hasil dan efek dari aktivitas individu bisa mempengaruhi negara lain dan kemakmurannya. Mengendalikan keinginan pribadi akan membawa seseorang ke kemakmuran spiritual. Beliau menyampaikan lagi nilai di dalam Deklarasi Universal mengenai Tanggung jawab Manusia untuk hak generasi masa depan, binatang, dan tumbuhan.

  Pembicara kedua, Metropiltan Nipon, percaya bahwa etika didasari oleh pengetahuan mengenai kebenaran, rasionalitas dan kepercayaan. Beliau menekankan prinsip yang kuat mengenai kasih sayang dan keadilan Tuhan. Kasih sayang adalah dasar dalam kehidupan manusia yang abadi dan dianggap sebagai inti dari kepribadian. Sebagai manusia yang diciptakan dari gambaran Tuhan, penghormatan terhadap diri sendiri dan menghormati kasih sayang orang lain sangatlah penting untuk menciptakan standar etika dan keberadaan manusia. Beliau berharap bahwa penghormatan menjadi landasan pemerintahan. Toleransi dalam pandangan Gereja Othodox Timurnya mengacu pada kepribadian individu, dan beliau menggaris bawahi bahwa generasi masa depan harus dibesarkan dengan nilai yang sama.
  Y.M. Tun Abudullah Haji Ahmad Badawi menekankan bahwa kelanjutan generasi masa depan adalah tanggung jawab besar bagi pemimpin politik yang mendukung nilai-nilai dalam pengambilan keputusan. Beliau mengenalkan konsep “peradaban Islam” yang dilaksanakan di Malaysia berdasarkan 10 prinsip dasar yang juga menawarkan cara penafsiran Islam moderat, jauh dari pandangan radikal yang menuntun para pemimpin dalam pengambilan keputusan. Ide pokok beliau adalah bahwa pilihan para pemimpin menunjukkan apa yang paling bernilai bagi mereka dan bahwa agama harus membantu perubahan individu yang bisa juga meluas ke semua kalangan masyarakat.
  Dalam diskusi berikutnya, beberapa saran dikemukakan oleh para pemimpin politik antara lain menemukan aturan yang mengizinkan penggunaan energi nuklir hanya untuk kepentingan perdamaian, pemberdayaan perempuan dan memotong subsidi fiskal untuk keluarga besar, mengurangi angka kelahiran, memperbaiki kesenjangan kesejahteraan, mengatasi tendensi “penjualan demokrasi” di negara barat.
  Pandangan spiritual penduduk asli Amerika Utara yang percaya akan harmoni antara manusia dengan alam juga dikenalkan. Hal ini sama dengan tradisi di Asia Timur, tetapi jauh berbeda dengan konsumerisme yang ada di masyarakat. Pandangan ini menyarankan bahwa etika untuk sepenuhnya berintegrasi dengan Bumi (tidak hanya mendominasinya) bisa digabungkan dengan antusiasme generasi muda untuk menjaga lingkungan, yang mampu mengatasi dilema kita.
  Walaupun tidak ada kesepahaman bagaimana mengatasi dunia dengan penduduk 9 miliar, semua orang menyadari potensi adanya efek yang sangat berbahaya. Beberapa mengemukakan bahwa pola perkembangan di masa lalu tidak boleh terulangi. Kelompok tersebut berbagi pandangan yang jelas mengenai apa yang salah, juga menyampaikan kembali bahwa tantangan besarnya adalah untuk meningkatkan kesadaran mengenai masalah ini dan membuat sebagian besar orang untuk memperhatikannya. Terserah bagaimana para peserta membuat dunia ini menjadi lebih baik. Tidak melakukan apa- apa bukan lagi menjadi pilihan. 



BELAJAR DARI AGAMA, BUDAYA
DAN PERADABAN LAIN
MELALUI DIALOG DAN PERSAHABATAN



Pembicara 1:


Yang Terhormat Koshin Ohtani
Pimpinan Jodo-Shinshu Hongwanji-ha (Pure Land Sect) Jepang 



SECARA umum, kepercayaan orang beragama berkembang di bawah lingkungan dan kondisi yang dihadapi. Karena dianggap sebagai landasan spiritual, tidak mudah bagi mereka untuk memahami agama lainnya. Saya percaya walaupun agama jarang menjadi alasan langsung terjadinya konflik sosial yang biasanya memasukkan aspek keagamaan, tetapi agama juga bisa efektif untuk mengurangi ketegangan yang terjadi. Namun di lain waktu, sayangnya hal itu malah bisa memacu konflik. Oleh karena itu, tergantung bagaimana para pemimpin politik dan agama menggunakan agama dalam lingkungan yang penuh tekanan, maka hasilnya akan sangat berbeda.

  Untuk membuat mereka yang mempunyai pendapat dan latar belakang berbeda bekerja sama dalam dialog untuk mewujudkan kedamaian, maka diperlukan dasar yang umum. Bahkan ketika mereka tidak mampu memahami konsep kepercayaan masing-masing, dengan mengetahui logika dan jalan pemikiran akan membawa kita kepada rasa kepastian, kemampuan untuk melanjutkan dialog dan untuk menghormati satu sama lain. Kemudian IAC Deklarasi Universal untuk Tanggung Jawab Manusia akan menjadi kriteria yang benar-benar berpengaruh, beserta deklarasi universal untuk Hak Asasi Manusia milik PBB.

Memikirkan Masa Depan Umat Manusia
  Mengikuti kesimpulan dari perang Dunia II, seolah-olah seperti dunia datang bersama berdirinya PBB, pengadopsian deklarasi universal untuk Hak Asasi Manusia dan pembentukan cita-cita kemanusiaan. Namun dalam kenyataannya dunia kemudian terpisah menjadi blok barat dan timur, yang memacu ketegangan karena mereka saling berkompetisi untuk meningkatkan masyarakatnya. Akan tetapi yang menjadi kecenderungan masa kini adalah “kalau hal ini bisa membuat sesuatu lebih baik sekarang, maka tidak ada masalah” dan “selama kita nyaman...” globalisasi ekonomi khususnya tidak menghormati tujuan pemerintahan untuk kestabilan dan kesejahteraan warga negaranya dan menimbulkan distribusi kesejahteraan yang tidak merata.
  Pada masa sekarang, ketamakan nafsu kapitalisme global telah membuat kita bebas menggunakan teknologi ilmu pengetahuan, merampok sumber daya alam dunia, padahal seharusnya harus disisakan untuk generasi masa depan. Terlebih lagi, bisa dikatakan bahwa kita menciptakan masalah yang besar seperti kerusakan lingkungan dan kontaminasi alam yang pasti akan diwariskan kepada generasi masa depan. Sayangnya ada beberapa orang di Jepang yang mengatakan “ biarkan generasi ke depan nanti yang khawatir bagaimana membuang limbah radioaktif dari pembangkit tenaga nuklir”.
  Keinginan untuk memuaskan diri sendiri yang membuat manusia menuruti kepentingan dan kesejahteraannya sendiri bukan untuk generasi berikutnya sangat susah untuk dikontrol dan dikendalikan oleh orang lain. Dalam refleksi pandangan orang Buddha, ketidakhentian nafsu seseorang tidak hanya akan membawa penderitaan dan kecemasan, tetapi juga membuatnya mustahil untuk mencegah nafsu serakah masyarakat modern. Untuk mendapatkan kesadaran diri mengenai ini, kita harus membuat diri kita melihat akibat dari tindakan kita, seberapa pun tidak menyenangkan dan menakutkannya hal ini.
  Hasil dari ekonomi global yang kurang etis adalah, sebelum kita mengetahuinya, mereka terwujudkan dalam masalah yang besar untuk kemakmuran masyarakat negara lain karena kita hanya melepaskan beban itu kepada mereka.
  Berdasarkan ide-ide tersebut, saya berharap bahwa setiap agama mampu memberikan tujuan dan petunjuk demi cita-cita kemanusiaan. Sebagai pengikut Buddha Shin, saya ingin menggagas “sebuah masyarakat yang satu sama lainnya bisa hidup dalam kehidupan spiritual yang sepenuhnya”. Artinya adalah masyarakat yang kaya yang bebas dari bias kesejahteraan, tidak menari di atas penderitaan yang lainnya, dan memiliki semangat untuk saling berbagi dan saling mendukung.
  Konflik bersenjata, penggunaan kekerasan dan ekonomi global yang tidak etis tidak hanya menyakiti dunia pada saat ini, tetapi juga menjadi masalah besar untuk generasi selanjutnya. Dalam pandangan saya, Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB, mungkin karena era di mana hal itu dibuat, tidak memberikan pertimbangan yang memadai agar para generasi masa depan yang tidak mampu mendiskusikan hak mereka sekarang. Menegakkan tanggung jawab Universal dalam Dewan InterAction penting untuk memberdayakan masing-masing dari kita sebagai individu di masyarakat modern untuk bertanggung jawab terhadap hak-hak generasi masa depan beserta hak flora dan fauna. Berdasarkan prinsip ini, saya ingin menambahkan wacana ini ke dalam Deklarasi IAC dari Tanggung jawab Manusia.
  Di masa lalu, ketika ilmu pengetahuan dan teknologi belum berkembang pesat, batasan alam sangatlah kentara. Sehingga keinginan materialistis orang-orang masih terbatas pula. Di sisi lain, etika yang disampaikan secara verbal juga menjadi pengendali eksternal yang tidak mempunyai hukuman apa pun. Untuk membuat mereka efektif, kita perlu untuk menginternalisasikannya.
  Kita harus menghadapi kehancuran yang disebabkan oleh senjata nuklir, kecelakaan di pembangkit tenaga nuklir dan tragedi kemiskinan dan konflik militer di negara berkembang. Kalau kita tidak melihat apa pun, ketika kita melihat parahnya kondisi dunia sekarang dan orang-orang yang menderita, mungkinkah itu karena kita tidak bisa memandang orang-orang tersebut selayaknya seperti kita? Sekarang sangat penting bagi kita untuk lebih sadar dan berempati dengan orang lain dan penderitaan mereka, dan juga memperdalam kesadaran kita bahwa apa yang terjadi sekarang akan membawa akibat di masa depan. Dengan kesadaran seperti ini, perkembangan dan penggunaan energi nuklir dan manipulasi kehidupan melalui teknik genetik harus selalu terbuka untuk didiskusikan dan diverifikasi karena masalah tersebut berhubungan dengan masa depan kemanusiaan dan pasti berpengaruh ke anak cucu kita nanti.
  Sebagai tambahan, diperkirakan di akhir abad ini akan ada 9 miliar orang, dan penambahan drastis penduduk tersebut juga menjadi masalah yang berhubungan dengan masa depan umat manusia. Dengan kata lain, ledakan populasi ini akan mengarah kepada kesenjangan ekonomi lebih lanjut seperti krisis makanan yang serius. Dan keinginan yang kurang beretika akan menimbulkan kehancuran lingkungan alam dalam skala global. Sekarang tibalah waktunya untuk kembali kepada kearifan kemanusiaan yang dulu, yang menyatakan bahwa mengendalikan keinginan pribadi kita akan membawa kepada kekayaan spiritual.
  Tujuan dari adanya dunia politik, ekonomi, agama dan pemikiran filosofi sesungguhnya untuk membawa kebahagiaan dalam masyarakat yang penuh kedamaian. Sebagai permulaan, mari kita mengacu kepada hal tersebut untuk kita sendiri dan menerima etika global yang disebut sebagai kearifan kolektif untuk kemanusiaan oleh Dewan InterAction. Hal ini memang tugas yang sangat berat. Untuk mencapai hal ini, semua idealis dan pemimpin agama harus melaksanakan tugas mereka untuk membangun pentingnya etika global dari pandangan ideologis dan kebudayaan mereka masing-masing tanpa mengindahkan apakah etika dan kebudayaan mereka didasari dari kepercayaan yang sama atau tidak. Hanya ketika kita sudah memenuhi kewajiban inilah, deklarasi ini akan melampaui keberagaman kebudayaan, tersebar di seluruh dunia dan terwujudlah kekuatan hebatnya dengan sepenuhnya. 



MENUJU KESATUAN DUNIA
GLOBAL



Pembicara 2:


Yang Terhormat Metropolitan Niphon
Penceramah dari Patriach, Antioch di Moskow 

SEJAK jaman dahulu, para filsuf dan pemuka agama sudah berjuang mengenai masalah etika. Setiap masyarakat di seluruh dunia menemukan definisi dan formula didasarkan dari kondisi mereka masing-masing.
  Menurut saya, etika bisa dibagi menjadi dua kategori: yang bersifat keagamaan dan yang tidak bersifat keagamaan. Keduanya memiliki tiga sumber pengetahuan dari kebenaran moral yaitu rasionalitas, empiris dan kepercayaan. Perbedaan yang utama antara keduanya adalah dalam pembentukan sistem dari nilai-nilai. Dalam sistem nilai keagamaan, termasuk Kristiani, yang nanti akan saya sampaikan, ada keabsolutan.

  Di dalam etika yang tidak bersifat keagamaan, anda akan mene- mukan kebebasan tanpa kewajiban. Inilah yang ditulis oleh Materialis Prancis Rene Descartes: “selama keabsolutan tidak ada, kenapa tidak bertindak bahwa itu dipandang penting?” Tetapi karena dia dibesarkan dalam etika keagamaan, dia melanjutkan: “khususnya, ketika hal tersebut tidak menyakiti yang lain.” Namun seandainya hal ini dilanjutkan, kita harus menyampaikan apa yang disebutkan pahlawan Dostoyevsky dalam novelnya, Crime and Punishment: “Kalau Tuhan tidah ada maka apa pun akan diizinkan”.

  Sebagai contoh, dalam sejarah kita bisa melihat bahwa tidak ada sistem filosofi tanpa landasan agama yang mampu menjelaskan kriteria kebenaran dan kejahatan, fitrah dari kesadaran manusia. Saya hidup di Uni Soviet selama beberapa tahun dan melihat bagaimana mereka mencoba menciptakan masyarakat yang tidak beragama. Inilah proyek terbesar di mana terciptanya konsep filosofi khusus yang menjelaskan semua hal dari awal penciptaan sampai akhirat—semuanya, kecuali etika. Filosofi Marxis telah gagal, karena tidak mampu menjelaskan apakah kesadaran itu, dan kenapa ada pengertian umum antara kebaikan dan kejahatan dalam semua peradaban manusia. Hal tersebut mustahil untuk dijelaskan dari sudut pandang evolusi dan relativitas moral.
  Etika sekuler dan yang tanpa berlandaskan beragama tidak bisa menyelesaikan konflik antaragama dan antarnegara karena mereka selalu berdasarkan moral yang relatif dan privat. Dan hal tersebut memang selalu terbentuk dalam moral yang relatif dan privat.
  Tak satu pun dari kita mengeluh bahwa hukum fisika membatasi kebebasan kita, tetapi dengan mempelajarinya, kita menggunakannya untuk kepentingan kita seperti ketika kita harus bertindak berdasarkan moral. Sangat jelas dalam kesadaran beragama apa yang adil untuk hukum fisika juga berarti keadilan untuk hukum moral oleh Sang Pencipta. Mereka tidak membatasi kebebasan kita, tetapi untuk menjadi bebas dari moral, kita harus menerapkan hukum moral. Untuk membuat hukum ini, kita harus dengan akurat membedakan yang baik dan yang jahat, dan ini mungkin hanya ketika kita tidak berubah-ubah.
  Banyak hal di dunia telah berubah seiring dengan perkembangan sejarah- masyarakat berkembang. Sekarang kecepatan teknologi sangat memukau. Sepertinya perkembangan ini tidak menyelesaikan masalah (moral) manusia. Tetapi di sisi lain, hal tersebut menyebabkan kebutuhan untuk membuat pandangan etika yang baru; bioetik, etika kedokteran, aspek moral dalam politik, dan lain-lain.
  Etika dalam Injil membentuk norma yang tidak bergantung pada perkembangan di masyarakat, tetapi berdiri kokoh berdasarkan prinsip kasih sayang dan keadilan Tuhan. Kasih sayang adalah yang pertama dalam kehidupan manusia, abadi tidak bisa mati, awal bentuk keilahian yang sementara memberikan kehidupan duniawi. Inilah yang tidak dicermati oleh filsuf situasionalisme yang melakukan semua hal atas dasar kasih sayang, bahwa kasih sayang adalah tidak pasti dan subyektif. Ini adalah pandangan tanpa hukum”anti nominalisme” yang diikuti oleh pendapat Heraclitus bahwa mustahil untuk melalui satu sungai dua kali, dan bahwa tidak ada keabsolutan yang hakiki kasih sayang- dalam sistem keagamaan—pandangan injil—dianggap sebagai bagian dalam dari sebuah kepribadian, di mana keadilan adalah bagian luarnya.
  Umat Kristiani percaya bahwa Tuhan mampu memberantas kejahatan. Mungkin reaksi pertamanya adalah sebuah keterkejutan karena cukup dengan melihat apa yang terjadi di sekitar kita, kita bisa melihat parahnya bencana, pembunuhan, kekerasan, dan penghancuran warisan budaya. Perasaan yang berdasarkan pandangan umat Kristiani tersebut juga merupakan pengalaman subyektif kita. Semua hal yang terjadi dalam kehidupan kita atau apa pun yang berada dalam batas sebuah negara atau bahkan planet sekalipun menjadi bagian dunia kita. Berbicara dalam bahasa modern, inilah realitas virtual yang pasti. Ketika kita merasa kasihan atau sedih, kita bahagia atau bangga, kita bersyukur atau mengutuk, semua itu hanyalah persepsi subyektif kita. Namun dalam skala sejarah dan meta-sejarah (yang menjadi gabungan dari sejarah-sejarah), kita meyakini kemenangan Tuhan yang obyektif di dunia.
  Kita percaya bahwa umat manusia dengan gambaran Tuhan mempunyai nilai yang istimewa. Nilai ini tidak bisa dirampas dari orang tersebut dan harus dihormati oleh kita, masyarakat dan negara. Kehormatan seseorang menunjukkan nilai harga yang bisa tinggi ataupun rendah, tergantung bagaimana manusia tersebut mengembangkan gambaran Tuhan dalam dirinya. Jadi selama kita ada dalam sisi Tuhan, yang berperang untuk kebenaran dan keadilan, kepribadian manusia dihiasi dan diperkaya dengan kehormatan.
  Dari sudut pandang gereja yang saya anut, menghormati diri sendiri dan orang lain adalah yang pertama dan hal yang mendasar untuk membentuk standar etika.
  Etika, moral dan kebajikan di kebanyakan negara mempunyai karakter keagamaan. Bahkan dalam rejim yang mendeklarasikan diri sebagai ateis, pihak yang berwenang di sana tetap melihat pada prinsip keagamaan dan etika sebagaimana dulu mereka dibesarkan (jadi sebagai contohnya, di Uni Soviet yang ateis, semua orang yang dipilih sebagai pemimpin atau duta tidak boleh bercerai, atau dengan kata lain, hanya boleh menikah satu kali).
  Kita sangat menginginkan agar saling menghormati menjadi landasan legislatif dan menjadi kekuatan eksekutif di semua negara dan bisa dijamin oleh para pemimpinnya. Hak asasi manusia, yang dijamin oleh negara, harus diarahkan agar mewujudkan kebanggaan tiap penduduknya. Pemisahan hak ini dari aspek moralitas tidak semestinya terjadi, karena tidak mungkin ada kehormatan yang tidak bermoral. Oleh karena itu, kita mengetahui hak dan kebebasan semua orang karena mereka membantu membentuk kehormatan jiwa manusia.
  Pemimpin negara yang mempunya kekuatan beserta legislatur di negara mereka masing-masing menginginkan keluarga kecil mereka untuk hidup dalam kehormatan dan kebanggaan. Jika demikian yang terjadi, maka dengan kekuatan yang mereka dapatkan (dari Tuhan sebagaimana yang kita percayai, dan juga dari rakyatnya), harapan yang sama seharusnya bisa diperluas kepada masyarakat di dalam negara tersebut. Masyarakat adalah keluarga besarnya yang berada dalam nilai etika yang sama. Pandangan ini penting dalam pengambilan keputusan privat maupun personal, sehingga hal ini juga penting dalam meningkatkan kebijakan global dari negara manapun.
  Saya pikir penting untuk membuat kerangka etika yang standar karena di dunia modern sekarang, konsep tersebut semakin pudar. Model toleransi modern mengajarkan bahwa tidak ada tingkah laku yang salah, sedangkan toleransi Kristiani tradisional yang berdasarkan kasih sayang, mengajarkan untuk menjadi masyarakat yang baik tanpa menolak yang mempunyai pandangan yang berbeda. Ini berarti bahwa kita menghormati kepercayaan dan perilaku orang lain, tetapi pada saat yang sama kita juga mempunyai hak untuk menyampaikan pandangan kita mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Bahaya dari toleransi modern adalah bahwa perbedaan antara kepercayaan orang-orang tidaklah penting.

  Toleransi yang kita sampaikan, meminta kita untuk tidak menggunakan kekerasan pada mereka yang menurut anda mempunyai pandangan yang tidak tepat. Toleransi berhubungan dengan kepribadian kita sendiri. Penting untuk kita pelajari bahwa perilaku negatif apa pun kita tidak boleh membuat kita berlaku agresif. Jadi, dari pandangan Kristiani dan gereja Orthodox yang saya anut, dan demi pembentukan prinsip etika umum, konsep hak dari toleransi- yaitu saling menghormati dan kasih sayang- itu penting dalam kemasyarakatan.
  Sehingga, kita harus membesarkan anak-anak kita tanpa menghapus perbedaan antara kebaikan dan kejahatan, tetapi tetap melestarikan nilai dasar untuk mengajarkan mereka untuk melihat gambaran Tuhan di orang lain. Kita harus melindungi nilai tradisional kita tanpa menjadi fanatik, tetapi dengan keyakinan bahwa generasi yang baru mewarisi konsep yang jelas dan solid, dengan dukungan pasti dari dunia yang penuh dengan pilihan yang berbeda. 





MENGHORMATI NILAI-NILAI
PRIBADI



Y.M. Tun Abdullah Haji Ahmad Badawi
Mantan Perdana Menteri Malaysia 


PENTINGNYA etika dalam landasan yang nyata untuk keefektifan pemerintahan dan keamanan adalah hal yang kita khawatirkan. Pilihan etis- yang saya maksud sebagai praktis dari kebaikan yang diwakili dalam nilai yang abadi untuk mendapatkan keputusan yang bijak- adalah kebalikan dari ketidakadilan. Nilai tidak hanya penting sebagai syarat untuk keputusan administratif dan keputusan politik yang baik, tetapi untuk perkembangan sumber daya manusia dan juga keadilan distribusi untuk sumber daya yang terbatas.
  Etika mungkin tidak akan terpisah dari keadilan seperti yang dikatakan oleh Nabi kita yang diberkati:”keadilan berarti “memberikan hak yang sesungguhnya kepada yang berhak secara adil”. Sebagai pemimpin, kita mempunyai tanggung jawab besar pada kehidupan generasi di masa depan. Siapa yang memiliki Bumi? Apakah peme- rintah dan perusahaan privat mempunyai hak untuk memiliki sehingga menggunakan atau menyalahgunakan sumber daya alam, dan mengatur kehidupan politik dan ekonomi sedemikian rupa demi untuk mendapatkan keuntungan yang egois? Tidak diperiksanya konsentrasi kemakmuran di antara bankir elit dan para kepala perusahaan, yang melakukan hal-hal tersebut dan melanggar peraturan negara dipandang dalam konteks global sebagai kejahatan yang bertujuan.

  Sebuah aspek dari pemikiran Islam yang berkembang dalam dekade terakhir adalah konsep Maqasid al-Syariah, yang merupakan tujuan tertinggi dalam hukum Islam. Maqasid sangat menarik karena relevansinya yang langsung tanpa perantara dengan nilai dasar, dan juga relevansinya dengan hukum hak asasi manusia Internasional. Fokus dari doktrin ini adalah memprioritaskan apa yang disebut sebagai lima hal yang penting (al-daruriyyat al-khansah) yang antara lain: perlindungan kehidupan, keyakinan, kecerdasan, keluarga dan harta benda yang harus mendasari pengambilan keputusan dalam tingkat kepemimpinan dan pembuatan hukum. Pentingnya etika dalam nilai ini adalah sebagai bukti bahwa dalam kemurnian kehidupan manusia, integritas intelektual dan kesehatan keluarga harus dilindungi bagaimanapun juga. Hal tersebut merupakan prinsip pemerintahan untuk menerjemahkan dan melaksanakan Syariah islam dalam semua area hukum dan pemerintahan.
  Kita juga mengamati munculnya agama kembali dalam ruang publik dan lingkaran pemerintahan. Imperialisme menyebar dengan saling bergantungnya identitas negara- ironisnya kemerdekaan telah mempersempit identitas manusia khususnya agama yang dipolitisasi. di masyarakat yang ada di Asia dan Afrika desekularisasi diikuti yang dengan penyalahgunaan identitas agama adalah ciri dari modernitas. pembalikan agama ini membawa banyak masalah dan memaksa kita untuk hati-hati mempertimbangkan di mana dan seberapa lama nilai- nilai ini akan efektif memberikan solusi yang baik.
  Di Malaysia kita percaya bahwa kekuatan untuk bertindak berdasarkan agama mampu membuat kemajuan manusia yang baik dan menguntungkan. Kita menyebut pendekatan ini sebagai Islam Hadhari atau “peradaban Islam”. Ini adalah pendekatan yang masuk akal ke arah peradaban Islam yang sesuai dengan modernitas, tetapi tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kebaikan dan peraturan dalam Islam. Islam hadhari konsisten dengan tujuan pembentukan tatanan dunia yang stabil di mana keamanan dan kedamaian menjadi normanya.
  Ada sepuluh prinsip dasar dalam Islam hadhari yang harus diikuti umat Muslim. Antara lain: 
  

  1. Keyakinan dan kepercayaan kepada Allah-Sang Pencipta segala hal

  2. Pemerintahan yang adil dan bisa dipercaya

  3. Masyarakat yang bebas dan independen

  4. penguasaan ilmu pengetahuan yang dinamis

  5. perkembangan ekonomi yang seimbang dan komprehensif

  6. Kualitas hidup masyarakat yang baik

  7. perlindungan pada hak wanita dan kaum minoritas

  8. kebanggaan kepada budaya asli dan integritas moral

  9. menjaga sumber daya alam dan lingkungannya

  10. kemampuan pertahanan yang kuat 

Prinsip- prinsip yang kokoh ini diterima oleh kaum Non-muslim di Malaysia sebagaimana para rekanan kami yang Non-muslim di pemerintahan. Malaysia menawarkan pola yang penuh dengan pembaruan dan perbaikan kepada dunia Islam yang mampu mencapai kemajuan material dengan stabilitas dan keamanan. Islam hadhari menawarkan penerjemahan Islam yang moderat dan mainstream, jauh dari pandangan dan interpretasi radikal. Hal tersebut menggambarkan pandangan inklusif dari intelektual Islam dan etika yang diwariskannya untuk kepemimpinan dan pengambilan keputusan agar dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi Muslim secara lokal maupun global.
  Dalam pertemuan IAC Kelompok Pakar Tingkat Tinggi pada tahun 2007 di Tunbingen dibahas perkembangan mengenai agama yang dieksploitasi dan disalahgunakan oleh pemimpin politik untuk menciptakan ketidakamanan demi menyelamatkan dirinya sendiri dan mendapatkan keuntungan. Hal ini menekankan bahwa “kombinasi dari keapatisan, agama dan nasionalisme mampu menciptakan potensi perang yang berbahaya. Yang disayangkan, penyalahgunaan itu sudah banyak terjadi dan tersebar selama kurun waktu tujuh tahun terakhir. Sebagai Muslim yang sadar dengan hubungan tidak sehat antara agama dan politik, kita sangat terkena dampak peningkatan masalah ini hingga mempengaruhi negara Islam yang besar dari Pakistan ke Bahrain, ke Irak dan Syiria, kanker ini mulai menyebar ke banyak masyarakat Islam lainnya- seperti yang terjadi di daerah saya sendiri, Asia- membawa tragedi besar dan kehancuran seperti layaknya perang yang mempunyai efek panjang.

  Kaum Muslim selayaknya belajar untuk secara dewasa dan bertang- gung jawab mengenali dan mengakomodir warisan keberagaman dengan perwujudan kepercayaannya masing-masing. Oleh karena itu, kami meminta IAC untuk mempertimbangkan adanya pengembangan wacana dengan dialog antarmuslim antara penentang Sunni dan Syiah beserta dengan negara pendukungnya. Betata pun pentingnya membuat kesepakatan mengenai nilai etika yang sama yang bisa diterima oleh semua agama, urgensi untuk mengangani para penentang dan keantagonisan para elit tidaklah bisa dihiraukan. Kita menempatkan prioritas yang tinggi untuk kepentingan intra-Islam agar mengurangi kekerasan antar-Muslim yang juga berdampak pada minoritas non- Muslim- yang mengakibatkan hancurnya banyak masjid, gereja, kuil di beberapa negara atas nama Tuhan.
  Sudah seharusnya agama menjaga sumber daya untuk membantu kebangkitan dan perbaruan identitas manusia yang murni. Saya akan memberikan satu ide yang berpengaruh dari tradisi Islam: doktrin dari kepercayaan manusia Khilafah: untuk berperan sebagai penjaga sumber daya manusia dan alam, mengutamakan kepentingan seluruh masyarakat, dan semua alam.
  Sejak Khilafah memimpin umat manusia dalam perannya menjaga dan melindungi alam di Bumi, akademis Muslim telah melarang penggunaan dan pembuatan senjata nuklir dan senjata-senjata pemusnah massal. Kita mungkin akan membahas ini lebih jauh nanti dan mengatur penggunaan ilmu pengetahuan untuk kedamaian. Etika dalam kepemimpinan menghendaki perkembangan pesat dari ilmu pengetahuan untuk kedamaian bisa dieksplorasi lebih jauh dan digunakan secara efektif untuk kebaikan semua. Keputusan pimpinan dalam pengalokasian sumber daya untuk pengembangan energi global, sumber daya air dunia, dan pengentasan kemiskinan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia tetapi juga sangat bermanfaat untuk mengurangi konflik antarnegara.

  Yang berkembang dari wacana penting tersebut adalah pengenalan pentingnya “publik”, penghormatan kepada opini publik dan peningkatan kepentingan bersama- dalam istilah Islam, mashlahah. Ini berarti keseimbangan antara hak dari individu dan tugas serta tanggung jawab mereka kepada yang lainnya, dan antara kepentingan diri sendiri dan kepentingan bersama. Mashlahah dalam pemikiran Islam menjadikan tugas pemerintah dan pemimpin masyarakat untuk berjuang demi kepentingan bersama dalam setiap langkahnya; kegagalan dalam melaksanakan hal tersebut dapat menimbulkan masalah. Tetapi, semboyan resmi menyebutkan: urusan dari pemimpin sebuah negara (baik kesuksesannya maupun kegagalannya( dilihat dari sudut pandang mashlahah—“amr al-imam manut bi’l-mashlahah)”. Mendahulukan kepentingan masyarakat di bawah mashlahah harus secara penuh dalam dimensi materi dan moral dari kepentingan masyarakat, yang berdasarkan prioritas, berubah dan di atas kepentingan privat dan golongan. “kepentingan diri” dalam hal yang selayaknya memang bagus dan penting—tetapi ketika dicari dengan cara yang tidak seimbang maka dapat menciptakan ketidakadilan, ketegangan dan bisa menimbulkan konflik.
  Bersikeras untuk kepentingan privat dari kelompok kecil dalam masyarakat tidak lagi menjadi respons yang tepat untuk masalah pelik yang sedang kita hadapi: polusi lingkungan, pemanasan global, keamanan internasional, dan penjagaan kedamaian pasca konflik. semua masalah tersebut tidak bisa diselesaikan oleh satu kelompok atau satu negara sendiri, tetapi membutuhkan kerja sama dan pengertian bersama. Mereka menginginkan pemerintah dan pemimpin menjauhi keegoisan atas kepentingan diri sendiri dan kelompok sebagai cerminan dari kemanusiaan kita yang didasarkan dari nilai yang permanen.

  Kita harus memikirkan ulang apakah kepentingan dan hak sebenarnya; dan memikirkan apa arti sebenarnya dari perkembangan: bergerak menuju “perkembangan manusia”, majunya masyarakat menjadi untuk semakin manusiawi dalam berbagai kondisi. Apakah sebenarnya “keamanan manusia- apakah yang kepentingan sendiri yang hakiki? Kedamaian dan harmoni di masyarakat bisa dicapai hanya dengan ilmu pengetahuan dan pengertian, bukan dengan kekuatan dan kekerasan. Penderitaan muncul dari pemikiran salah yang terwujud dengan tindakan yang keliru.
  Kedamaian positif mampu meningkatkan kemakmuran, peme- rataan, keadilan, dan menjaga kehormatan manusia serta keamanan manusia. Agama tidak boleh memberikan perubahan dengan jalan kekuatan dan kekerasan, tetapi dengan memulai transformasi dalam satuan terkecil yang bisa berkembang di seluruh masyarakat. Ketika individu sudah berubah, maka pengaruh mereka bisa menjadi penarik perubahan bagi seluruh masyarakat melalui aktivitas manusia yang sebenarnya. Untuk itu semua orang membawa aspirasi mereka untuk keadilan dan kemurahhatian, untuk harmoni dan kasih sayang. Hal tersebut menunjukkan pengalaman dan kebijaksanaan dari kekuatan moral dan kebaikan yang diperlukan untuk menghadapi rintangan yang rumit dan merespons kesempatan dalam dunia intercultural dan kosmopolitan global.
  Mari kita ingat kembali wejangan yang diberikan oleh guru spiritual Jalaludin Rumi tujuh ratus tahun lalu: cintai semuanya-bukan hanya bagiannya. Kearifan ini adalah harga yang harus kita bayar untuk melaksanakan tanggung jawab terbesar kita dan mengambil keputusan berdasarkan kepentingan diri yang sebenar-benarnya. kita mungkin menemukan kebebasan kita yang sebenarnya- kebebasan dari pilihan keegoisan yang mungkin dapat membangunkan kemanusiaan kita. Istri saya sering mengingatkan bahwa bukan cinta untuk kekuatan, tetapi kekuatan cintalah yang mampu membuat tempat ini menjadi lebih baik. Terima kasih para pemimpin dan rekan-rekan. Kita percayakan harapan untuk masa depan di Tuhan Yang Maha Besar. 

Diskusi
Ketua Fukuda: Sesi ini menyambung apa yang sudah disampaikan Kanselir Schmidt kepada kita kemarin, bahwa populasi dunia akan mencapai 9 miliar di pertengahan abad ini. Dia menyampaikan pandangan yang sangat serius tentang bagaimana kita akan meng- hadapinya. Kami ingin membahas ini dan memikirkan bagaimana hidup mulai dari sekarang.
  Ada beberapa poin yang sama dalam presentasi Yang Terhormat Ohtani dan Metropolitan Niphon dalam hal kedamaian agama dan negara yang sangat penting untuk masa depan, dan saya sangat berharap bahwa pemimpin-pemimpin agama membahasa hal ini lebih lanjut.
  Disisi lain, ada banyak masalah yang sama pentingnya tetapi lebih praktis dan dapat diselesaikan. Sebagai contoh, permasalahan industri yang penting untuk kehidupan kita sehari-hari, untuk industri dan untuk aktivitas ekonomi. Dalam permasalahan energi ini, banyak permasalahan lain yang muncul dan inilah yang harus kita pikirkan sekarang, tetapi dengan pemikiran beberapa dekade berikutnya. Permasalahan makanan juga sangat penting untuk umat manusia selayaknya masalah air yang akan menjadi persoalan dengan pertambahan populasi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dramatis. teknologi informasi juga berkembang pesat, kita bahkan tidak bisa memprediksi seberapa maju perkembangan yang akan terjadi. Sektor industri juga berkembang dengan produksi yang otomatis. Hal-hal tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana mereka mempengaruhi kehidupan dan masyarakat kita. Sehingga inti pertanyaannya adalah bagaimana kita akan mempertahankan diri sebagai umat manusia dengan perubahan yang silih berganti akan mempengaruhi hak asasi manusia, kedamaian dan keadilan.
  Saya harap anda akan mengacu pada pertanyaan-pertanyaan ini dalam intervensi anda. Terlebih lagi, kehidupan dikendalikan oleh teknologi, yang saya yakin menjadi masalah yang sangat berat, ter- masuk apakah beberapa tindakan yang meragukan harus diizinkan atau tidak. hal ini lebih kepada kondisi yang bagaimana masyarakat bisa menyetujuinya.
  Kemarin pentingnya pendidikan sering disebutkan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik. demi masyarakat, negara dan umat manusia kita harus bertanya “pendidikan seperti apa yang dibutuhkan dan bagaimana etika berperan dalam pendidikan tersebut?” dalam masyarakat global, penyebaran ilmu pengetahuan sangatlah penting. Saya pikir akan hebat jika kita berbagi pandangan yang serupa tentang bagaimana kita seharusnya hidup termasuk standar etika. tetapi dalam kenyataannya, apa yang terjadi sangat berlawanan. Saya akan sangat berbahagia jika beberapa tanda muncul dalam pertemuan ini. tentu saja, jawaban spesifik mengenai poin-poin yang saya sampaikan harus dilanjutkan di pertemuan-pertemuan berikutnya, tetapi saya ingin para pemimpin agama memberikan pandangan mereka secara umum; pandangan keagamaan seperti apa yang bisa menyelesaikan masalah ini.

Dr Koshroo: Tanggung jawab moral di dunia yang kita tinggali sekarang berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu. Dalam pernyataan penting dari kedua pemateri disebutkan poin mengenai kedamaian diri dan bagaimana menahan keinginan, karena keinginan ini dapat memberikan akibat yang berbahaya. Tetapi dalam era globalisasi dan sosial media, industri hiburan, kemajuan iptek, ekonomi, perbankan dan keuangan, menahan keinginan tidaklah cukup. Sehingga setiap orang berkembang dalam teknologi dan komunikasi atau apa pun. Jadi kita perlu menemukan solusi untuk masalah atau situasi yang kita hadapi.
  Isu lain yang berhubungan adalah energi nuklir. Benar, persenjataan nuklir adalah permasalahan sangat penting yang bisa menghancurkan seluruh umat manusia. Tetapi jika kita akan mempunyai 9 miliar populasi, maka satu-satunya energi yang paling tidak membahayakan adalah energi nuklir karena terbatasnya minyak, gas, dan sumber energi lain. Energi nuklir harus dan dapat diperiksa dengan berbagai kontrol, tetapi itu pasti menjadi sumber energi utama di dunia modern, jika kita memang akan mempunya 9 miliar populasi.

Perdana Menteri Chretien: Saya berpikir seperti yang disampaikan Kanselir Helmut Shmidt kemarin, bahwa 9 miliar populasi akan menjadi masalah yang sangat besar. Namun hal ini pasti terjadi, karena populasi tetap berkembang bagaimanapun cara pengendaliannya. Hal itu akan tetap terjadi dan pasti berpengaruh kepada harapan hidup. Dan hari ini, kita berbicara mengenai kemiskinan. Tetapi segera akan ada masalah besar yaitu kelaparan karena kita tidak mampu menyediakan makanan untuk 9 miliar orang tersebut. Lalu hal ini akan menyebabkan masalah mengenai air. Saat ini kekurangan air melanda di banyak bagian di dunia. Kita telah mengadakan diskusi menarik di kota Quebec, mencoba untuk memprediksi permasalahan air. hal ini tidak berkaitan dengan produksi makanan. namun seperti yang telah kita diskusikan pada waktu itu, air menjadi dan akan menjadi masalah besar di Timur Tengah dan China karena mereka mempunyai persediaan air yang terbatas dan ini bisa mempunyai akibat yang buruk. Jadi kita harus mulai membicarakan masalah-masalah ini karena dunia akan berkembang dengan 9 miliar orang. Pembicara sebelumnya mengacu kepada energi atom. Satu bentuk energi yang tidak menyebabkan polusi adalah energi atom. masalahnya ada pada keselamatannya, ketika anda menghasilkan energi atom, orang orang menjadi takut, seperti yang terjadi di Iran dan lainnya, bahwa atom ini bukan digunakan sebagai energi, melainkan perang. dan dunia ini harus membuat aturan yang mengizinkan siapa pun yang mempunyai energi atom untuk menghasilkan listrik, dan bukannya menciptakan masalah politik karena energi tersebut digunakan untuk tujuan yang lain.

Perdana Menteri Fukuda: Diskusi ini dapat dikaji ulang dengan “Bagai- mana kita menyelamatkan bumi kita dari 9 miliar populasi yang akan terjadi beserta bahaya yang menyertainya?” sekarang saya punya poin yang sederhana. Kita semua tahu bahwa apabila tingkat kemakmuran di negara berkembang meningkat, maka angka kelahiran menurun. Hal ini memang kita ketahui, tapi tidak cukup untuk menjadi penting. Itu yang pertama. Yang kedua, seperti lagu lama, tetapi juga sangat penting, adalah pemberdayaan perempuan. kita sudah membahasnya berulang kali, tetapi belum berubah seperti yang seharusnya. Sehingga, membuka kesempatan untuk memperoleh pendidikan tinggi bagi perempuan adalah bagian penting dari masalah ini.
  Yang ketiga, kita harus menutup stasiun TV dan radio dan apa pun yang kita punya jika mereka masih menganggap remeh masalah kerusakan lingkungan. Sudah sangat jelas bagi orang-orang bijak di sini bahwa bencana akan terjadi. Tetapi hal tersebut tidak bisa disebarkan dengan baik. Sejak dini individu harus mengetahui bahwa Bumi kita tidak bisa lagi menerima tekanan dan masalah. Hal ini merupakan agenda penting pada pertemuan ini, juga untuk generasi yang sedang mengenyam pendidikan. Pemanasan global contohnya, seandainya Al Gore akan menjadi pemimpin dunia, saya akan memilih dia untuk beberapa dekade ke depan. Dan ini dengan alasan yang sederhana, bahwa ini menjadi alasan pentingnya hidup atau mati dalam jangka waktu yang lebih lama bagi banyak orang.
  Satu hal yang sangat berbeda, saya berasal dari salah satu negara di Eropa. Kami bukan satu-satunya di Eropa yang memberikan bantuan finansial yang bisa memacu adanya keluarga besar. Hal tersebut sebenarnya mulia, karena membantu orang tua dengan banyak anak dengan banyaknya biaya yang harus dikeluarkan. Namun pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah tiba waktunya untuk menghentikan subsidi finansial tersebut atau tidak. Permasalahan ini juga mungkin membawa dampak keuangan lainnya yang mengakibatkan turunnya angka kelahiran.
  Dan betul, apa yang disampaikan rekan pemateri saya sangatlah benar, mengenai permasalahan makanan. Dalam porsi yang sama, mungkin hal ini termasuk dalam catatan anda. Kita juga menghadapi masalah serius mengenai bagaimana menyediakan air bersih untuk miliaran umat manusia. Walaupun dengan kemampuan teknis yang kita punya seperti proses desalinasi yang sangat mahal, pemenuhan air bersih untuk setiap individu masih jauh dari cukup.
  Yang terakhir, adanya saran oleh salah satu peserta yang hebat untuk menambah poin dalam Deklarasi Universal untuk tanggung jawab Manusia. Untuk ini kita mulai berpikir keras bagaimana membuat formula yang spesifik dan konkret yang tidak hanya menyebutkan tanggung jawab dan tugas dari generasi masa depan agar mereka juga bisa hidup di sini. 

Ketua Fukuda: Kita baru saja mendengar pernyataan yang membuat pembicaranya layak untuk mendapatkan suara seandainya beliau masih menjabat sebagai politisi. hebat, dan kita harus membuat pernyataan lainnya seperti itu.

Prof Saikal: Perdana Menteri Chretien memunculkan isu keamanan pangan dan air bersih, sedangkan Perdana Menteri van Agt mengacu pada degradasi lingkungan, saya pikir masalah keamanan pangan dan air tidak bisa dipisahkan dari perubahan iklim, dan pemanasan global yang juga merupakan masalah darurat di masa kita. Permasalahan- permasalahan ini tidak bisa ditangani tanpa pendistribusian kekayaan di tingkat global. Pada saat ini, delapan orang memiliki setengah dari kekayaan dunia. Sehingga, harus ada mekanisme yang melihat permasalahan tersebut secara saling berkaitan dan berhubungan.
  Untuk itu, apa yang kita benar-benar butuhkan adalah tatanan ekonomi dan politik internasional yang baru. Masalah tersebut tidak mungkin diatasi hanya oleh organisasi seperti Dewan InterAction. Namun apa yang bisa dilakukan oleh IAC adalah memunculkan isu ini tidak hanya dalam bagian deklarasinya di pertemuan ini, tetapi juga dalam bagian perbaikan dari piagam mengenai tanggung jawab yang harus menjadi perhatian secara efektif dan luas khususnya bagi mereka yang mampu mengubah tatanan politik dan ekonomi internasional. perhatian orang-orang tersebut haruslah mengacu pada masalah ini dengan efektif. 


Perdana Menteri Fraser: Adanya perbedaan besar akan nilai kekayaan telah mengalami kemajuan sedemikian rupa sejak awal tahun 1980an. Kita tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa orang-orang yang bergelimang kekayaan di Eropa dan Amerika Utara atau di beberapa negara lainnya adalah konsekuensi dari deregulasi dan globalisasi. Sekarang setiap orang bergeser ke jalur tahun 1980an karena jalur itu memang bagus dan tentu saja menguntungkan.
  Tapi tidak seorang pun yang mencoba benar-benar memahami efek negatif perbedaan kekayaan antara si kaya dan si miskin di hampir semua negara di dunia. Tidak ada satu pun negara di Barat yang merasakan lebarnya jurang perbedaan kekayaan antara si kaya dan di si miskin. Di negara saya atau di Amerika Serikat, orang kaya semakin kaya dan orang miskin kesulitan melakukan hal yang harus mereka lakukan dan ingin mereka lakukan untuk keluarga mereka. Fenomena seperti itu sekarang sudah mendunia. Keadaan itu diperparah dengan besarnya kekuatan badan-badan hukum yang jauh lebih besar dari kekuatan pemerintah karena badan-badan hukum memiliki lebih banyak dana.
  Tren yang sama yang terjadi di negara-negara lain, uang sangat mempengaruhi demokrasi itu sendiri. Atau dapat juga dikatakan bahwa di beberapa negara demokrasi diperjualbelikan. Jika demikian keadaannya, masih dapatkah demokrasi disebut sebagai demokrasi? Sekarang ini saya tidak dapat menyatakan berapa banyak negara-negara yang menganut sistem demokrasi yang sebenar-benarnya karena uang sangat memegang peranan penting untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Pengaruh yang muncul dari adanya badan-badan hukum dan gelimang uang dapat mengarahkan orang-orang pada pilihan yang salah. Jadi berdasarkan pada kebijaksanaan kemanusiaan yang membawa perdamaian dan keadilan bagi sembilan miliar manusia, kita harus mengatasi masalah-masalah yang muncul akibat dampak dari globalisasi, deregulasi, dan pesatnya perkembangan badan-badan hukum di seluruh dunia yang memberikan dampak besar di banyak negara. Pengaruh badan-badan hukum itu jauh lebih besar dibandingkan dengan pengaruh pemerintahan.


Ketua Fukuda: Apakah ada seorang pemimpin agama yang bersedia mengutarakan pendapatnya tentang bagaimanakah seharusnya mengatur dunia yang rumit ini dengan berdasarkan pada sudut pandang agama? Manusia menginginkan uang, tapi usaha yang berlebih-lebihan dalam mengumpulkan kekayaan dapat mengarah pada ketidakcocokan dan akhirnya menimbulkan kekacauan. Apabila kita mengejar kenyamanan, hal itu juga dapat menimbulkan banyak masalah, misalnya kerusakan lingkungan. Dan adanya kesimpangsiuran informasi yang beredar di masyarakat dapat menyalahi hak asasi manusia. Terlebih lagi, meski demokrasi dikatakan sebagai bentuk pemerintahan terbaik, namun jika kita mendengarkan pandangan dari terlalu banyak orang dapat berakibat pada lambatnya proses pengambilan keputusan. Atau hal itu dapat pula mengarah pada popularisme. Apakah ini adalah benar-benar cara terbaik untuk menjalankan pemerintahan? Apa pun yang kita lakukan berdasarkan pada niat baik selalu mendapatkan pertentangan. Saya akan sangat bersyukur jika anda dapat membicarakan masalah ini dari sudut pandang agama.

Dr. Mettanando: Menurut norma agama Buddha, ada peramal agama Buddha yang mengatakan bahwa di masa mendatang dunia akan sangat padat penduduk tapi orang-orang akan menikmati hidup yang sangat berkualitas, dengan keseimbangan antara si kaya dan si miskin. Tidak akan ada ketidakcocokan antarumat manusia. Kalaupun ada ketidakcocokan, mereka akan memecahkan masalah ketidakcocokan itu. Itulah yang dikatakan oleh prophesy Buddha. Jadi umat agama Buddha tidak punya argumen untuk menentang populasi yang berlebihan tapi mereka percaya bahwa akhirnya ada satu waktu di mana orang-orang akan menjalani hidup yang sangat berkualitas.


Rabbi Dr. Rosen: Dua ribu tahun yang lalu, seorang pendeta Yahudi dengan tegas mengatakan bahwa jika terjadi kelaparan, angka kelahiran harus dihentikan. Pernyataan itu sangat tidak lazim dan bertentangan dengan krisis padat penduduk. Jauh sebelumnya, di dalam Kitab Injil, di ayat pertama Genesis, telah dikatakan bahwa tanggung jawab manusia adalah untuk mengawal, menjaga dan merawat dunia. Jadi jelaslah bahwa masalahnya bukan tidak adanya respons-respons agama atas krisis populasi,minimnya sumber daya alam untuk segenap penduduk atau isu tentang perdamaian dan eksistensi manusia.
  Masalahnya bukan terletak pada kepemimpinan berbasis keagamaan. Masalahnya jauh lebih rumit dari itu. Ini adalah masalah penciptaan. Kita hidup di dunia yang tidak sempurna terlepas dari bagaimana dunia itu diciptakan atau dikembangkan. Dalam Talmud telah dikatakan bahwa segala macam bentuk hukum, peraturan dan moral tidak diperuntukkan untuk malaikat. Hukum, peraturan dan moral itu adalah untuk umat manusia yang tidak sempurna. Manusia harus patuh dan mengembangkan hukum, peraturan dan moral itu.
  Sekarang ini kita menghadapi tantangan yang luar biasa berat. Dan tampaknya kita mengalami kesulitan menghadapi tantangan tersebut. Berbagai macam tantangan materialisme, kontrol keuangan, makanan, populasi, alam atau peperangan terus menerus muncul membuat kita terus berusaha mencari resolusi untuk menghadapi tantangan- tantangan tersebut.
  Akhir-akhir ini kita disibukkan dengan masalah migrasi yang hebat, baikdalamhalpolitikataupunekonomi.Tantangankemanusiaannyajuga jauh lebih besar. Setiap orang yang mempelajari perkembangan kaum minoritas pasti akan memperhatikan respons-respons kaum minoritas dalam menghadapi tantangan saat mereka bermigrasi. Sebagian dari mereka merasa beruntung karena berhasil pindah ke negara Barat di mana kesejahteraan terjamin. Sementara sebagian besar pengungsi yang lain biasanya akan berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang layak bagi diri mereka dan keluarga mereka. Mereka harus memaksa diri untuk bekerja keras. Hal ini tentu saja menguntungkan negara Barat. Namun situasi ini juga memicu konflik kultural yang sering kali membawa dampak buruk bagi masyarakat. Itu juga salah satu bentuk tantangan yang kita hadapi yang dapat membawa kebaikan dan juga keburukan bagi kita.

  Ada berbagai macam versi tentang banjir besar dan kapal Nabi Nuh yang disebut sebagai bencana alam kemanusiaan terbesar. Versi Kitab Injil menyebutkan bahwa banjir besar dan kapal Nabi Nuh itu adalah cerminan kegagalan manusia sekaligus ungkapan harapan, bahwa kita masih punya kesempatan dan kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
  Tapi tentu saja kita semua tahu bahwa di luar sana ada banyak orang yang tidak tertarik dengan masalah ini. Orang-orang tersebut duduk bekerja dan terus menerus mengumpulkan uang. Mereka mengotori atmosfer, sibuk menambang emas dan hasil alam lainnya tanpa mempertimbangkan konsekuensi kemanusiaan. Mereka juga mengeksploitasi tenaga orang lain dengan mempekerjakan mereka tanpa memberikan kompensasi yang layak.
  Di sini kita sudah mengetahui masalah yang sebenarnya. Tantangannya adalah bagaimana membuat kaum minoritas peduli pada masalah yang ada. Selama ini, baik itu Musa, Buddha, Yesus atau Nabi Muhammad Saw. selalu berbicara tentang masalah ini. Mereka selalu membicarakan diri mereka dan sering kali suara mereka tidak dipedulikan. Tapi di setiap generasi, di setiap elemen masyarakat, dan kelompok orang terdapat orang-orang yang mempunyai visi dan mereka terus mempertahankan visi itu meskipun mereka tidak diacuhkan oleh orang-orang di sekitar mereka. Itulah yang menginspirasi kami, kaum religius. Visi-visi tersebut tidak didengarkan karena isi visi itu sendiri tidak populer dan tidak memberikan kenyamanan.
  Kita harus bersikap realistis bahwa kita tidak dapat mengubah keadaan hanya dalam waktu semalam. Tapi bagaimanapun kita harus tetap menyuarakan pendapat kita. Kita harus terus menerus menyuarakan pendapat kita. Kita harus mendukung visi-visi yang diungkapkan di ruangan ini hari ini. Pilihan kita adalah harus bergerak maju dan mencoba segala hal yang dapat kita lakukan untuk membuat dunia menjadi tempat yang layak untuk kita hidup. Tidak melakukan apa-apa bukanlah sebuah pilihan. Memang kita tidak akan pernah tahu hasil dari usaha kita tapi kita tidak boleh hanya diam dan berpangku tangan.

Metropolitan Niphon: Kita melihat anak-anak adalah anugerah dari Tuhan. Saat ini kita menghadapi masalah tentang apa yang akan terjadi jika populasi mencapai sembilan miliar orang. Kita, kaum Katolik Roma, Protestan dan Orthodoks yakin bahwa Tuhan akan membantu. Tuhan tidak akan meninggalkan ciptaan-Nya. Tuhan akan memberikan pertolongannya melalui orang-orang seperti Anda, orang-orang yang bertanggung jawab. Tuhan akan memberikan kebebasan dan jalan untuk mengatasi masalah. Contohnya adalah pertemuan kita malam ini. Ini adalah keyakinan suci gereja. Dan ini adalah wujud perlindungan Tuhan terhadap ciptaan-ciptaanNya.

Prof. Chang: Saya adalah pembicara paling ragu sore ini. Saya bukanlah seorang ahli agama atau murid sekolah agama. Tapi saya berasal dari kaum masyarakat yang dikenal sebagai kaum Confucian, aliran Konfusius. Selama dua juta lima ratus ribu tahun, aliran itu dikenal dan diajarkan pada murid-murid.
  Apabila peraturan diikuti, orang-orang baik akan dipilih untuk menduduki tampuk pemerintahan dan pekerjaan juga diberikan kepada orang-orang yang benar-benar mampu mengerjakannya. Janji-janji akan ditepati dan keharmonisan akan diraih. Oleh karena itu, orang- orang tidak akan memperlakukan orang tua hanya sebagai orang tua mereka, atau memperlakukan anak-anak hanya sebagai anak-anak mereka. Tetapi kaum muda akan benar-benar dipedulikan dan kaum tua berada di tempat yang tepat. Barang-barang yang tidak dibutuhkan tidak perlu dibeli dan disimpan. Kekuatan atau energi tidak diperuntukkan hanya untuk satu orang saja jika orang tersebut tidak benar-benar memanfaatkan kekuatan atau energi itu dengan baik. Ketika semua orang merasa gembira, maka keadaan yang baik juga akan dirasakan oleh semua orang. Itu adalah tujuan yang diungkapkan oleh filsuf sekular Konfusius dalam Analeknya. Beliau juga mengatakan,”Awalnya adalah berusaha keras berada pada levelitu, kemudian berusaha lebih keras lagi untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu meraih kemakmuran.” Dan pemerintah Cina mengatakan bahwa tahun 2050 adalah tahun di mana tingkat kemakmuran di negara Cina rendah. Tujuan utama kemakmuran masih jauh dari jangkauan.

  Contoh yang saya kemukakan disini adalah negara India dan China. India sekarang penduduknya 1.1 billion dan China 1.3 billion. Jika ditotal berjumlah sekitar 2.5 billion. Mengacu pada model perkembangan ekonomi, jika India dan Cina mengikuti jalur perkembangan yang benar-benar sama, kita tahu bahwa sumber daya kita akan sangat terbatas dan akan muncul persaingan antara keduanya. Dan titik kepantasan yang kita harapkan mungkin akan terabaikan.
  Oleh karena itu saya berpikir, meskipun bukan dari sudut pandang agama, kita harus memikirkan cara perkembangan yang baru, seperti cara perkembangan di awal waktu dulu, yaitu abad delapan belas, sembilan belas dan bahkan abad dua puluh. Pola perkembangan yang ada sekarang tidak dapat diterapkan hanya oleh India dan Cina. Kita masih punya Indonesia, Brazil, Afrika, dan masih banyak lagi. Jadi bagaimanapun, demi kenyamanan hidup seluruh umat manusia di dunia ini, kita harus memikirkan tentang sebuah model baru perkembangan ekonomi. Saya tidak berbicara tentang sistem politik. Kita harus membatasi dorongan nafsu untuk menguras hasil alam sehingga kita tidak memanfaatkan air dan hasil alam seenaknya. Pemikiran saya ini adalah pemikiran seorang insinyur. 

Prof. Axworthy: Saya sangat senang dengan tema yang akan kita bahas hari ini. Dan saya juga senang dengan adanya permintaan untuk mengemukakan nilai-nilai agama yang membantu kita melewati masa sulit ini. Saya bukanlah seorang pemimpin agama. Saya adalah seorang Methodist. Keahlian saya adalah di bidang paduan suara. Tapi saya mempunyai pengalaman bekerja di bidang keagamaan dengan penduduk asli Amerika Utara. Tapi bangsa atau suku pertama itu, yang tingkat keagamaan atau spiritualnya masih rendah, menerapkan nilai- nilai yang disampaikan oleh Venerable Ohtani di presentasi beliau.
  Ketika kita berbicara tentang sumber daya alam dan planet bumi, penduduk asli Amerika Utara itu meyakini bahwa manusia harus selaras dengan air dan tanah di sekeliling mereka; mereka percaya bahwa manusia diciptakan tidak untuk menghancurkan alam mereka. Manusia adalah bagian dari siklus Yang Agung di mana keduanya saling berkaitan. Pendapat ini datang dari perspektif yang berbeda. Sebuah perspektif spiritual yang sangat berbeda dengan perspektif konsumtif atau perspektif yang menyatakan bahwa planet bumi diciptakan untuk memenuhi segala kebutuhan umat manusia.
  Kita tidak serta-merta memusnahkan spesies lain tapi dengan adanya elemen keinginan dan nafsu kita, berarti kita telah menciptakan dunia yang tidak bisa ditempati oleh spesies lain. Masalah ini sudah jelas adanya. Dan masalah ini akan bertambah parah jika populasi manusia terus bertambah karena persaingan memperebutkan sumber daya alam juga semakin keras.
  Jadi bagaimana kita menggabungkan alam dan jumlah populasi? Apakah wawasan agama membantu kita mengatasi dilema itu baik secara filosofis atau etika? Jika Anda yakin, seperti halnya keyakinan bangsa- bangsa pertama di Amerika Utara itu, bahwa lingkungan fisik seperti air dan udara sama pentingnya dengan umat manusia dan mereka yakin bahwa kedua elemen kehidupan kita tersebut harus tergambar jelas di sistem legal lingkungan kita.
  Kini ada etika dan perspektif yang berbeda. Keduanya disuarakan oleh kaum Utopian. Konsep itu bertentangan dengan paradigma konsumtif yang diterima masyarakat. Karena masalah semakin rumit dan dibarengi dengan adanya konflik dan degradasi lingkungan, satu- satunya harapan adalah generasi muda di seluruh dunia, khususnya di Amerika Utara dan Eropa giat untuk menjaga kelestarian lingkungan. Partai Hijau ada di mana-mana karena kaum muda mempunyai keinginan untuk merawat lingkungan.
  Jika kita dapat menggabungkan integrasi etika yang baru secara menyeluruh dengan etika dan antusiasme generasi muda untuk merawat lingkungan, maka itu adalah cara yang potensial untuk menyelesaikan dilema. Dan etika yang menyatakan bahwa di bumi ini kita saling berbagi tempat dengan sungai, udara dan tempat dan mereka sama pentingnya dengan kehidupan kita itu berarti kita harus mengurangi nilai konsumtif kita. Memang hal itu sulit dilakukan jika kita tidak mempunyai motivasi positif yang sangat kuat. Karena motivasi negatif akan membuat kita selalu menginginkan lebih dan merasa takut tidak mendapat bagian. Motivasi positif membuat kita untuk tidak bertindak berlebih-lebihan sehingga kita menghargai bumi, air dan atmosfer setinggi kita menghargai diri kita sendiri.

Prof. Chang: Pada kesempatan ini saya ingin mengatakan bahwa harmoni antara manusia dan alam, harmoni antara manusia itu sendiri dan harmoni antara manusia dengan dirinya sendiri adalah filosofi Konfusius.

Prof. Hanson: Saya hanya ingin menyimpulkan beberapa perkembangan di dalam agama Katolik Roma, berkaitan dengan lingkungan dan populasi. Saya juga bukan teologis, saya hanya pelajar yang mempelajari ilmu sosial dan cyclical di Gereja Katolik, yaitu dokumen yang diterbitkan oleh Vatikan atas nama Paus yang memimpin pada saat dokumen itu diterbitkan. Dokumen itu merangkum cara pengaplikasian prinsip-prinsip. Mulai dari prinsip-prinsip etika sampai prinsip kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip etika diterbitkan pada tahun 1891 oleh Paus Leo XIII untuk membela hak-hak buruh. Kitab- kitab terbaru gencar membahas masalah lingkungan. Dan itu bermula dari isi Perjanjian Lama, mulai dari dominasi lingkungan sampai ke perlindungan lingkungan. Dokumen-dokumen yang diterbitkan sebelumnya menyebutkan bahwa lingkungan adalah tanggung jawab orang-orang yang berada di lingkungan Gereja Katolik Roma, pendeta dan orang awam. Berbagai macam varietas orang-orang tersebut mulai memikirkan pendekatan pihak gereja kepada ahli-ahli lingkungan. Jadi ada proses perkembangan yang menarik yang membuat Gereja Katolik mulai mencermati masalah lingkungan. Prinsip-prinsip perkembangan itu sendiri dapat dilihat di dokumen-dokumen yang akan disusun. Tapi selama lima belas tahun atau lebih, ada banyak dokumen tentang lingkungan dan dorongan terhadap ahli-ahli lingkungan beragama Kristen, tokoh-tokoh spiritual yang mencermati masalah lingkungan yang sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip spiritual.

  Perkembangan lain juga erat kaitannya dengan masalah populasi. Salah satu keputusan Gereja Katolik yang paling kontroversial di tahun 1968 adalah pernyataan Paus yang menyatakan bahwa larangan terhadap kontrol kelahiran akan diteruskan. Komisi yang dibentuk oleh Paul VI merekomendasikan penggunaan kontrasepsi. Banyak orang awam dan pendeta yang merekomendasikan penggunaan kontrasepsi tapi Paus tidak menyetujuinya. Sebaliknya, Paus merevisi rekomendasi itu meskipun masih belum diketahui berapa banyak revisinya. Beliau meminta pendapat para pendeta Katolik Roma di seluruh dunia untuk berkonsultasi dengan kaum awam mereka tentang reaksi-reaksi yang muncul atas keputusan para uskup tersebut dan melaporkannya ke Vatikan.
  Fakta yang terjadi di Amerika Serikat, 88% wanita Katolik yang membesarkan anak menggunakan kontrasepsi. Jumlah itu sama persis dengan jumlah populasi. Itu menunjukkan bahwa larangan penggunaan kontrasepsi tidak disepakati. Reaksi Vatikan akan fakta tersebut masih belum diketahui. Tapi paling tidak, masalah ini telah dibicarakan. Penggunaan kontrasepsi oleh beberapa orang Katolik menjadi tanggung jawab untuk mengontrol angka kelahiran. Tentu ada beberapa kelompok orang yang mengontrol kesuburan mereka karena alasan-alasan pribadi. Inilah yang harus dipikirkan oleh Gereja Katolik tentang penggunaan kontrasepsi.


Chairman Fukuda: Jawaban atas masalah yang kita hadapi dan pengaruh masalah tersebut terhadap masa depan kita tidak dapat dijawab hanya melalui diskusi kita ini. Apa pun yang kita lakukan sebaiknya jangan terlalu berlebihan. Keharmonisan dan pengendalian telah dibahas di awal-awal diskusi. Agama adalah wujud kearifan yang harus ada demi kelangsungan hidup umat manusia. Berdasarkan perspektif tersebut pentingnya peran seluruh pemimpin agama sangat diharapkan. Oleh karena itu Anda semua sebaiknya harus lebih aktif untuk mengutarakan pendapat. Tidaklah mudah untuk merangkum diskusi kita, tapi kami berharap agar Anda mengungkapkan pendapat Anda dan mempertimbangkannya dalam proses pengambilan kebijaksanaan. 


INDONESSIAN Ver.